Kegagalan masyarakat dunia untuk menahan kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celcius akan mengancam keberlanjutan kehidupan. Laporan Khusus Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang disusun berdasarkan ratusan riset menjabarkan lima ancaman besar kenaikan suhu global. Mulai dari ancaman terhadap ekosistem khusus atau endemik, kejadian cuaca ekstrem yang berdampak pada kesehatan, ekonomi dan bencana, kesenjangan nekara kaya dan miskin, hilangnya ekosistem dan keanekaragaman hayati hingga mencairnya lapisan es di Greenland dan Antartika yang menyebabkan naiknya permukaan air laut.
Untuk itu pemerintah Indonesia, sebagai salah satu pihak yang berkomitmen dalam Kesepakatan Paris sejak lima tahun lalu untuk ikut berkontribusi menahan kenaikan suhu bumi, menyusun peta jalan mitigasi untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) menurunkan 29% emisi dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.
Peta jalan ini merinci rencana aksi mitigasi dan target penurunan emisi gas rumah kaca. Ini juga untuk memenuhi kaidah transparansi yang disepakati dalam Kesepakatan Paris. Tanpa ini emisi Indonesia yang tercatat 1.334 juta ton CO2e pada 2010 akan meningkat menjadi 2.869 juta ton pada 2030.
Dari lima sektor yang ditunjuk untuk ikut berkontribusi dalam pencapaian target ini, lahan dan kehutanan, dan, energi termasuk transportasi, dapat jatah paling besar, masing-masing 17,2% dan 11%. Sisanya, tiga sektor lain, limbah, industri dan pertanian.
BACA JUGA: Menilik Kesiapan Indonesia dalam Mengatur Nilai Ekonomi Karbon
Sektor lahan dan kehutanan mendapat sorotan lebih karena bertugas mengendalikan deforestasi dan degradasi hutan dengan mencegah atau mengurangi terjadinya perubahan luasan atau area lahan berhutan, baik direncanakan maupun tidak.
Strategi penurunan emisi dari deforestasi dilakukan dengan mencegah konversi hutan yang sudah direncanakan—pada area Hak Guna Usaha (HGU) dan Perhutanan Sosial (PS) — dan yang tak direncanakan.
Beberapa cara dirinci dalam dokumen mitigasi NDC, mulai dari pengelolaan hutan lestari dengan teknis reduced impact logging, dan sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), peningkatan cadangan karbon, dan konservasi hutan.
Sejak Permen LHK no 30 tahun 2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan terbit, sudah banyak kegiatan demonstration activities (DA) di Indonesia.
Namun menurut kajian Yayasan Madani Berkelanjutan banyak DA yang sudah tak terdengar lagi kabarnya. Bagai anak ayam kehilangan induk. Untuk meneruskan program ini, perlu dikumpulkan lagi dokumen-dokumen DA. Ini penting untuk mengetahui apa saja tantangannya dan apa yang bisa dilakukan untuk implementasinya dalam rangka mencapai target NDC.
BACA JUGA: Rapor Penurunan Emisi Indonesia
Lebih lanjut, kajian ini juga menyoroti peran jenis-jenis hutan dalam menyokong mitigasi NDC. Apakah pengelola hutan lindung sudah bisa melakukan pengukuruan potensi hutan dan membuat dokumen perencanaan penurunan emisi?
Bagaimana hutan produksi dapat berkontribusi jika masih ada anggapan bahwa hutan tak boleh digunakan untuk produksi?
Selain itu, areal di luar kawasan hutan juga perlu diajak berpartisipasi dalam mencapai target NDC, terutama areal sawit dan tambang yang membuka lahan skala besar.
Yang tak kalah penting adalah Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) sebagai pengganti Dinas Kehutana di tingkat tapak juga harus dapat prioritas. Dengan tugas berat, mencegah degradasi dan deforestasi hutan, Madani menemukan banyak KPH yang belum familiar dengan isu perubahan iklim.
Perhutanan Sosial, meski sudah cukup serius untuk mengatasi masalah tenurial, namun tetap menyisakan PR untuk memperbaiki pemahaman pengelola tentang upaya pencegahan deforestasi dan degradasi.
PR lain dari perhutanan sosial adalah belum adanya dukungan regulasi yang akomodatif untuk menjadikan perhutanan sosial sejalan dengan target perubahan iklim yang ditetapkan. Menurut Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Permen LHK nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial belum jelas menghubungkan kontribusi antara program yang dibangun dengan kontribusinya pada komitmen penurunan emisi gas rumah kaca.
Begitu juga aturan turunannya, seperti Peraturan Dirjen PSKL tahun 2016 tentang pedoman pengembangan usaha perhutanan sosial menjadi Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) tanpa pertimbangan komponen pencapaian pengurangan emisi atau pemenuhan komitmen target perubahan iklim di dalamnya.
ICEL menilai, konsep perhutanan sosial yang dicanangkan sangat berorientasi pada aspek perekonomian semata dan cenderung mengabaikan koherensi program dengan target komitmen perubahan iklim yang ditetapkan.
BACA JUGA: Menanti Perpres Nilai Ekonomi Karbon yang Mumpuni
Konsep peraturan yang ditetapkan, berorientasi pada seberapa besar unit-unit yang dibangun di bawah skema perhutanan sosial mampu berkontribusi terhadap peningkatan produktivitas nilai produksi. Apalagi prioritas dana desa untuk perhutanan sosial hanya diarahkan pada pengelolaan produksi usaha pertanian untuk pengembangan dan pengelolaan usaha dan produk unggulan, sehingga tidak menempatkan ragam usaha masyarakat dalam upaya peningkatan serapan karbon sebagai usaha yang mendapatkan sumbangsih prioritas dana desa.
Berdasarkan Laporan Verifikasi Tahun 2018 yang dibentuk oleh Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, metode perhitungan emisi gas rumah kaca Indonesia masih belum mengakomodasi perhitungan emisi dan serapan menggunakan persamaan yang paling rinci dengan pendekatan modelling faktor emisi lokal yang divariasikan dengan keberagaman kondisi yang senyatanya ada, sehingga menghasilkan perhitungan dengan tingkat kesalahan terendah. Artinya, hingga saat ini kontribusi serapan emisi dari rangkaian program kehutanan berbasis masyarakat belum dapat dihitung sebagai capaian sumbangsih serapan emisi gas rumah kaca nasional.
Padahal dengan mempertimbangkan target luasan izin perhutanan sosial yang diberikan, ICEL memperkirakan program tersebut dapat berkontribusi hingga 34,6% dari total target NDC Indonesia.
Karena itu butuh penguatan implementasi kebijakan di sektor tata guna lahan, juga energi. World Resource Institute (WRI) Indonesia menghitung dengan penguatan implementasi kebijakan akan mengurangi total emisi menjadi sekitar 1,733 MTCO2 yang bisa melampaui target Indonesia sebesar 29%.
Penguatan ini salah satunya bisa dilakukan dengan memperbaharui kebijakan moratorium hutan Indonesia sampai 2030, yang dalam hitungan WRI, bisa mengurangi emisi sampai 188 MtCO2. Ini kebijakan dengan potensi mitigasi yang terbesar. Jika memasukkan hutan sekunder dan wilayah hutan yang berada dalam konsesi bahkan bisa mengurangi emisi sebanyak 437 MtCO2 pada 2030.
Bukan angka yang sedikit bukan?