Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengungkapkan bahwa dunia ini hanya akan aman bila pada tahun 2100 kenaikan suhu rata-rata bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius dibandingkan periode revolusi industri. Bila melebihi dari angka 2 derajat Celcius, maka itu merupakan petaka bagi umat manusia karena kenaikan suhu bumi berpotensi menyebabkan bencana terjadi di mana-ama. Dan itu akan menyebabkan bumi tidak aman lagi untuk dihuni.
Berbagai kesepakatan telah dibuat oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia demi menjaga bumi tetap aman. Di mulai dari ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang melalui UU Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan termasuk dalam negara Non-Annex I yang menyebabkan Indonesia memiliki kewajiban dan hak atas dukungan UNFCCC atau Kerangka Kerja PBB.
Kemudian diikuti dengan menjadi tuan rumah COP-13/2007 di Bali yang menghasilkan Bali Action Plan tentang pentingnya hutan Indonesia melalui pelaksanaan skema REDD+ serta dihasilkannya studi IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance). Selanjutnya, Indonesia kembali meratifikasi Perjanjian Paris di New York pada tanggal 22 April 2016 yang memberikan konsekuensi Indonesia berkomitmen untuk melakukan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dan aktif mencegah terjadinya perubahan iklim, di mana salah satunya adalah memposisikan hutan sebagai kunci dari upaya penurunan gas rumah kaca.
Sayangnya, pemanasan global tidak terbendung. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) suhu bumi berpotensi meningkat lebih dari 1,5 derajat Celcius dalam lima tahun. Ambang batas yang ditetapkan untuk 100 tahun tersebut berpotensi terlewati sebelum 2024 (CNN Indonesia, 9/7/2020).
BACA JUGA: Sinergi Perhutanan Sosial dan Proklim di Tingkat Tapak: Nagari Sirukam
Meningkatnya suhu bumi terjadi akibat penambahan emisi gas rumah kaca yang semakin meningkat. Berbagai aktivitas manusia sangat mempengaruhi, salah satunya adalah penggundulan hutan. Hutan dengan berbagai macam keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya menjadi salah satu sektor penting dalam menjaga keseimbangan dan kesehatan lingkungan. Sayangnya, ekosistem hutan terus terancam akibat keinginan eksploitasi hasil hutan yang terus meningkat.
Di Indonesia, keinginan mengeksploitasi hutan jauh lebih besar daripada menjalankan komitmen iklim yang sudah disepakati. Kesepakatan-kesepakatan komitmen iklim yang dibuat tersebut hanyalah komitmen di atas kertas tanpa adanya upaya implementasi yang jelas. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara justru berkebalikan. Terutama dalam perlindungan hutan.
Alih-alih menaati apa yang telah diperjanjikan, kita justru membidik hasil hutan sebagai suatu yang harus segera di eksploitasi. Sekalipun itu dengan cara-cara yang mengancam kelestarian hutan.
Perlindungan hutan semakin hari semakin memprihatinkan. Penyusun kebijakan selalu silau dengan rayuan ekonomi jangka pendek dari kegiatan eksploitasi hutan. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan selalu menjauh dari kata ramah lingkungan.
Beberapa waktu yang lalu, kita disibukkan dengan masalah omnibus law yang diperuntukkan untuk memangkas persoalan perizinan dan investasi. Penyusunan omnibus law pertama, yakni Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terus mendapat kritik dan penolakan. Alih-alih mendengarkan penolakan publik tersebut, UU sapu jagat ini justru disahkan dengan salah satu alasannya adalah sebagai sarana pemulihan dampak ekonomi akibat pandemi.
Berbagai alasan yang dikemukakan. Mulai dari masalah proses pembentukan yang tidak partisipatif, sampai masalah substansi yang jauh dari harapan. Salah satunya dalam hal perlindungan lingkungan hidup.
BACA JUGA: Maksimalkan Dana, Cegah Kerusakan Hutan dan Turunkan Emisi
Dari substansi UU Cipta Kerja, alih-alih memudahkan perizinan, yang terjadi justru sebaliknya. Semakin rumit dan memancing konflik. Misalnya dalam persoalan analisis dampak lingkungan (Amdal). Dalam proses penyusunan, hanya masyarakat yang terdampak langsung yang boleh terlibat. Sementara ruang partisipasi bagi masyarakat yang yang tidak bersinggungan langsung namun menerima dampak dalam jangka panjang dihilangkan. Tentu persoalan ini sangat mengkhawatirkan, terutama dalam usaha-usaha yang berhubungan langsung dengan alam, seperti petambangan dan perkebunan.
Pemerintah melalui UU Cipta Kerja memberikan risiko tinggi bagi lingkungan terhadap lingkungan dalam upaya menarik investasi dan kemudahan berusaha yang ditawarkan. Terlebih dalam usaha pertambangan yang limbahnya dapat menyebabkan pencemaran air yang memberikan ancaman bagi masyarakat. Tidak hanya bagi masyarakat yang bersinggungan langsung, namun juga memberikan ancaman terhadap masyarakat yang daerahnya dialiri sungai yang airnya berasal dari daerah pertambangan.
Di sisi lain, kegiatan perusakan hutan secara melawan hukum pun terus terjadi. Lahan gambut “dibakar’ lalu ditanami sawit, pepohonan di kawasan taman nasional ditebangi, sementara sungai dan dataran disekitarnya dikeruk pertambangan secara ilegal.
Dalam lima tahun terakhir, Greenpeace Asia Tenggara mengungkapkan sekitar 4,4 juta hektare hutan dan lahan gambut terbakar. Sebagian besar dari lahan terbakar tersebut berada di wilayah perusahaan pemegang konsesi perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan.
Melalui UU Cipta Kerja, tanggung jawab mutlak dari perusahan-perusahaan atas kerusakan hutan di areal konsesinya juga dihilangkan. Kalau sebelumnya perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan hutan di areal konsesinya, sekarang harus melalui pembuktian adanya kesalahan dari perusahaan terlebih dahulu. Tentu hal ini akan menjadi masalah baru dalam upaya untuk menjaga kelestarian hutan yang memiliki peran vital terhadap kehidupan seperti menjaga suhu bumi agar tetap stabil, dan menjaga sumber air. [ ]