Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia yang berlangsung tanggal 1-2 November 2021 akhirnya menyepakati aturan implementasi Article 6 atau bab 6 dari Perjanjian Paris juga.
Article 6 dari Perjanjian Paris berisi model pembiayaan untuk implementasi mitigasi perubahan iklim, terutama melalui mekanisme pasar dan nonpasar. Article 6 ini sebenarnya adalah sebutan untuk bagian ke-6 dari Kesepakatan Paris yang belum berhasil disepakati di COP24 di Katowice, Polandia.
Article 6 adalah satu-satunya bagian di dalam Perjanjian Paris yang menghubungkan antara negara dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan penentu target pengurangan emisi dengan pihak swasta dan masyarakat yang melakukan kegiatan secara riil. Article 6 juga yang kemudian menghubungkan kerjasama dan pembiayaan antar negara dalam pengurangan GRK, termasuk juga mekanisme yang akan dipakai, baik berbasis pasar maupun non-pasar.
Article 6 terdiri dari 9 pasal utama yang diharapkan dapat menjadi sarana bagi pembiayaan implementasi mitigasi perubahan iklim dan mampu memberi bagi hasil pada kegiatan implementasi adaptasi. Bagian-bagian utama dari article 6 ini adalah sebagai berikut (https://www.mongabay.co.id; 17 November 2021) :
- Pasal 6.2 menjelaskan kerangka kerja dan perhitungan untuk berbagai kerjasama internasional, seperti menghubungkan skema perdagangan emisi dari dua atau lebih negara (misalnya menghubungkan program cap and trade Uni Eropa dengan transfer pengurangan emisi dari Swiss, atau menghubungkan kerjasama bilateral antara Indonesia dan Jepang yang menghasilkan pengurangan emisi). Di dalam article 6.2 ini juga dimungkinkan transfer kredit karbon internasional antar negara.
- Pasal 6.4 menetapkan mekanisme perdagangan karbon yang pengaturannya dilakukan oleh UNFCCC. Banyak yang mengasumsikan bahwa pasal 6.4 ini mengacu pada model mekanisme pasar yang saat ini hibernasi, yaitu Clean Development Mechanism (CDM), yang pada kurun 2006-2012 banyak sekali diikuti oleh negara-negara di dunia, termasuk juga Indonesia. Pasal 6.4 ini memungkinkan perdagangan kredit karbon dari pengurangan emisi yang dihasilkan melalui proyek-proyek tertentu. Misalnya, negara A dapat membayar negara B untuk membangun ‘ladang angin’ alih-alih pembangkit listrik tenaga batu bara. Emisi berkurang, negara B mendapat manfaat dari energi bersih dan negara A mendapat kredit atas pengurangan karbon tersebut.
- Pasal 6.8 menetapkan program kerja untuk pendekatan non-pasar, seperti penerapan pajak untuk mencegah emisi dan pembayaran atas hasil pengurangan emisi (result based payment) seperti pernah dikerjasamakan antara Indonesia dan Norwegia. Kerjasama pengurangan emisi non-pasar ini diusung oleh Bolivia dan beberapa negara lain seperti Venezuela dan Colombia, untuk tetap dapat melakukan pengurangan emisi dengan menggunakan bantuan dari negara lain, tetapi kepemilikan akan hak atas karbon akan tetap menjadi milik tuan rumah.
Indonesia, sebagai negara Pihak pada UNFCCC, telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK 29% dari skenario emisi GRK secara BAU, dimana pada tahun 2030 emisi GRK diproyeksikan sekitar 2.881 GtCO2e. Dengan terus dibukanya peluang perdagangan karbon global ini, maka pemerintah Indonesia perlu mengkaji peluang pasar ke depan dan offset yang aman bagi Indonesia untuk melakukan perdagangan karbon dan dalam waktu yang sama memenuhi komitmen untuk berkontribusi dalam upaya global memenuhi target penurunan emisi GRK.
BACA JUGA: Kunci Capaian Implementasi NDC di Sektor Kehutanan
Untuk itu, guna melihat implikasi perdagangan karbon terhadap pemenuhan komitmen Indonesia pasca 2020, perlu dilakukan pemetaan data dan informasi perdagangan karbon saat ini serta mengidentifikasi potensi dan tantangannya, baik pada tingkat nasional dan internasional.
Arti Penting Hutan Indonesia di Tengah Perdagangan Karbon
Presiden Joko Widodo menegaskan, Indonesia berkomitmen dan konsisten dalam upaya penanganan perubahan iklim. Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan iklim.
“Posisi strategis ini kami gunakan untuk berkontribusi. Deforestasi di Indonesia dapat ditekan ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Indonesia telah merehabilitasi 3 juta hektar critical land pada 2010-2019,” ungkap Presiden Joko Widodo.
