Dalam upaya menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen hingga 41 persen pada tahun 2030, Indonesia membutuhkan dukungan pendanaan. Tidak hanya melalui kemampuan dalam negeri, pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi sebagaimana tersebut dalam komitmen NDC, Perjanjian Paris juga bisa berasal dari kerja sama dengan pihak luar negeri. Diharapkan pemerintah memaksimalkan berbagai dana baik yang berasal dari dalam negeri maupun kerjasama dengan pihak luar negeri untuk penurunan emisi terutama penanganan deforestasi dan degradasi hutan.

Terlebih lagi beberapa dana yang berasal dari pihak luar negeri karena terkait dengan pembayaran berbasis hasil REDD+. Sejumlah langkah untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan harus benar-benar diwujudkan dalam kebijakan. Antara lain dengan merehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan dan pengamanan kawasan hutan konservasi, serta meningkatkan akses kelola hutan masyarakat.

BACA JUGA: Luas Hutan Alam Menurun dan Terancam, Tinjau Ulang Kebijakan dan Izin Usaha

Saat menyampaikan pembaruan NDC (Nationally Determined Contributions) pada Maret 2021, Indonesia menyebutkan pentingnya dukungan pendanaan sebagai salah satu instrumen penting dalam aksi pengendalian perubahan iklim baik upaya mitigasi maupun adaptasi. Indonesia menganggarkan 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan iklim atau sebesar 3.461 Triliun Rupiah dari APBN. Selain itu, untuk melengkapi kebutuhan pembiayaan iklim, Kementerian LHK dan Kementerian Keuangan juga mengembangkan  beberapa strategi.

Empat strategi yang dikembangkan untuk mengatasi persoalan pendanaan aksi pengendalian perubahan iklim Indonesia yaitu: Pertama adalah kebijakan fiskal yang diwujudkan dalam bentuk pendapatan, pembelanjaan dan pembiayaan; Kedua adalah mengembangkan instrumen-instrumen pembiayaan yang inovatif, seperti Result-Based Payment (RBP), Global dan Ritel Green Sukuk untuk membiayai proyek hijau dalam APBN, serta pelibatan dunia usaha swasta dengan skema kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk membiayai proyek infrastruktur.

Strategi ketiga adalah meningkatkan akses terhadap pendanaan di tingkat global seperti Green Climate Fund (GCF), Global Environment Facility (GEF), dan sumber pendanaan global lainnya. Dalam meningkatkan akses pendanaan global ini, ada beberapa hal yang diperbaiki seperti tata kelola, pendataan, termasuk sistem registri untuk bisa membuktikan secara valid, berapa besar capaian penurunan emisi GRK di Indonesia. Strategi keempat adalah meningkatkan daya tarik investasi, baik itu investasi swasta, business to business, maupun antar pemerintah atau negara.

Kemudian salah satu inovasi yang dilakukan juga adalah meningkatkan tata kelola atau mendorong upaya Indonesia untuk memobilisasi sumber-sumber pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim di luar APBN. Pada bulan Oktober tahun 2019, pemerintah telah meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang mempunyai tugas untuk mengelola, memupuk dan menyalurkan berbagai macam pembiayaan yang dapat mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk pengendalian perubahan iklim.

BPDLH telah mengelola sumber-sumber pendanaan yang sudah ada seperti fasilitas dana bergulir yang bersumber dari dana reboisasi yang sebelumnya dikelola oleh Badan Layanan Umum di bawah Kementerian LHK. BPDLH juga mengelola dana-dana dari RBP dari GCF, kerja sama bilateral REDD Indonesia-Norwegia, terdapat juga  Forest Carbon Partnership Facilitiy, BioCarbon Fund, dan lain sebagainya.

Penerima manfaat dari BPDLH nanti akan sangat luas, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, kelompok-kelompok masyarakat, para pemangku kepentingan yang diharapkan dapat berkontribusi positif pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

BACA JUGA: NDC dan Pemulihan Ekonomi Nasional

Inovasi pembiayaan lainnya adalah mengembangkan kebijakan untuk memanfaatkan instrumen nilai ekonomi karbon atau dalam internasional disebut carbon pricing. Saat ini rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target NDC dan pengendalian emisi karbon dalam pembangunan nasional telah memasuki tahap akhir.

Dalam laporan sintesis tentang NDC yang diserahkan oleh Para Pihak pada 26 Februari 2021, Sekretariat PBB untuk perubahan iklim juga menyebutkan bahwa hampir semua Pihak memberikan informasi tentang pendanaan sebagai sarana pelaksanaan NDC, baik pendanaan dengan kemampuan dalam negeri maupun dengan pihak luar negeri sebagai dukungan internasional yang diperlukan. Beberapa menyebutkan keuangan dalam konteks memberikan dukungan keuangan bagi negara lain untuk implementasi NDC. Banyak Pihak memberikan informasi kualitatif tentang bagaimana keuangan akan digunakan sebagai alat implementasi baik secara umum atau melalui tindakan khusus untuk pendanaan mitigasi dan adaptasi, seperti mengalokasikan pengeluaran publik, membentuk dana iklim atau mendukung sistem keuangan. Beberapa juga memasukkan informasi kuantitatif tentang investasi atau pengeluaran keuangan untuk mendukung NDC mereka, seperti tentang pembiayaan dana pengembangan teknologi tertentu, program anggaran berskala ekonomi atau proyek tertentu dan kebutuhan dukungan keuangan.

Beberapa Pihak memberikan informasi tentang kebutuhan dukungan keuangan di seluruh bidang atau sektor mitigasi dan adaptasi, dan beberapa memberikan perkiraan total. Pembiayaan mitigasi dibutuhkan di seluruh energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi dan kehutanan. Beberapa Pihak memberikan perkiraan dukungan dana adaptasi yang diperlukan untuk kegiatan yang berkaitan dengan sektor air, pertanian, perlindungan pantai dan ketahanan. Beberapa Pihak merujuk pada akses dan mobilisasi serta penggunaan sumberdaya keuangan dalam konteks pendekatan kerjasama berdasarkan Pasal 6 Perjanjian Paris.(Dari berbagai Sumber)