Selain menggerogoti kesehatan masyarakat secara global, pandemi virus corona atau yang lebih tepat disebut Covid-19 juga memukul perekonomian. Para pemangku kepentingan di banyak negara tidak hanya dituntut untuk cepat menangani penyebaran infeksi virus yang begitu mengancam kesehatan, tapi juga dituntut cerdas untuk menangani persoalan perekonomian yang terpuruk.
Sementara itu, di sisi lain salah satunya lingkungan, pandemi nyatanya membantu memperbaiki kerusakan yang selama ini terjadi. Contohnya saja, perbaikan kualitas udara yang signifikan. Polusi udara berkurang karena masyarakat yang dianjurkan untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan, berhasil menurunkan tingkat penggunaan energi penghasil emisi. Perbaikan kualitas udara tersebut diyakini Madani Berkelanjutan sebagai titik balik dari iklim dunia.
Sekarang, pemerintah mendorong untuk masuk transisi tahapan normal baru (new normal) dengan alasan bahwa ekonomi tidak boleh dibiarkan lesu berkepanjangan. Berbagai macam skenario pun muncul dalam memasuki masa normal baru.
Untuk menjawab berbagai keresahan yang berkembang saat ini, Madani Berkelanjutan mewawancarai seorang peneliti, pengamat, dan juga pakar yang juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Joko Tri Haryanto.
Q&A
Delly Ferdian:
Kita sebagai masyarakat ingin tahu bagaimana kira-kira pemerintah menyikapi hal ini dan juga bagaimana seharusnya masyarakat bahkan saya sendiri sebagai milenial menyikapi hal yang sama?
Kita tahu bahwasanya covid-19 menyerang kesehatan, covid-19 juga melumpuhkan sendi-sendi perekonomian. Tapi juga di sisi lain, ada perbaikan kualitas lingkungan seperti halnya udara yang membaik.
Joko Tri Haryanto:
Kalau kita bicara persoalan covid-19, memang sangat multidimensi. Mengapa covid-19 itu disebut pandemi ya, sesuatu yang bersifat global, terjadi secara masif, dan memakan korban yang banyak, dan terjadi di hampir semua negara. Itulah mengapa covid-19 dinyatakan sebagai pandemi.
BACA JUGA: Kemana Alokasi Dana Perubahan Iklim?
Pandemi global ini belum pernah terjadi sebelumnya, kalau merujuk ke dalam sejarah, dunia ini belum pernah mengalami pandemi wabah di era modern atau di era globalisasi. Terakhir kita mengalami pandemi yakni flu spanyol di sekitar tahun 1908. Artinya semua negara sampai detik ini tidak ada pengalaman dalam menangani wabah, jadi tidak ada juga sebuah negara yang berani mengklaim bahwa penanganannya lebih baik dibandingkan negara lain. Karena semuanya sama-sama belajar.
Dari sisi positifnya, kita melihat bahwa, kohesivitas dari kerja sama antar negara justru menjadi lebih tinggi lagi karena ketika kita bicara isu perubahan iklim (climate change) agak berat ketika kita melihat konstelasi politik di dunia.
Ketika dunia ini terbelah menjadi negara utara dan selatan, dan ketika mereka ditemukan untuk berdialog dan berdiskusi terkait dengan isu perubahan iklim, selalu ada gap (kesenjangan). Negara maju selalu menganggap bahwa isu perubahan iklim adalah isu yang dibawa oleh negara selatan untuk memaksa negara bagian utara dengan berbagai isu. Sebaliknya, negara-negara selatan pun melakukan hal yang sama.
Dalam kerangka UNFCCC pun sebetulnya, sampai dengan UNFCCC tahun ini yang seharusnya dilakukan di Glasgow (UNFCCC) ke 26, selalu diselenggarakan tanpa ada solusi konkret. Antara negara utara dan selatan saling mempertahankan hegemoninya masing-masing. Persoalannya adalah begitu datang pandemi, hegemoni ini pun porak-poranda. Negara utara dan negara selatan semua dihajar oleh pandemi.
Ini justru menjadi diskusi mendasar, ternyata ketika membanggakan sistem perekonomian dunia, globalisasi, borderless economy, semua itu nyatanya sangat rentan dihajar oleh pandemi. Pada ujungnya, kita kembali lagi pada filosofi bahwa keseimbangan itu menjadi kata kunci. Bagaimana kita menjaga keseimbangan antara ekonomi, sosial, kohesivitas, konservasi, dan lingkungan.
