Pada 2 Februari 2021, pemerintah melalui PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP PPLH), mengeluarkan kebijakan yang kontras dengan kebutuhan hukum masyarakat dalam industri batubara. Melalui PP ini, limbah batu bara hasil pembakaran PLTU dikeluarkan dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).  Jenis limbah yang keluar dari kategori B3 tersebut adalah fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau FABA.

Dua jenis limbah tersebut bersumber dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkitan listrik tenaga uap PLTU atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi, selain stoker boiler dan/atau tungku industri.

Kebijakan pemerintah ini tentu mengundang reaksi pro dan kontra. Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini diambil atas dasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah terlebih dahulu mengeluarkan limbah hasil pembakaran batubara dari kategori B3.

BACA JUGA: Benarkah Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon pada 2070? 

Kelompok pemerhati lingkungan menilai kebijakan itu tidak berpihak terhadap perlindungan lingkungan. Pemerhati lingkungan hidup menilai dikeluarkannya limbah fly ash dan bottom ash dari kategori B3, dapat mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir. Terhadap perubahan iklim pun penggunaan batubara akan mempercepat laju perubahan iklim.

Di sisi lain, pelaku usaha mengapresiasi penerbitan PP 22 Tahun 2021 meskip hanya berlaku bagi FABA yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sehingga bagi industri penghasilnya dari non-PLTU yang umumnya menggunakan tungku industri, masih dikategorikan sebagai limbah B3.

Persyaratan yang diberlakukan bagi penghasil FABA adalah kewajiban pengelolaan berupa kegiatan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan dan kegiatan penimbunan limbah B3. Tahapan kewajiban tersebut sangat birokratis dan memerlukan waktu lama. 

Ekonomi VS Lingkungan 

Ibarat dua sisi mata uang, tambang batubara memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan, namun juga memiliki akibat yang memprihatinkan. Persoalan ekonomi jangka pendek yang dihasilkan dari tambang batubara menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang satu ini menjadi tak terbendung, sementara akibat buruknya terhadap lingkungan hidup dan masyarakat jarang menjadi perhatian. 

Banyak lubang bekas tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi, sementara PLTU menghadirkan derita berkepanjangan karena limbah hasil pembakaran batubara mencemari udara dan membahayakan Kesehatan masyarakat. Kondisi yang demikian terjadi hampir di semua wilayah yang terdapat tambang batubara dan PLTU. 

BACA JUGA: Kemana Alokasi Dana Perubahan Iklim?

Mengulas mengenai persoalan dampak buruk atau bahaya tambang batubara dan PLTU tidak lengkap rasanya bila belum mengemukakan beberapa hasil penelitian. Batu bara menimbulkan masalah karena pengambilan, pengolahan, dan penggunaannya merusak lingkungan. Produksi batu bara dilakukan dengan membabat hutan dan menggali tambang. Proses produksinya mencemari tanah, air, dan udara.

Greenpeace Indonesia (2015) melalui penelitiannya berjudul Kota Batu Bara dan Polusi Udara mengungkapkan bahwa polusi udara adalah pembunuh senyap yang menyebabkan 3 juta kematian dini (premature death) di seluruh dunia. Pembakaran batu bara adalah salah satu kontributor terbesar polusi yang menyebabkan peningkatan risiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan.

Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan bahan bakar fosil batu bara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global. Pembakaran batu bara adalah sumber terbesar emisi gas GHG (greenhouse gas), yang memicu perubahan iklim. Batu bara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO2, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM2.5. Masyarakat ilmiah dan medis telah mengungkap bahaya kesehatan akibat partikel halus (PM2.5) dari emisi udara tersebut. PLTU batu bara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen. (baca: Mongabay, Angin Surga Beralih ke Energi Terbarukan Kala Pengembangan Masih Bertumpu Batubara)

Walaupun demikian, persoalan persoalan kualitas udara tetap menjadi persoalan yang butuh mendapat perhatian. Bukan lagi karena faktor abu terbang dari hasil pembakaran batu bara masuk kategori limbah B3 atau tidak, namun persoalannya adalah pencemaran yang mengancam Kesehatan masyarakat dan mempercepat perubahan iklim. 

Bila merujuk pada konstitusi, adanya PP 22/2021 tidak menggugurkan kewajiban pemerintah dalam menjamin lingkungan hidup yang bagi masyarakat. Hal tersebut ditegaskan pada Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Dalam konteks konstitusi, mendapat lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia yang seharusnya menjadi prioritas negara untuk dilindungi. Sayangnya, dalam konteks Sijantang Koto, negara telah gagal dalam menjalankan amanat konstitusi tersebut dengan tetap membiarkan PLTU Ombilin beroperasi meski telah terbukti secara nyata menyebabkan pencemaran lingkungan.  

Bila limbah batu bara dikeluarkan dari kategori limbah B3, bukan berarti hal itu juga akan membiarkan pencemaran udara akibat asap dan partikel debu dari pembakaran batu bara. Masyarakat haruslah mendapat lingkungan hidup yang sehat, tanpa terkecuali dengan menghentikan operasi dari sebuah PLTU.