Banyak profesi atau pekerjaan yang terancam akibat krisis Iklim. Hal itu terjadi karena krisis iklim yang berpotensi menghilangkan objek dari pekerjaan tersebut. 

Misalnya ketersediaan ikan di laut yang menurun drastis sehingga menyebabkan nelayan mengalami kesulitan menangkap ikan, sebab perairan yang memanas akibat krisis iklim akan mendorong ribuan spesies laut dari wilayah khatulistiwa ke daerah kutub.

Dahli Sirait, nelayan asal Tanjung Balai berkata saat ini nelayan harus menangkap ikan lebih jauh dari tempat yang biasa mereka datangi. Hal ini membuat biaya operasional bertambah.

Biasanya kita menggunakan minyak misal 10 liter jadinya 30 atau 20 (liter). Jadinya dua kali lipatnya. Harusnya  dua hari jadi tiga hari, empat hari. Sementara kualitas ikan juga jatuh karena terlalu jauh dan lama untuk bisa sampai ke daratan.,” ungkap Dahli seperti dikutip bbc.com.

Tidak hanya menyebabkan ikan-ikan bermigrasi semakin jauh dari pantai, dampak krisis iklim juga menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam. 

BACA JUGA: Peran Anak Muda Kendalikan Iklim

Pada 2019, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengungkapkan bahwa ribuan nelayan di Kabupaten Demak berhenti melaut akibat cuaca buruk yang dipicu oleh krisisiklim. 

Seperti terjadi di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak banyak nelayan yang berhenti melaut sejak Januari 2019 karena cuaca buruk” ungkap Herawati sebagaimana dikutip dari mongabay.id.

Ia menambahkan bahwa apa yang terjadi di Kabupaten Demak itu adalah gambaran umum kondisi nelayan akibat krisis iklim yang memunculkan masalah tidak dapat dihindari oleh nelayan, seperti cuaca buruk, gelombang tinggi, dan bencana alam lainnya.

Hal serupa juga mengancam petani karena krisis iklim menyebabkan terjadinya kemarau panjang sehingga lahan mengalami kekeringan dan tidak bisa lagi ditanami.

Menurut Deputy Country Director Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia Said Zaidansyah, krisis iklim akan menjadi ancaman panen komoditas pangan global hingga mencapai lima persen pada 2030 dan 30 persen pada 2080 apabila negara-negara di dunia tidak melakukan apapun untuk mencegah krisis iklim semakin meluas.

Lebih lanjut, Said Zaidansyah mengatakan sebanyak 122 juta orang terancam miskin akibat krisis iklim yang semakin meluas dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global.

Dilihat secara global, kerugian akibat perubahan iklim mencapai USD 18 miliar per tahun terhadap sektor energi dan transportasi, yang juga berpotensi menyebabkan 122 juta orang menjadi miskin”. ungkap Said sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (18/3/21).

Dalam menghitung kerugian, USAID bahkan memiliki estimasi yang lebih tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan USAID pada 2016, nilai kerugian ekonomi yang akan ditanggung di 2050 akibat bencana ekologis mencapai Rp132 triliun atau setara 1,4 persen dari PDB Indonesia saat itu.

Sebelumnya, David Raitzer (2019), ekonom Bank Pembangunan Asia juga mengungkapkan dampak besar krisis iklim terhadap pekerjaan. Ia menuturkan bahwa yang paling terdampak adalah orang-orang yang hidupnya bergantung pada alam, seperti petani atau nelayan.

BACA JUGA: Abai Hutan, UU Cipta Kerja Berpotensi Tingkatkan Deforestasi

Perubahan iklim akan berdampak besar pada petani dan nelayan karena pola cuaca yang semakin tak menentu.” Ungkapnya sebagaimana dikutip bbc.com.

Pemanasan global akibat krisis iklim juga mengancam profesi-profesi yang sumber utamanya berada di kawasan hutan. Pemanasan global menyebabkan hutan mudah terbakar dan mengancam ekosistem yang ada di dalamnya. 

Pekerjaan-pekerjaan seperti pemanfaatan hasil hutan dan penyedia jasa hutan dan lingkungan pasti terancam. Karena objek dari profesi tersebut terancam hilang akibat kebakaran yang berkepanjangan.  

Bila laju pemanasan global tidak dibendung, profesi-profesi di bidang hutan tersebut dapat beralih secara paksa, dari yang awalnya profesi yang berorientasi untuk pemanfaatan hasil hutan dan jasa lingkungan, mau tidak mau harus berganti menjadi pemadam kebakaran karena hutan yang menjadi sumber dari profesi tersebut terus-terusan terbakar.

Bahkan, kebakaran itu bukan hanya akan terjadi di wilayah kering dan panas, namun juga mengancam di daerah basah karena adanya faktor perubahan iklim global.

Melihat hal tersebut di atas, perlu adanya perubahan sistem ekonomi menjadi ekonomi hijau atau yang lebih ramah lingkungan agar dampak dari krisis iklim tidak berdampak parah, sehingga tidak menyebabkan banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena objek dari profesi tersebut terancam atau bahkan hilang akibat pemanasan global.

Secara umum ekonomi hijau sebagai sistem pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dengan mengurangi risiko lingkungan, kelangkaan ekologis, rendah karbon, pembangunan berkesinambungan, dan inklusif.