Ilustrasi anak-anak yang sedang belajar. Sumber: Shutterstock

Tingkat literasi perubahan iklim masyarakat perlu terus kita kerek. Dengan begitu, diharapkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat kita terhadap isu perubahan iklim semakin baik sehingga mereka  mampu melakukan mitigasi dan adaptasi secara baik pula.

World Disasters Report 2020 mengungkap bahwa selama satu dekade terakhir, 83 persen dari semua bencana alam, seperti badai, banjir, dan gelombang panas, terkait dengan fenomena kenaikan temperatur bumi. Bencana-bencana tersebut sejauh ini telah menewaskan lebih dari 410.000 orang serta mempengaruhi kehidupan 1,7 miliar orang di seluruh dunia. 

Dalam 40 tahun ke depan, peningkatan temperatur bumi diproyeksikan bakal menaikkan angka kematian global sekitar 14 kematian per 100.000 orang. Pada akhir abad ini, jika tingkat emisi karbon tetap tinggi, krisis iklim dapat menyebabkan 73 kematian tambahan per 100.000 orang.

BACA JUGA: Krisis Iklim dan Pudarnya Visi Indonesia 2045

Adapun dalam skenario tingkat emisi karbon yang lebih rendah, tingkat kematian dapat turun menjadi 10 kematian per 100.000 orang. Pada tahun 2060, krisis iklim mungkin sama mematikannya dengan COVID-19, dan pada tahun 2100 kemungkinan bisa lima kali lebih mematikan ketimbang COVID-19 (Gates, 2020).

Merujuk kepada salah satu pemodelan iklim yang pernah dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), temperatur bumi pada tahun 2100 diperkirakan dapat  meningkat sekitar 1,8 hingga 4 derajat Celcius, jika dibandingkan dengan temperatur rata-rata pada periode tahun 1980-1999. Itu setara dengan kenaikan 2,5 hingga 4,7 derajat Celcius apabila dibandingkan dengan periode pra-industri. 

Khusus untuk Indonesia, data observasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dari tahun 1981-2018 memperlihatkan tren suhu, baik suhu minimum, rata-rata, dan maksimum, yang bernilai positif dengan besaran yang bervariasi sekitar 0,03 derajat Celcius setiap tahunnya. Menurut BMKG, sampai tahun 2049 diperkirakan kenaikan suhu diatas 1,2 derajat Celcius akan terjadi di Pulau Sumatera bagian selatan, Pulau Jawa bagian timur, kepulauan Nusa Tenggara, Kalimantan bagian utara dan selatan, sebagian besar Sulawesi dan sebagian besar Papua (Safitri & Pargesari, 2020).

Salah satu konsekuensi dari peningkatan temperatur bumi yaitu semakin besarnya peluang terjadinya banjir kawasan pesisir dengan berbagai kerusakan yang ditimbulkannya. Konsekuensi paling buruk yaitu tenggelamnya kawasan-kawasan pesisir.

Menurut hasil studi yang pernah dilakukan US Agency for International Development (USAID), kenaikan permukaan air laut sebagai akibat meningkatnya temperatur bumi diperkirakan akan menenggelamkan sedikitnya 2.000 pulau kecil pada tahun 2050, dan menjadikan 5,9 juta orang terkena dampak banjir pesisir pada tahun 2100.

BACA JUGA: Pentingnya Pendanaan Iklim untuk Atasi Krisis Iklim 

Para pakar memperkirakan, dalam beberapa dekade mendatang, efek terbesar dari kenaikan permukaan air laut akan sangat terasa di kawasan Asia, mengingat jumlah populasi yang besar yang tinggal di daerah pesisir di benua ini. Kawasan-kawasan pesisir di Bangladesh, India, Indonesia, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam diproyeksikan berada di bawah rata-rata tingkat banjir pantai tahunan di tahun 2050 mendatang. 

Dengan kemungkinan-kemungkinan risiko yang akan ditimbulkannya, segenap warga negeri ini seyogianya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup baik mengenai perubahan iklim dan harus selalu siap fisik maupun psikis menghadapi setiap kemungkinan terburuk dari perubahan iklim.

Namun, realitanya, toh tak sedikit warga negeri ini yang tampaknya masih kurang mengetahui dan memahami soal isu perubahan iklim ini. Bahkan, sebagian mengingkarinya. Hal ini setidaknya terlihat dari hasil sebuah survei.

Merujuk hasil survei YouGov, yang dirilis pada Desember 2020 lalu, Indonesia termasuk salah satu negara dengan penyangkal perubahan iklim tertinggi dewasa ini. Hasil survei YouGov menunjukkan sekitar 21 persen orang Indonesia mengatakan bahwa perubahan iklim itu tidak nyata atau bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim. Dengan kata lain, mereka meyakini  perubahan iklim bukan karena ulah manusia.

Oleh sebab itu, literasi perubahan iklim, sebagaimana yang ditekankan oleh UNESCO, perlu sekali digalakkan. Memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai ihwal perubahan iklim sekarang ini sangat diperlukan antara lain guna mengurangi risiko-risiko yang lebih buruk yang disebabkan oleh perubahan iklim. Salah satu cara untuk mengerek literasi perubahan iklim masyarakat adalah dengan memasukkan isu perubahan iklim ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

BACA JUGA: KLIMATOGRAFIK: Mulai dari Emisi Nol Bersih, Ya

Soal pentingnya pendidikan perubahan iklim sendiri ditegaskan dalam pasal 6 Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di mana 197 negara telah berkomitmen untuk pengembangan dan pelaksanaan program pendidikan dan kesadaran publik tentang perubahan iklim dan dampaknya, baik di level nasional maupun internasional. Demikian pula dalam Perjanjian Paris. Para pihak dalam perjanjian Paris juga telah  berkomitmen untuk meningkatkan pendidikan perubahan iklim.

Lantas, apa kira-kira fokus utama pendidikan perubahan iklim? 

Pertama, untuk mengetahui dan memahami dasar-dasar perubahan iklim berikut berbagai dampak perubahan iklim bagi kehidupan manusia.

Kedua, untuk mengetahui dan memahami langkah-langkah praktis mitigasi dan adaptasi yang dapat dilakukan dalam kehidupan nyata di lingkungan masing-masing.

Adapun yang ketiga adalah mewujudkan sekolah hijau. Yaitu dengan mempromosikan perilaku ramah lingkungan yang berkelanjutan dan upaya mewujudkan lingkungan karbon netral dalam pelaksanaan proses kegiatan pembelajaran di sekolah.

BACA JUGA: 4 Langkah Penting Agar Upaya Hutan Bebas Emisi Pada 2030 Tak Cuma Sekadar Target

Selain diberikan lewat jalur pendidikan formal di bangku sekolah mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan menengah, ada baiknya pula pendidikan perubahan iklim ini diberikan bagi kalangan masyarakat umum, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di kawasan-kawasan yang rawan terkena dampak paling buruk dari perubahan iklim. 

Diharapkan dengan diselenggarakannya pendidikan perubahan iklim ini, semakin banyak anggota masyarakat kita yang bertambah pengetahuan dan pemahamannya soal isu perubahan iklim serta mampu melakukan mitigasi dan adaptasi dengan baik, sehingga mampu mencegah terjadinya bencana/petaka yang lebih buruk terkait perubahan iklim.

 

Rejeki Wulandari

Pemerhati Isu Lingkungan