Kita mungkin bisa bernafas lega saat Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden No. 120 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyusul berakhirnya mandat Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 31 Desember 2020. Artinya, usia lembaga ini masih akan bertambah, dengan satu tambahan kerja, restorasi mangrove. 

Pekerjaan memulihkan gambut memang bukan pekerjaan jangka pendek. Butuh puluhan tahun mengembalikan fungsi ekosistem gambut untuk bisa kembali menyerap karbon dan membantu Indonesia mencapai komitmen iklim sesuai Paris Agreement

Dengan kata lain, keluarnya Perpres ini memberi harapan baru bagi Indonesia untuk mencapai komitmen iklimnya. Ini penting, mengingat UN Environment Programme pernah menyatakan bahwa proyeksi keberhasilan pencapaian target NDC Indonesia pada 2030 belum dapat disimpulkan atau inkonklusif.

BACA JUGA: Benarkah Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon pada 2070? 

Ibarat tengah berada dalam perjalanan, BRGM perlu melihat sejenak ke belakang dan berkaca, apa yang bisa diperbaiki di masa depan. Periode 2016-2020 meninggalkan catatan dan beberapa evaluasi. 

BRG mencatat realisasi program restorasi gambut hingga Desember 2019 mencapai 778.181 hektare. Angka ini masih jauh dari target yang disebut Presiden Jokowi, 2 juta hektare lahan gambut di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. 

Sebetulnya, target yang ditetapkan Presiden ini pun masih jauh dari total ekosistem gambut di Indonesia yang rusak. 

Kajian Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan hampir semua dari total 24,2 juta hektare atau 99% ekosistem gambut Indonesia dalam status rusak.  Mayoritas rusak ringan dan sedang. 

Periode lalu menyisakan catatan soal Pemda yang belakangan menggunakan jasa pihak ketiga untuk membasahi gambut, yang praktis tak lagi melibatkan masyarakat seperti awal saat pembasahan dilakukan oleh BRG langsung. 

Padahal sejak awal masa kerja, BRG telah berjibaku agar bisa memenuhi syarat Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam membangun sekat kanal dan sumur bor. Tak jarang titik pembangunan infrastruktur harus bergeser karena tak mendapat persetujuan masyarakat. 

Penanaman kembali sawit juga menjadi tantangan lain bagi BRG periode lalu. Tentu saja ini bertentangan dengan semangat BRG untuk mengembalikan fungsi ekosistem gambut yang selama ini salah satunya dirusak oleh perkebunan sawit.

BACA JUGA: Ekonomi Biru Sebagai Alternatif Pemulihan Ekonomi dan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Fungsi BRG yang dihilangkan dalam area konsesi perusahaan semakin tak bisa menjamin perusahaan menjalankan tanggung jawabnya merestorasi lahan yang ada dalam area pengelolaannya. Selama ini banyak infrastruktur BRG yang tak berfungsi di tengah jalan karena kekurangan anggaran pemeliharaan. Belum lagi korupsi proyek restorasi gambut seperti terjadi di Kalimantan Tengah. 

Sayangnya, BRGM kehilangan wewenang dan fungsi supervisi konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi perusahaan. Artinya, ruang lingkup kerja BRGM berada di luar konsesi. 

Padahal, dengan wewenang yang lemah periode lalu saja – masih ingat video Kepala BRG Nazir Foead yang diusir satpam perusahaan karena melakukan tugas supervisi?  – BRG tak begitu punya kuasa untuk memantau program restorasi gambut dalam area konsesi perusahaan. Mengingat lebih dari separuh ekosistem gambut berada di area konsesi, paling banyak dalam konsesi migas dan sawit, tentu mestinya wewenang BRGM di area konsesi diperkuat, bukan justru dihilangkan.

Selain itu, meskipun prioritas restorasi 2016-2010 terbesar berada di dua konsesi migas dan sawit, namun pada 2019 restorasi terluas bukan di dua arena ini, namun pada izin pemanfaatan hutan tanaman. Padahal gambut yang terbakar tahun itu paling luas berada di konsesi sawit. 

Perlu menjadi perhatian BRGM bahwa hampir setengah juta hektare ekosistem gambut terbakar pada tahun ini belum masuk dalam target restorasi gambut 2016-2020. Ini harus masuk dalam target restorasi empat tahun ke depan agar kebakaran di area ini tak terulang. 

Pencegahan ini mendesak dilakukan karena kesiapsiagaan masyarakat menghadapi kebakaran hutan dan lahan cukup rendah. 

Kabar baiknya, BRGM punya target untuk rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare pada 2021-2024. Angka ini tiga kali lebih tinggi dibanding RPJMN 2020-2024. Namun terbatasnya APBN, bahkan terus turun, membuat program ini butuh dukungan pendanaan swasta dan internasional. 

Catatan Bappenas, alokasi anggaran pembangunan rendah karbon yang berpotensi digunakan untuk restorasi, pada 2020 menurun signifikan dari Rp34,8 miliar pada 2019 menjadi Rp23,4 miliar. Ini berkurang Rp11 triliun atau sekitar 0,9 persen dari APBN. 

Setelah Konferensi Bon 2016 lalu, disepakati bahwa pihak swasta juga berperan dalam mencapai target iklim nasional. Pun dunia internasional melalui investasi hijau atau green job juga bisa menjadi target pendanaan restorasi ini dengan berbagai skema. 

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan? Yok, bisa yok!

Akhirnya pencapaian dan perluasan target restorasi memberikan ruang bagi Indonesia untuk meningkatkan ambisi iklim di sektor kehutanan. Sektor berbasis lahan menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan rendah karbon meliputi pemulihan gambut dan mangrove.  

Jika target restorasi gambut dan mangrove tercapai, Indonesia bisa mencapai target NDC 29% dengan usaha sendiri maupun 41% dengan dukungan internasional. 

Karena itu, ke depan BRGM butuh kolaborasi dan strategi dengan lembaga lintas sektor termasuk kembali merangkul masyarakat untuk dilibatkan dalam kerja mulai dari pemetaan, penentuan jenis restorasi, pembasahan, revegetasi hingga revitalisasi. 

BRGM perlu memastikan sekat kanal dan sumur bor yang telah dibangun periode lalu berfungsi dan sesuai standar. Tak boleh ada lagi cerita kebakaran di area wilayah kerja BRGM. BRGM juga harus transparan dalam setiap kerja-kerja restorasinya.