Baru-baru ini Indonesia mencatat prestasi menggembirakan soal deforestasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan deforestasi Indonesia turun hingga 75,03%. Meski belakangan banyak catatan kritis soal angka penurunan ini. 

Yayasan Madani Berkelanjutan pernah menyoroti bahwa sebetulnya penurunan angka deforestasi bukan terjadi pada hutan alam, namun terbesar terjadi pada hutan tanaman, bahkan  mencapai 99%. Jika melihat data KLHK, deforestasi hutan primer yang turun sebesar 48% atau 23,9 ribu hektare pada 2018-2019, menjadi 12,3 ribu hektare pada 2019-2020. Sementara hutan sekunder turun lebih sedikit hanya 36% dari 164 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 104,6 ribu hektare pada 2019-2020. 

Deforestasi bruto hutan alam, meski layak diapresiasi, namun juga hanya 38% yakni 187,9 ribu hektare pada 2018-2019, menjadi 116,9 ribu hektare pada 2019-2020. 

Berdasarkan analisis Madani, sekitar 9,4 juta hektare hutan alam di luar izin dan konsesi masih belum terlindungi oleh kebijakan moratorium hutan. Dengan kata lain, hutan alam seluas ini terancam dan berpotensi mengalami deforestasi di masa depan dengan berbagai alasan. 

BACA JUGA: Food Estate Bukan Solusi Mengatasi Persoalan Pangan

Namun, dibalik pencapaian dan kekhawatiran ini, ada pesan tersirat bahwa sebetulnya kita mampu menjaga hutan kita. Ekonomi masih tetap berjalan meski Indonesia menekan eksploitasi akan hutan. 

Dengan berbagai kebijakan terutama moratorium sawit dan hutan, pemantauan dan  pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan restorasi ekosistem gambut, kita berhasil keluar dari tiga negara teratas dengan kehilangan tutupan hutan terbanyak, seperti dilaporkan World Research Institute (WRI). 

Peran Indonesia baik dalam Paris Agreement maupun menangkal krisis iklim sangat besar. Negara-negara lain masih terus menoreh ‘prestasi’ kehilangan tutupan hutan yang buruk.

Menurut WRI, Brazil masih kehilangan hutan primer 1,7 juta hektare pada 2020. Angka ini naik 25% dibanding tahun sebelumnya. Masih ingat kebakaran hebat hutan Amazon tahun lalu? 

Deforestasi Brazil juga menjadi lebih buruk karena kehilangan tutupan hutan terjadi di Pantanal, wilayah gambut terluas di dunia. Angkanya 19 kali lebih besar dibanding 2019. 

Bayangkan berapa puluh tahun waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan keadaan ini. 

Tak jauh berbeda, di Bolivia, Peru, Kolombia, Rusia dan Australia juga kehilangan tutupan hutan signifikan baik karena musim kemarau yang lebih ekstrim, kurangnya pemantauan pemerintah, hingga migrasi penduduk dari kota ke desa karena pandemi Covid-19. 

Rainforest Foundation Norway (RFN) juga mencatat pada 2019 dunia kehilangan 35.847 km2 hutan hujan tropis. Padahal ini adalah ekosistem terestrial yang paling penting di bumi. Perbedaan pengertian soal hutan hujan tropis oleh berbagai negara menyebabkan perbedaan data yang menjadikan negara-negara kesulitan membuat kebijakan yang tepat untuk ekosistem yang unik ini. 

Total hutan hujan tropis di dunia mencapai 9.529.575 km2. Menurut RFN, sepertiga hutan hujan tropis di dunia sudah hilang, sepertiga lainnya terdegradasi dan sepertiga sisanya masih utuh.

Pada 2016 masih ada 5,2 juta km2 (55%) hutan hujan tropis utuh. Tiga tahun kemudian angka ini menyusut menyisakan hanya sepertiga dari total hutan hujan tropis yang utuh. 

BACA JUGA: Setelah Joe Biden Bawa Amerika Kembali Ke Paris Agreement

Pada 2019, ada 73 negara masih punya hutan hujan tropis, lima diantaranya memiliki luasan lebih dari 500 ribu km2. Ada dua wilayah yang punya lebih dari sejuta km2, yakni di Amerika dan Amazon. 

Di Indonesia, ada 294 ribu km2 hutan hujan tropis. Namun selama 2002-2019, RFN mencatat deforestasi terbanyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan disusul Papua, Sulawesi dan Maluku. 

Jatah deforestasi

Lantas apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia? 

Penurunan deforestasi yang ditoreh Indonesia pada 2020 ini bisa menjadi titik awal untuk pemulihan ekonomi tanpa merusak hutan dan lingkungan. Jika Indonesia terus berhasil mempertahankan penurunan deforestasinya, Indonesia akan jadi rujukan bagi negara-negara yang punya hutan tropis. 

Karena itu, pemerintah perlu memastikan agar semua kebijakan pembangunan baik yang termasuk dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Proyek Strategis Nasional (PSN) maupun program ketahanan pangan dan energi, serta tidak kontraproduktif dengan upaya pencapaian komitmen iklim Indonesia. 

Melindungi hutan alam sekunder terutama yang ada dalam konsesi yang belum terlindungi kebijakan moratorium, meneruskan kebijakan moratorium sawit dan meninjau kembali program strategis atas nama pemulihan ekonomi nasional yang mengancam hutan, adalah sebuah keharusan. 

Indonesia harus melihat pencapaian tahun lalu sebagai peluang untuk mencapai visi jangka panjang yang selaras dengan Paris Agreement. Indonesia bisa menurunkan ‘jatah’ deforestasi pada update National Determined Contribution (NDC) selanjutnya per tahun. 

Jika merujuk pada skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada 2010-2030 tak boleh lebih dari 241 ribu hektare per tahun. Artinya, jatah deforestasi hutan alam Indonesia pada periode ini hanya boleh 4,82 juta hektare. 

Sementara menurut data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus.

Lalu, bagaimana jika Indonesia tak ambil saja ‘jatah’ deforestasinya? Indonesia boleh julid kepada Singapura yang cuma punya 1% lahan untuk pertanian, dan mulai ‘terpaksa’ memanfaatkan pertanian urban untuk menopang kebutuhan pangan dalam negeri mengingat 90%  kebutuhan pangan Singapura sebelumnya dipasok dari impor negara ini. Tapi tentu ini harus disokong dengan teknologi pertanian yang mumpuni. Apakah Indonesia berminat?