Presiden menyampaikan, Indonesia menargetkan net sink carbon untuk sektor lahan dan hutan selambat-lambatnya tahun 2030 dan net zero 2060 atau lebih cepat. Kawasan net zero mulai dikembangkan termasuk pembangunan green industrial park di Kalimantan Utara seluas 13.200 hektar, yang menggunakan energi terbarukan dan hasilkan green product.
Tata kelola yang baik di tingkat global untuk penerapan carbon pricing, disebutkan perlu segera agar sesuai tujuan Persetujuan Paris dan memberikan insentif bagi partisipasi swasta dengan memperhatikan kapabilitas dan kondisi tiap negara.
Saat ini, Indonesia dalam tahap akhir penyelesaian regulasi mengenai carbon pricing untuk mendukung pemenuhan komitmen target NDCs. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, Indonesia memiliki empat mekanisme dalam pelaksanaan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) atau carbon pricing.
Merujuk pada Pasal 47 ayat (1) Perpres 98/2021, carbon pricing dilaksanakan melalui mekanisme perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan mekanisme lain yang ditetapkan oleh menteri lingkungan hidup dan perhutanan.
Perdagangan karbon bisa dilakukan melalui perdagangan dalam negeri serta luar negeri. Perdagangan karbon dalam negeri dan luar negeri dilakukan melalui mekanisme perdagangan emisi dan offset emisi gas rumah kaca serta dapat dilakukan secara lintas sektor.
Namun Koalisi Masyarakat Sipil khawatir jika wacana pembahasan perdagangan karbon (carbon offset) dalam KTT Iklim COP26 hanya solusi palsu bagi iklim. Mereka menilai, cara itu hanya akan menjadi upaya negara maju dan korporasi penyumbang karbon ‘lari’ dari aksi penurunan emisi serius dan cepat (https://www.mongabay.co.id; 4 November 2021).
Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi menyebutkan bahwa wacana perdagangan karbon dan mekanisme karbon offset dalam konferensi COP26 menjadi celah bagi para ‘poluters’ baik negara maupun korporasi.
Pembahasan wacana ini mengalihkan perhatian dari upaya sesungguhnya menuntut negara maju dalam menurunkan emisi secara drastis di negara mereka.
“Mekanisme offset dan dagang karbon ini salah satu upaya paling murah untuk mengurangi emisi. Ini langkah keliru karena keduanya justru akan menimbulkan ketidakadilan selanjutnya dalam konteks perundingan dan kesepakatan dalam perubahan iklim,” kata Yuyun Harmono.
Hal itu juga mengalihkan tanggung jawab negara maju dalam menyediakan pendanaan bagi negara-negara berkembang dalam mentransformasi ekonomi supaya tak mereplikasi model ekonomi negara maju yang tinggi karbon. Hal ini pun sudah jadi mandat dari Perjanjian Paris yang jadikan arah menuju pembangunan rendah karbon itu harus didorong dengan penyediaan pendanaan konkrit.
BACA JUGA: Manfaat Mangrove dalam Memerangi Krisis iklim
Yuyun mengatakan, penerapan mekanisme pasar dan perizinan alam menambah rantai panjang konflik dengan masyarakat. Hal ini, merupakan perampasan tanah dan hutan secara sistemik dengan kedok hijau dan pemulihan iklim.
Sementara itu, Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menekan emisi karbon, seperti menekan laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan. Deforestasi di Indonesia, justru meningkat dari sebelumnya 1,1 juta hektar per tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta hektar per tahun (2013-2017).
Meski Pemerintah Indonesia mengklaim ada penurunan laju deforestasi dalam dua tahun terakhir, namun angka itu tidak berarti karena ada pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke timur.
“Klaim keberhasilan menurunkan angka deforestasi tidak relevan jika deforestasi besar terjadi hanya di beberapa lokasi. Di tempat lain, deforestasi menurun bukan karena upaya pemerintah, melainkan karena sumberdaya hutan yang sudah habis,” ungkap Mufti Barri.
Terkait kebakaran hutan dan lahan, pada 2021, ada sekitar 229.000 hektar hutan dan lahan terbakar di Indonesia. Bahkan, dua tahun sebelumnya (2019) luas hutan dan lahan terbakar 1,6 juta hektar, dimana 1,3 juta hektar (82%) di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Ironisnya, di dua pulau itu pula izin-izin industri ekstraktif menguasai hutan dan wilayah adat.(*)
Sumber:
https://www.mongabay.co.id/2021/11/17/kesepakatan-article-6-perjanjian-paris-pada-cop26-gembira-tapi-tidak-bahagia/; 17 November 2021
https://www.mongabay.co.id/2021/11/04/cop26-organisasi-masyarakat-sipil-khawatir-perdagangan-karbon-hanya-solusi-palsu-bagi-iklim/; 4 November 2021
http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/2682-press-release-perdagangan-karbon.html
https://news.ddtc.co.id/jokowi-rilis-perpres-baru-soal-penyelenggaraan-nilai-ekonomi-karbon-34547; 17 November 2021