Itu terbukti, sekarang banyak negara berlomba-lomba menunjukkan bahwa karena pandemi kehidupan bisa lebih baik. Persoalannya hanya tinggal bagaimana kehidupan setelah pandemi. Itu tantangan yang paling besar karena apakah kemudian ketika negara hidup setelah pandemi apakah mereka akan hidup dengan sistem perencanaan pembangunan ekonomi yang lama atau benar-benar new normal-nya itu diterapkan. Jadi bukan hanya new normal-nya menjadi jargon tapi ada perubahan yang fundamental.
Delly Ferdian:
Kita sangat tahu ya pak, banyak masyarakat yang mungkin mengetahui bahwa isu-isu terkait krisis iklim atau isu-isu yang kita bicarakan adalah isu yang bukan populer atau isu yang tidak diketahui masyarakat awam di level tapak. Kadang, milenial juga malas memikirkan hal-hal berat seperti itu. Bagaimana bapak menyikapi hal-hal seperti itu?
Joko Tri Haryanto:
Jadi sebenarnya, ketika kita melihat kasus Indonesia misalnya atau dunia ke depannya, sebetulnya tren dari negara itu telah mengalami perubahan, khususnya negara yang telah terjadi sebuah pola transisi demografi, contohnya Indonesia yang mengalami bonus demografi. Bonus demografi atau transisi demografi ini adalah suatu kondisi di mana masyarakat kelas produktifnya lebih besar.
Di satu sisi ini menjadi tantangan dan di sisi lain menjadi berkah, berkah yang banyak hal positif. Misalnya, kita bicara pengembangan pariwisata, pengembangan pariwisata itu kan ketika terjadi tren wisatawan yang awalnya masyarakat biasa dan berganti menjadi milenial, otomatis akan mengubah dari platform pengembangan wisata itu sendiri. Karena kalau dulu yang namanya pariwisata itu konvensional, kita datang langsung ke tempat, marketing-nya masih manual.
BACA JUGA: Merdeka dari Krisis Iklim
Sementara sekarang yang namanya pariwisata platform digital itu menjadi salah satu yang terdepan dan menjadikan milenial justru menjadi garda terdepan untuk marketing wisata dan ini yang perlu kita sikapi lebih baik karena yang paling terdampak dalam bencana pandemi ini adalah sektor-sektor yang terkait erat dengan milenial. Lihat saja pariwisata, kita habis-habisan itu, misalnya saja Bali dan Jogja yang tingkat okupansinya sampai ke 0%. Tapi kami berpikir juga bahwa sektor-sektor yang berkaitan erat dengan pola hidup milenial ini, kita yakin punya recovery rate yang paling cepat karena ada protokolnya dan itu menjadi prasyarat.
Protokol ini bukan hanya dilakukan oleh satu dua hub, namun bagaimana semua hub ini berjalan. Mulai dari yang signifikan sampai dengan yang tidak signifikan seperti tukang parkir.
Sekarang mas delly bayangkan, saat ini kan semua orang sedang takut melakukan perjalanan khususnya wisata artinya sektor pariwisata sendiri harus bisa membuktikan trust, seperti ayo kita melakukan moda perjalanan wisata, nah gimana untuk meyakinkan itu ada di sektor itu sendiri dan itu yang harus diperhatikan bahwa protokol new normal harus diimplementasikan dari hulu ke hilir.
Mulai dari Mas Delly misalnya mau memutuskan untuk wisata, bayangkan kalau platform pelayanan pariwisatanya terintegrasi, bisa dari hulu ke hilir dari input mulai dari pembelian tiket, masuk bandara, diantar ke hotel, semuanya telah melakukan protokol yang baik. Jangan sampai ada yang tidak menjalankan protokol, ini kan trust-nya gak muncul.
Inilah yang bisa dilakukan milenial saat ini. Saya percaya milenial ini adalah masa depan bangsa, dulu Pak Karno (Soekarno) pernah bilang “kasih saya sepuluh pemuda maka akan saya guncang dunia”. Untunya Mas Delly belum ada zaman dulu, kalau ada pasti sudah dipanggil Karno.
Kalau kita melihatnya dari UNFCCC atau politik Internasional memang terlalu jauh, namun, itu harus menjadi rujukan kita untuk membahasakan ke dalam bahasa-bahasa yang lebih sederhana. Karena ketika kita bicara di segmen milenial, maka kita akan berbeda lagi pendekatannya di segmen non milenial yang klasifikasinya bermacam macam.
Delly Ferdian
Saya setuju kalau tantangan kita ke depan adalah bagaimana membahasakan hal-hal yang menurut banyak orang berat menjadi sederhana sehingga dapat efektif dan bermanfaat.
