We’re back in the Paris Climate Agreement. Begitu kicauan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Joseph Robinette Biden Jr atau Joe Biden dalam akun twitter pribadinya @POTUS pada 21 Januari 2021 yang lalu. Kicauan tersebut merupakan komitmen Biden yang dituangkan ke dalam 17 perintah eksekutif pasca dirinya dilantik menjadi Presiden Negeri Paman Sam itu.
Sangat diketahui bahwa di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, AS telah memutuskan untuk hengkang dari komitmen Paris Agreement pada 2017 silam. Pada saat itu, Trump mengatakan Paris Agreement sangat tidak adil bagi negaranya.
Dilansir dari BBC (1/7/2017), Trump mengklaim bahwa Paris Agreement memberikan dampak buruk pada ekonomi AS seperti dampak hilangnya US$ 3 triliun PDB dan hilangnya 6,5 juta pekerjaan. “Kesepakatan ini akan merusak ekonomi kita, melumpuhkan pekerja kita, dan secara efektif mematikan industri batu bara kita,” ungkap Presiden Trump.
BACA JUGA: NDC dan Pemulihan Ekonomi Nasional
Sikap proteksionisme AS di bawah komando Donald Trump dianggap banyak pihak sebagai salah satu ancaman besar dunia, bukan hanya ancaman dari segi perekonomian, tapi juga ancaman dari segi penyelamatan lingkungan seperti halnya upaya dunia dalam melawan krisis iklim yang sudah begitu mengkhawatirkan.
Namun, berbeda dengan Trump. Terpilihnya Joe Biden seolah memberikan harapan baru bagi dunia. Angin segar ini wajib disambut baik oleh banyak negara di dunia yang juga berkomitmen dalam agenda besar menyelamatkan bumi dari ancaman krisis iklim.
Bukti Biden sangat peduli terhadap lingkungan, selain menandatangani dokumen untuk kembali bergabung ke kesepakatan iklim Paris Agreement, Biden juga mencabut izin presiden yang diberikan untuk pipa minyak Keystone XL yang begitu kontroversial. Secara tidak langsung pula, publik menilai bahwa Biden sedang bersih-bersih kebijakan Trump yang tidak berpihak terhadap lingkungan. Bukan hanya itu, Biden juga menyoroti moratorium aktivitas penyewaan minyak dan gas di Suaka Margasatwa Nasional Arktik yang baru-baru ini dibuka oleh pemerintahan Trump untuk pembangunan.
Biden dianggap bisa membawa perubahan besar melalui perintahnya di hari pertama jabatannya tersebut. Bagai bumi dan langit, Biden dan Trump memiliki visi lingkungan dan iklim yang sangat jauh berbeda. Trump kerap meremehkan sains dan mengabaikan pemanasan global sedangkan Biden terlihat lebih realistis terhadap ancaman tersebut.
Lantas, apa saja yang akan terjadi pada dunia dengan kembalinya AS ke dalam komitmen iklim Paris Agreement?
Diperkirakan ada tiga dampak besar setelah Joe Biden berhasil membawa Amerika untuk kembali merapatkan barisan dari Paris Agreement.
- Mengembalikan Kepercayaan Diri Dunia dalam Memerangi Krisis Iklim
Krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan telah membuat banyak negara pesimistis untuk menyelesaikannya, apalagi dengan kurangnya komitmen negara besar untuk ikut serta dalam langkah kongkrit ini. Misalnya China dan Amerika.
Namun, dengan kembalinya Amerika ke Paris Agreement, maka sikap tersebut dinilai sebagai bentuk stimulus dan daya dorong bagi negara-negara yang konsen dalam memerangi perubahan iklim dunia agar tetap bersemangat dan memegang teguh komitmen melawan krisis iklim dunia yang semakin mengkhawatirkan.
- Terbukanya Peluang Pendanaan Melawan Perubahan Iklim
Dalam upaya melawan dampak perubahan iklim, persoalan pendanaan menjadi salah satu prioritas yang harus diperhatikan. Dukungan materil ini hanya bisa dilakukan oleh negara-negara maju yang memiliki sumber pendanaan besar seperti halnya Negara Adidaya Amerika Serikat.
BACA JUGA: Capai Target NDC Indonesia dengan Mengurangi Emisi
Bukan hanya memiliki kapasitas fiskal yang mumpuni sebagai negara, Amerika juga memiliki sektor bisnis yang begitu moncer. Artinya bukan hanya dapat memberikan dukungan pendanaan iklim dari kemampuan fiskal negaranya, Amerika juga dapat mendorong sektor usaha untuk terlibat dalam komitmen iklim dunia, misalnya saja mendorong public figure untuk mendukung pendanaan seperti yang dilakukan CEO Amazon, Jeff Bezos yang berkomitmen untuk mendonasikan 10 miliar dollar AS atau setara Rp 137 triliun untuk membantu menanggulangi krisis perubahan iklim di dunia.
- Mengurangi Emisi Global Secara Signifikan
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebut bahwa sebesar 65% emisi gas rumah kaca diakibatkan oleh konsumsi bahan bakar fosil dan aktivitas industri. Terkait konsumsi bahan bakar fosil tersebut, Amerika merupakan negara dengan konsumsi bahan bakar fosil terbesar kedua di dunia setelah China hingga 2018.
Laporan BP Statistical Review of World Energi 2019 menyatakan konsumsi bahan bakar fosil AS 2018 mencapai 1,9 miliar ton ekuivalen minyak atau 16,5% dari total konsumsi bahan bakar fosil dunia. Lebih lanjut, konsumsi bahan bakar fosil Paman Sam naik 3,78% dari tahun 2017 ke 2018. BP juga mencatat bahwa konsumsi minyak bumi dan gas alam AS naik masing-masing 1,96% dan 10,51% sementara itu konsumsi batu bara turun 4,32% pada periode 2017-2018.
Saat ini, Amerika menyumbang 16% emisi karbon global dan merupakan negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah China. Tentu jika negara selevel Amerika punya komitmen besar dalam Paris Agreement maka peluang untuk menyelamatkan dunia juga akan semakin besar pula. []