Sudahpandemi penyakit Covid-19 menjangkit di hampir seluruh belahan bumi. Pandemi penyakit Covid-19 telah merusak tatanan kebiasaan masyarakat dunia untuk mengubah kebiasaan kehidupan, menjaga jarak, memakai masker dan menjaga kebersihan tangan. Perubahan kebiasaan hidup mulai dari kegiatan pergerakan sampai menjaga kebersihan diri seakan mengingatkan pentingnya keseimbangan dan kebersihan diri bahkan lingkungan sekitar dalam kelangsungan kehidupan di dunia ini. Pergerakan karena aktivitas biasanya menggunakan energi yang mengeluarkan gas CO2.
Penelitian terbaru menunjukan bahwa penurunan pergerakan manusia karena kebijakan penguncian (lockdown) karena dampak pandemi Covid 19 juga mampu menurunkan emisi CO2. Di seluruh Eropa dan Amerika Serikat tercatat penurunan emisi CO2 sekitar 12% sepanjang tahun, dan beberapa negara bahkan mencatat angka yang lebih besar. Prancis mengalami penurunan sebesar 15% dan Inggris turun 13%. Alasan utamanya karena kedua negara ini memiliki dua gelombang penguncian (lockdown) yang sangat ketat dibandingkan dengan negara-negara lain (BBC.com, 13 Desember 2020).
Studi menunjukan bahwa emisi tahun ini turun sekitar 7%. Penurunan emisi karbon pada tahun 2020 merupakan yang terbesar dibandingkan tingkat penurunan sebelumnya. Menurut tim Global Carbon Project, emisi karbon tahun ini turun 2,4 miliar ton.
BACA JUGA: Capai Target NDC Indonesia dengan Mengurangi Emisi
Angka itu jauh melampaui tingkat penurunan yang tercatat pada tahun 2009 akibat resesi ekonomi global dengan hanya setengah miliar ton, maupun pada akhir Perang Dunia Kedua yang menyebabkan emisi turun sebesar satu miliar ton.
Terlepas dari berkurangnya kegiatan pergerakan manusia karena lockdown yang bisa mengurangi emisi CO2 penyebab perubahan iklim, ternyata krisis iklim juga berpengaruh pada merebaknya suatu jenis penyakit. Bagaimana manusia mengelola sumber daya alam dan lingkungannya, turut andil dalam terjadinya krisis iklim dan kehidupan berbagai makhluk hidup termasuk mikroorganisme atau virus.
Studi terbaru yang terbit di jurnal Science of the Total Environment menunjukkan bukti bahwa krisis iklim memainkan peran langsung dalam munculnya virus corona SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan pandemi Covid-19 saat ini. Jumlah virus corona di suatu daerah terkait erat dengan jumlah spesies kelelawar yang ada (Kompas.com, 9 Februari 2021).
Berkat sistem kekebalannya, kelelawar memiliki kemampuan terkenal untuk hidup dengan virus, bertindak baik sebagai reservoir mutasi baru maupun pembawa virus tanpa gejala. Populasi kelelawar dunia membawa sekitar 3.000 jenis virus corona, dengan setiap spesies kelelawar rata-rata memiliki 2,7 virus corona.
Krisis iklim mendorong peningkatan jumlah spesies kelelawar di wilayah tertentu. Hal inilah yang dapat meningkatkan kemungkinan adanya virus corona ditularkan ke manusia atau bermutasi. Kebanyakan virus corona yang dibawa oleh kelelawar tidak bisa masuk ke tubuh manusia. Namun beberapa virus corona yang diketahui menginfeksi manusia kemungkinan besar berasal dari kelelawar, termasuk tiga yang dapat menyebabkan kematian pada manusia, yakni Middle East Respiratory Syndrome (MERS) CoV, dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) CoV-1 dan CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.
Krisis iklim yang disebabkan oleh percepatan peningkatan suhu yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan pohon. Hal ini secara tidak langsung mengubah habitat alami dari semak tropis menjadi sabana tropis dan hutan gugur. Ini menciptakan lingkungan yang cocok untuk banyak spesies kelelawar yang sebagian besar hidup di hutan, memakan nektar, dan buah-buahan.
Studi juga menemukan bahwa 40 spesies kelelawar telah pindah ke provinsi Yunnan di China selatan dalam 100 tahun terakhir, menyimpan sekitar 100 lebih jenis virus corona yang ditularkan oleh kelelawar. Wilayah yang diidentifikasi oleh studi ini merupakan hotspot untuk peningkatan kekayaan spesies kelelawar yang didorong oleh iklim, juga merupakan rumah bagi trenggiling yang diduga bertindak sebagai inang perantara SARS-CoV-2. Selain di China, spesies kelelawar juga meningkat di Asia Tenggara, Afrika Tengah, dan bercak-bercak di Amerika Tengah dan Selatan.
BACA JUGA: NDC dan Pemulihan Ekonomi Nasional
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) juga menyatakan kalau krisis iklim dapat membantu menyebarkan pandemi dan penyakit, meski tidak menyebabkan wabah virus corona. Iklim yang menghangat dan meningkatnya variabilitas dalam pola cuaca di seluruh dunia membuatnya lebih mudah untuk menularkan penyakit dari negara mana pun.
Sebelum adanya pandemi Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization – WHO) telah melacak dan menganalisis bagaimana krisis iklim berdampak kepada kesehatan masyarakat. Sebagai contoh pada kasus polusi udara yang meningkatkan risiko penyakit lain, seperti penyakit jantung dan masalah pernapasan, sesuatu yang berdampak langsung pada mereka yang menderita Covid-19.
Bukti menunjukan bahwa peristiwa zoonosis yang menular dari hewan ke manusia, tak hanya Covid-19, sebelumnya ada pula penyakit SARS dan MERS. Ketika manusia merusak lingkungan, artinya kita telah mengeksploitasi secara berlebihan serta membiarkan diri kita terpapar terhadap resiko penyakit. Resiko terpapar penyakit dari hewan juga menjadi tinggi ketika kita tidak memantau adanya infeksi atau penyakit pada satwa liar atau hewan peliharaan kita.
ICCTF menyatakan bahwa untuk mengurangi kemungkinan pandemi berikutnya kita harus benar-benar sadar dan bijak untuk mengelola sumber daya alam. Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) merupakan instrumen utama Pemerintah Indonesia dalam mengurangi intensitas emisi dan emisi gas rumah kaca melalui perencanaan pembangunan rendah karbon dan adaptasi perubahan iklim. (*)