Nah Pak, sekarang kan kita didorong untuk masuk ke fase normal baru, pemerintah juga telah bersiap dengan berbagai skenario. Tapi di kalangan masyarakat, ada yang ragu dengan ini, ragu karena bisa jadi di tengah kurva yang semakin naik atau orang yang terinfeksi yang semakin bertambah, malah pemerintah lebih melonggarkan protokol.
Banyak yang bilang, jika diterapkan normal baru, kemudian orang yang terinfeksi semakin bertambah maka ekonomi tidak akan menjadi lebih baik. Apalagi kita tahu bahwa selama pandemi pemanfaatan plastik atau kantong plastik sangat besar. Bisa jadi dengan penerapan ini, maka akan terjadi kerusakan-kerusakan baru. Kira-kira bagaimana pendapat bapak?
Joko Tri Haryanto
Saya sih mikirnya gini, memang banyak pihak menganggap bahwa pemerintah terlalu terburu-buru karena didorong oleh faktor ekonomi. Kalau saya melihatnya justru dari diri kita sendiri, karena tidak semuanya itu didorong oleh faktor ekonomi.
Memang kalau kita lihat pola penanganan di masing-masing negara memang berbeda-beda, kalau kita bicara negara-negara yang sudah sukses misalnya, Selandia Baru. Kita lihat karakter masyarakat di sana seperti apa, di Vietnam sukses, coba kita lihat pola hidupnya seperti apa. Coba lihat di sini, contoh ketika angka naik lagi, angka ini kan bukan kejadian satu hari, pasti ini kan akumulasi seminggu dua minggu sebelumnya.
BACA JUGA: Silang Sengkarut Izin
Misalnya pada saat lebaran, kalau boleh cerita, waktu lebaran aja waktu saya di kampung, saya merasa bahwa yang berdiam diri di rumah hanya saya dan keluarga, sementara tetangga kanan kiri dan lainnya kayak tidak terjadi apa-apa, melakukan silaturahmi fisik, berjabat tangan dan lainnya. Ini kan kita bicara tidak hanya faktor ekonomi, kita bicara masalah budaya maupun tradisi.
Bagaimana cara mengatasinya, ya caranya menerapkan protokol karena kita sudah memiliki protokol. Mungkin salah satu yang dimaksud hidup berdamai dengan Covid-19 ya seperti ini.
Delly Ferdian
Mungkin itu juga ya salah satu pertimbangan pemerintah. Tetapi, ketika akan memasuki skenario new normal ini, banyak pihak yang mencurigai bahwa pemerintah hanya fokus ke ekonomi, sedangkan banyak hal yang sebenarnya perlu diperhatikan. Misalnya saja terkait hal lingkungan, yang sempat membaik ketika pandemi ini. Apakah pemerintah hanya akan memperhatikan ekonomi atau juga akan memprioritaskan lingkungan kita?
Joko Tri Haryanto
Jadi memang, kalau kita bicara isu penanganan di masa pandemi, memang isu lingkungan agak mundur dulu. Isu yang utama itu, isu kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi. Saya percaya bahwa ketika hal ini dapat bangkit, maka dorongan dari masyarakat seperti Madani akan memberikan tekanan kepada pemerintah untuk bergerak ke arah konservasi. Karena terbukti bahwa kuncinya adalah konservasi. Semua sektor itu kunci adalah back to nature.
Seperti halnya pariwisata, mass tourism sepertinya tidak akan lebih dilirik. Orang-orang akan melirik seperti ekowisata. Hal ini seharusnya menjadi momentum untuk pemulihan. Bagi saya, lingkungan itu bukan sektor, tapi lingkungan itu adalah isu. Isu bersama yang harus dikerjakan oleh semua sektor. Karena kalau lingkungan hanya dijadikan sektor, kemudian dia harus trade off dengan sektor lain. Padahal yang namanya lingkungan itu harus masuk ke semua sektor, dia harus jadi rule atau rohnya. Oleh karena itu ,jangan dijadikan lingkungan sebagai sektor saja yang kemudian harus trade off, zero sum game, atau duel dengan sektor lain. Karena lingkungan itu investasi jangka panjang, ketika kita bicara sektor, kita bicara politik anggaran, maka semuanya harus diukur dari jangka pendek atau dampaknya harus terlihat dalam jangka pendek. Karena lingkungan adalah investasi jangka panjang, maka tidak heran kalau alokasi dananya lebih besar dari yang lain.