Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menjadi ancaman bagi kelestarian hutan hingga pencapaian komitmen iklim NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia. Dari tahun 2010 hingga 2017, kebakaran di lahan gambut adalah satu dari tiga penyumbang utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor hutan dan lahan, bahkan menjadi  penyumbang terbesar pada tahun 2014 dan 2015. 

Bencana asap beracun dari Karhutla juga mengakibatkan gangguan kesehatan, bahkan kematian dini bagi jutaan rakyat Indonesia dan gangguan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Pada tahun 2019, luas kebakaran hutan dan lahan Indonesia mencapai 1,6 juta hektare, yang terparah kedua dalam lima tahun terakhir sejak kebakaran besar tahun 2015. 

Menurut data Yayasan Madani Berkelanjutan, tutupan lahan yang paling banyak terbakar tahun 2019 adalah lahan non-hutan, yang terbanyak adalah semak/belukar rawa dengan area terbakar seluas 538.742,99 hektare, disusul savana seluas 179.978,19 hektare, dan perkebunan seluas 159.656,90 hektare. Luas hutan alam yang terbakar relatif kecil dibandingkan lahan non-hutan, yaitu 74.997 hektare atau 4,6 persen dari total area terbakar pada 2019. 

Hal ini menunjukkan bahwa hutan alam yang kondisinya baik harus dipertahankan untuk menjaga agar lahan tidak mudah terbakar di musim kering. Sementara itu, lahan yang sudah terbuka atau hutan yang terdegradasi terbukti berisiko lebih tinggi untuk terbakar, terutama yang berada di Ekosistem Gambut. 

Kebakaran tahun 2019 terjadi di areal Fungsi Ekosistem Gambut dengan luas mencapai 727.972 hektare (44%), dengan mayoritas (54,71%) terjadi di  ekosistem gambut dengan fungsi lindung (FLEG). Kebakaran di ekosistem gambut sangat berbahaya karena sangat sulit untuk dipadamkan dan menimbulkan polusi  karbon (emisi Gas Rumah Kaca) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kebakaran di lahan mineral. Selain itu, kebakaran di lahan gambut juga menimbulkan asap  yang sangat beracun dan membahayakan bagi kesehatan manusia. 

BACA JUGA: Menimbang Keseriusan Pemerintah Indonesia Mencegah Karhutla

Sementara itu mayoritas kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 (54,88 persen) terjadi di kawasan hutan. Kebakaran di kawasan hutan didominasi oleh kebakaran di hutan  produksi (tetap, terbatas, konversi) yang luasnya mencapai 61,5 persen. Namun, kawasan hutan konservasi dan lindung pun masih mengalami kebakaran, yakni  berturut-turut 25,2 persen dan 13,3 persen. 

Mayoritas kebakaran di hutan produksi  (58,97 persen) terjadi di wilayah yang telah dibebani izin atau konsesi skala besar,  yaitu perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri/IUPHHK HT, dan logging/IUPHHK  HA. Di antara ketiga jenis izin/konsesi tersebut, kebakaran terbesar terjadi di wilayah  izin Hutan Tanaman Industri (51,57 persen). Mayoritas kebakaran di hutan produksi  juga terjadi di areal yang ditetapkan sebagai Fungsi Ekosistem Gambut (51,44  persen) dengan proporsi area terbakar di Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut (FBEG)  sedikit lebih besar dibandingkan dengan area terbakar di Fungsi Lindung Ekosistem  Gambut (FLEG). 

Cegah dan Tangani Karhutla

Dengan kebakaran terluas 2019 terjadi di lahan non-hutan, maka Yayasan Madani Berkelanjutan menekankan bahwa upaya pengurangan deforestasi dan degradasi hutan serta rehabilitasi hutan dan lahan kritis harus dilihat sebagai bagian integral untuk mencegah kebakaran karena keberadaan  hutan yang berada dalam kondisi baik (intact forests) akan mengurangi risiko terbakarnya  lahan, terutama pada musim yang sangat kering.  

Sedangkan lebih dari 1 juta hektar Area Terbakar 2019 (63%) adalah Area Baru Terbakar, paling  banyak terjadi di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Tingginya  luas Area Baru Terbakar 2019 di ketiga provinsi ini terindikasi berkorelasi dengan laju  penambahan luas sawit tertanam pada periode 2015-2018. Sehingga yang perlu diperhatikan adalah pertama pengendalian ekspansi perkebunan sawit di ketiga provinsi ini harus ditekankan dengan mengoptimalkan pelaksanaan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 dan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019, kedua Pemerintah harus menyelidiki penyebab terjadinya kebakaran baru dengan lebih mendalam untuk mendapatkan langkah-langkah pencegahan yang menyeluruh. 

Lima provinsi yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mencegah kebakaran  hutan dan lahan sedari dini karena daerah-daerah tersebut memiliki luas Area  Rawan Terbakar (ART) 2020 terbesar, yakni: Kalimantan Tengah dengan luas ART  2020 sebesar 12.841.157,58 hektare, Kalimantan Barat dengan luas ART sebesar  11.278.709,32 hektar, Papua dengan luas 10.796.019,78 hektare, Kalimantan  Timur dengan luas 9.529.942,71 hektare, dan Sumatera Selatan dengan luas  8.251.872,47 hektare. 

Selanjutnya untuk mencegah kebakaran dan deforestasi yang diakibatkannya, menurut  Yayasan Strategi Konservasi Indonesia (CSF Indonesia) dan FEB-Universitas Indonesia dapat bertumpu pada dua hal: (i) keberadaan satuan kerja pencegah kebakaran (dedicated prevention unit with dedicated resources); dan (ii) sistem atau struktur insentif yang seluruh komponennya mengarahkan pada satu tujuan, yaitu mencegah munculnya api. 

BACA JUGA: Aksi Mengurangi Karhutla untuk Selamatkan Iklim

Satuan Kerja Khusus Pencegah Kebakaran (yang saat ini belum ada di Indonesia) dengan sumber daya pendukung yang mencukupi adalah bagian tak terpisahkan dari konsep Sistem Manajemen Pemadam Kebakaran Terpadu (Integrated Fire Management/ IFM System). Pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut terletak pada kerja keras unit ini yang terus menerus mengingatkan stakeholders pengguna lahan, bahkan di musim hujan, untuk memastikan tidak terjadi kebakaran yang dapat meluas di lahannya.

Terkait pembenahan sistem insentif secara total pemerintah dapat menerapkan hal-hal berikut. Pertama, pelaksanaan hukuman pengadilan dalam bentuk denda finansial atas korporasi pelaku pembakaran akan menggeser keseimbang untung-rugi perusahaan sehingga mengarahkan perilakunya dari membakar ke penggunaan alat mekanik untuk membuka lahan. Tanpa enforcement yang serius, efek jera tidak akan pernah terwujud.

Kedua, pemerintah perlu secara sistematis mengadopsi kebijakan anggaran anti- kebakaran, yaitu memastikan ketersediaan anggaran untuk pencegahan dan menghapus semua insentif buruk salah kaprah yang bersifat perverse incentives, yaitu mendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hal lain yang perlu diperbaiki, jika belum, adalah anggaran restorasi hutan yang bersumber dari DAK/DR (Dana Alokasi Khusus/Dana Reboisasi) yang didasarkan pada luasan lahan kritis di kabupaten.(*)