“Apabila gejala ini berlangsung dan bumi semakin panas sehingga es di Kutub Utara dan Selatan mencair yang kena dampak kenaikan laut bukan hanya Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok dan Eropa. Tapi negara kepulauan, dan apa negara kepulauan itu? Republik Indonesia.” (Guru Besar Universitas Indonesia, Emil Salim)

Seperti ditulis di sebuah media online, menurut Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nunu Anugrah, tema yang diusung Paviliun Indonesia di COP 26 adalah Leading Climate Actions Together. Sebuah tema yang menarik di tengah perhelatan internasional. Tak heran kemudian bila Paviliun Indonesia di COP 26 juga akan difungsikan sebagai bagian dari soft diplomacy

Menjadikan Paviliun Indonesia di COP 26 sebagai bagian dari soft diplomacy tentu merupakan sebuah pilihan yang cerdas dan strategis. Jika tema Paviliun Indonesia itu adalah terkait dengan aksi iklim. Maka pertanyaannya kemudian adalah Apakah Indonesia sendiri sudah maksimal dalam melakukan aksi iklim?

BACA JUGA: Lepas dari Kutukan Batu Bara, Mungkinkah?

Indonesia sebenarnya adalah salah satu negara yang sangat berkepentingan terhadap keberhasilan aksi iklim. Bagaimana tidak, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terkena dampak dari perubahan iklim. Namun di sisi lain, seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Indonesia berkontribusi sebesar 4 persen emisi GRK dunia, yang sebagian besar berasal dari sektor hutan, penggunaan lahan dan energi.

Namun, harus diakui bahwa Indonesia pun telah melakukan berbagai langkah mitigasi peningkatan emisi GRK tersebut. Salah satunya adalah moratorium hutan.  Moratorium hutan Indonesia merupakan kebijakan dengan potensi mitigasi terbesar. Namun itu saja tidaklah cukup.

Paviliun Indonesia di COP-26 UNFCCC. Foto: dok KLHK

Untuk melihat sejauh mana Indonesia serius dalam aksi iklim, kita dapat dilihat dari bagaimana rencana penurunan emisi GRK Indonesia dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). NDC adalah dokumen untuk mewujudkan kesepakatan Perjanjian Paris yang menetapkan batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius atau di bawah 1,5 derajat Celcius (secara optimis) dibandingkan dengan periode pra-industri.

Perjanjian Paris menetapkan serangkaian siklus lima tahun untuk meningkatkan ambisi melalui NDC yang akan tumbuh lebih ambisius dari waktu ke waktu. Terkait dengan itulah proses peningkatan NDC sangat penting untuk menghasilkan ambisi mitigasi yang lebih besar. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa peluang untuk membatasi suhu rata-rata global jauh di bawah 2 ° C, atau 1,5 ° C, harus dilakukan dengan cepat (IPCC 2018). 

Bukan hanya itu, peningkatan NDC juga memberikan kesempatan penting untuk membuat perencanaan adaptasi lebih kuat dan mengkomunikasikannya secara transparan. Meningkatkan komponen adaptasi dalam NDC dapat meningkatkan visibilitas dan profilnya sehingga mampu mencapai keseimbangan dengan aksi mitigasi.

BACA JUGA: COP26, Momentum Indonesia Selamatkan Iklim Dunia

Dalam NDC-nya, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen hingga 41 persen, namun komitmen ini hanya berlaku hingga tahun 2030. Sementara itu, di tahun 2017, pemerintah juga meluncurkan inisiatif pembangunan rendah karbon (Low Carbon Development Indonesia/LCDI) dan menerbitkan laporan LCDI pertama. Laporan ini memaparkan beberapa pilihan kebijakan yang tepat bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal sekaligus mengurangi emisi GRK hingga 43 persen pada tahun 2030.

Namun, skenario paling ambisius dalam laporan LCDI-Plus, masih belum menyentuh target penurunan suhu bumi sebesar 1,5 derajat. Analisis atas skenario ini menunjukkan bahwa Indonesia baru dapat menghentikan kenaikan emisinya antara tahun 2025 dan 2030. Di sisi lain, target emisi nol tidak akan dapat tercapai sebelum tahun 2050.

Analisis independen dari Climate Actions Tracker (CAT) menilai bahwa target iklim Indonesia sangat tidak memadai. Analisis CAT ini menyebutkan bahwa Indonesia masih dapat mencapai target tersebut jika berbagai permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Salah satunya adalah menghentikan peningkatan emisi pada tahun 2020 dan menurunkannya secara drastis sampai tahun 2050. Jika rencana penurunan emisi GRK dalam NDC masih dinilai banyak pihak tidak ambisius, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan implementasinya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa melihat bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan mitigasi GRK dari kehutanan. Untuk menjaga hutan Indonesia tetap lestari dan dapat menjalankan fungsi ekologisnya mencegah krisis iklim, mau tidak mau pemerintah harus bekerjasama dengan masyarakat yang ditinggal di wilayah hutan. Mereka adalah masyarakat adat. Kearifan masyarakat adat dalam memperlakukan hutan secara lestari sudah ada sejak dahulu.

BACA JUGA: Net Sink FoLU 2030, Peran Penting Indonesia Capai NDC 2030

Dalam sebuah siaran pers Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat pada 2020, Yosi Amelia, dari Yayasan Madani Berkelanjutan menyatakan “Masyarakat Adat memiliki peranan penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Praktik-praktik arif masyarakat adat dalam menjaga hutan adat terbukti mampu menjaga hutan tetap lestari.”

Alih-alih bekerjasama dengan masyarakat adat, hingga kini pemerintah belum mengesahkan UU Masyarakat Adat. Padahal kehadiran UU Masyarakat Adat diharapkan bukan saja sebagai payung hukum dalam melindungi hak-hak masyarakat adat namun juga dapat meningkatkan kualitas tata kelola sumber daya alam di Indonesia dan dapat mencegah praktik- praktik korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam.

Bukan hanya di sektor kehutanan, di sektor energi pun, nampaknya aksi iklim pemerintah Indonesia juga tidak begitu serius. Bagaimana tidak, bank-bank BUMN papan atas seperti Bank Mandiri dan BNI justru masih mendanai proyek-proyek energi kotor batubara, penyebab krisis iklim. Padahal seharusnya bank-bank pemerintah itu menjadi garda terdepan dalam mewujudkan bank yang ramah lingkungan. 

Dengan ketidakseriusan Indonesia dalam aksi iklim selama ini, hampir dapat dipastikan bahwa Paviliun Indonesia di COP 26 hanya sebagai ajang lip service. Artinya Paviliun Indonesia di COP 26 hanya akan jadi ajang ramah tamah tentang iklim, namun aksi iklimnya jauh berbeda dengan yang dibicarakan dalam ramah tamah itu. Ini artinya, Indonesia kembali melakukan kesalahan yang sama, Sebuah kesalahan yang terus diulang-ulang seperti sebuah ritual.

 

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup