Foto Utama: Ilustrasi Pembuatan Pupuk Kompos. Sumber: IDN Times

Ketika bicara perubahan iklim dan kontribusi kita terhadapnya, rasanya akan membuat pembahasan ini menjadi sebuah argumen yang panjang. Bagaimana tidak? Meskipun banyak faktor yang menjadi penyebabnya, tapi muaranya tetap pada satu objek. Tidak lain objek itu ialah manusia sang penyebab utama perubahan iklim dunia.

Boleh jadi bumi semakin uzur dan keuzuran tersebut membuat segala rupa yang kita tahu menjadi lemah. Kelemahan itu diperparah oleh faktor internal dan eksternal. Nah, menurut saya manusia berada pada dua jenis faktor tersebut sehingga perbaikan untuk mencegahnya pun harus dimulai dari manusia itu sendiri. 

BACA JUGA: Wow, Demi Cegah Krisis Iklim, Kaum Milenial Ternyata Tak Ingin Punya Anak, loh

Saya pun baru menyadari hal tersebut setahun ke belakangan ini. Dulu, bagi saya menjaga kebersihan saja itu sudah cukup untuk membantu bumi tetap lestari. Tapi, ternyata tak semudah itu. Membuang sampah pada tempatnya itu masih pada tahap permulaan.

Usai mengetahui bahwa banyak gaya hidup kita memengaruhi perubahan iklim, maka saya bertekad untuk mengubahnya sedikit demi sedikit. Tentu tak hanya melibatkan diri sendiri, tapi juga melibatkan keluarga kecil saya.

Perubahan yang saya lakukan dimulai dari dapur, tempat segala rupa yang masuk ke perut, begitulah kiranya. Dapur juga tempat paling penting dari banyaknya ruang yang ada di rumah kami karena di sanalah letak “penyokong kehidupan” berada, ya, apalagi kalau bukan makanan. Mungkin banyak orang berpikir hal itu seperti tak ada hubungannya dengan perubahan iklim. Namun, apakah demikian?

Bayangkan, berapa banyak sisa makanan yang dikonsumsi setiap keluarga dalam seminggu? Sisa-sisa makanan tersebut semuanya berakhir di tempat pembuangan sampah, bukan? Sampai-sampai, sangkin banyaknya sampah, petugas yang mengurusi sampah jadi kewalahan. Tempat pembuangan sampah penuh karena sampah menggunung, lalu bingung mau dibuang ke mana lagi. Inilah persoalan klasik persampahan di negeri ini.

Sekarang, ada beberapa hal yang mulai saya coba terapkan di rumah, pertama, konsisten mengompos. Kegiatan ini sebenarnya semudah mengembalikan apa yang menjadi milik bumi. Kita tinggal memisahkan ‘sampah’ organik yang kebanyakan sisa makanan. Kemudian disatukan dengan material coklat yang kebetulan sudah banyak tersedia di sekitar rumah.

Awal memulainya memang berat, loh. Namun, sekarang sudah terasa ringan karena menjadi rutinitas dan juga menjadi menyenangkan. Kompos hasil dari racikan saya itu ternyata bisa digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman di rumah. Terkadang, berkat kompos itu tumbuh aneka tanaman baru yang bisa dikonsumsi seperti tanaman cabe, tomat, jagung, dan aneka sayur atau buah lain. Bukankah ini sangat menyenangkan?

BACA JUGA: Mencari Arti Merdeka: Sebuah Cerita Dari Rimba Hingga Selat Malaka

Kemudian, kalau komposter penuh, tinggal buang saja sisa konsumsi organik tersebut di bawah tanaman. Tak sampai sebulan, sudah membusuk dan menjadi makanan baik bagi tanaman itu. Ibarat kata “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”.

Kedua, kami mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Tinggal bawa kantong belanja kemana-kemana. Ini sangat gampang yang susah itu adalah memulai sebuah kebiasaan baru. Sekarang kemana-mana “gembolannya” kantong belanja, supaya tidak nyampah plastik ketika tiba-tiba ingin belanja.

Nah, ada cerita menarik antara saya dan suami terkait dengan ini.  Perkara itu adalah soal membawa wadah ketika hendak membeli sesuatu. Biasanya saya membawa wadah untuk belanja sayur mayur dan segala bentuk protein hewani. Saya ingin kebiasaan membawa wadah ini merambah pada snack dan cemilan keluarga.

Kalau masalah membeli sayur dan segala bentuk lauk-pauk itu termasuk persoalan mudah. Karena saya yang menjalaninya sendiri. Artinya, saya memang sudah berniat mau belanja minim plastik. Momen pas menjalaninya ya, enjoy.

Sungguh berbeda dengan kegiatan membeli snack, cemilan, atau jajan kaki lima. Pasalnya saya suka sekali minta tolong suami untuk urusan satu ini. Di sinilah tantangannya. Saya dengan sadar ‘menyuruh’ dan mengajak suami untuk melakukan tindakan yang belum sesuai dengan kebiasaannya. Pernah suatu kali kami agak berseteru karena hal ini. Perkara beli martabak dan saya minta beliau membawa wadah. Lantas, karena suami tidak mau repot. Akhirnya benar-benar pergi tanpa wadah yang sudah saya siapkan. Ya, akhirnya saya marah-marah setelah itu kepadanya. Dasar lelaki!

Sumber: Youtube Waste4Change

Di awal memang kegiatan membawa wadah ini cukup repot karena belum terbiasa. Sekarang, suami sudah merasakan enaknya membawa wadah sendiri. Hasilnya jelas, frekuensi sampah berkurang dan juga pergi ke tempat pembuangan sampah juga jadi jarang. Artinya saya tidak lagi minta suami bolak-balik ke tempat pembuangan sampah. 

Begitulah perubahan kecil yang saya bersama keluarga, walaupun kecil tapi harapannya dapat berdampak bagi kelestarian lingkungan kita. Kalau sobat semua, apakah sudah lakukan hal yang sama untuk bumi kita? Jangan mau kalah, ya.

 

Penulis: Nurul Noviyanti

Ibu Rumah Tangga