Program perhutanan sosial sebenarnya bukan hanya sekadar memberikan akses legal pengelolaan hutan kepada masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Lebih dari itu, program ini pun memainkan peranan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau komitmen iklim Indonesia.
Berdasarkan kajian dari Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate & Society (YCS), Perhutanan Sosial ternyata memiliki potensi penurunan emisi. Dari 3 kawasan Perhutanan Sosial yang diteliti di Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Bukit Barisan, Sumatera Barat, ada kontribusi 0,025% penurunan emisi dari deforestasi, 0,05% dari degradasi dan 0,024% dari revegetasi terhadap NDC.
Meskipun angkanya tidak besar, namun hal ini tentu menjadi pembuktian jika masyarakat sebagai aktor utama dalam perhutanan sosial mampu memberikan dampak dalam mitigasi perubahan iklim. Sekaligus menjadi satu langkah baik dalam penurunan emisi di sektor kehutanan.
BACA JUGA: Bisakah Keekonomian Perhutanan Sosial Diharapkan?
Seperti yang sudah diketahui, sektor kehutanan memainkan peranan penting untuk mencapai target penurunan emisi Indonesia. Dalam NDC disebut 17,2% dari 29% penurunan emisi akan berasal dari sektor ini.
Perhutanan sosial sendiri dimasukkan dalam peta jalan implementasi NDC Indonesia. Dalam peta jalan itu, perhutanan sosial disebut sebagai salah satu program dalam penurunan deforestasi dan degradasi hutan alam tidak terencana.
Intinya, program ini dibuat agar dapat mendorong dan memfasilitasi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan dalam membangun kehidupan ekonomi yang berkontribusi pada penurunan emisi. Harapannya, selain masyarakat bisa meningkatkan perekonomian, hutan yang dipercayakan untuk mereka kelola pun tetap lestari sehingga tidak ada karbon yang lepas karena deforestasi ataupun degradasi kawasan hutan.
Perhutanan Sosial mengubah masyarakat
Masyarakat menjadi aktor kunci keberhasilan perhutanan sosial dalam berkontribusi terhadap NDC. Hal itu juga yang ditemukan dalam kajian Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate & Society (YCS).
Pasalnya, 3 Kawasan Perhutanan Sosial yang dijadikan tempat penelitian, Kelompok Tani Hutan (KTH) Putra Andam Dewi di Kabupaten Pesisir Selatan dan Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh serta LPHN Gamaran di Kabupaten Padang Pariaman, semuanya menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat. Mereka tidak lagi bergantung pada pengambilan hasil hutan kayu sebagai sumber pendapatan utama.
Padahal, dulunya banyak masyarakat yang melakukan praktik illegal logging, menyeret kayu dari hutan untuk dijual dan jadi pemasukan utama mereka. Jika dulu di KTH Putri Andam Dewi 40% masyarakatnya melakukan praktik ini, sekarang jumlahnya tinggal 10%. Di LPHN Sungai Buluh tinggal 5% masyarakat yang melakukan illegal logging dari 30%-40% yang melakukannya di tahun 2010-2013. Sementara LPHN Gamaran lebih hebat lagi, sudah tidak ada praktik illegal logging semenjak mereka mendapat izin Perhutanan Sosial.
Masyarakat, berdasarkan catatan, lebih memilih untuk menjadi petani dan pemandu wisata, memanfaatkan kawasan hutan yang dipercayakan untuk mereka kelola. Di LPHN Gamaran saja, terdapat 175 warga yang berprofesi sebagai pemandu wisata dan 55 di antaranya sudah disertifikasi oleh Badan Nasional Standarisasi Profesi (BNSP).
LPHN Gamaran termasuk berhasil mendorong pariwisata alam atau ekowisata Sungai Nyarai lantaran adanya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang juga merupakan pengurus LPHN Gamaran. Merekalah yang berhasil mensubstitusi kegiatan illegal logging menjadi usaha berbasis pariwisata.
Perhutanan sosial kurangi emisi
Perubahan yang terjadi di tingkat masyarakat secara tidak langsung memengaruhi penurunan emisi dari sektor kehutanan. Dalam hal ini, ada potensi pengurangan emisi dari degradasi hutan.
Berdasarkan kajian Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate & Society (YCS), substitusi profesi ini diperkirakan mencapai 483.941 ton CO2e. Angka ini didapat jika melihat potensi pengurangan batang pohon yang ditebang hingga tahun 2030 dengan memerhatikan kebiasaan lama masyarakat yang setidaknya menebang 452 kayu per KK per tahun.
BACA JUGA: Mengulas Hilangnya Hutan Indonesia 2003-2018
Sementara di sisi lain, ada juga potensi pengurangan 235.254 ton CO2e emisi hingga tahun 2030 jika di 3 kawasan perhutanan sosial tersebut tidak ada lagi deforestasi. Sebelum adanya program perhutanan sosial, selalu terjadi deforestasi hingga 170 hektare kawasan per tahun di lokasi ini. Oleh karena itu, sesuai dengan semangatnya, Perhutanan Sosial harus bisa mengurangi deforestasi di kawasan hutan.
Satu lagi kontribusi perhutanan sosial dalam mengurangi emisi terdapat dalam praktik revegetasi atau reforestasi yang merupakan perubahan tutupan lahan dengan cadangan karbon rendah menjadi cadangan karbon tinggi. Paling tidak ada potensi revegetasi seluas 584 hektare kawasan atau 296.983 ton CO2e jika tiap KK yang meninggalkan illegal logging bisa difasilitasi untuk mengembangkan kegiatan agroforestri.
Saat ini memang baru KTH Putra Andam Dewi yang memiliki kegiatan revegetasi pada tahun 2014-2017. Tapi ada potensi peningkatan cadangan karbon jika di ketiga wilayah Perhutanan Sosial tersebut dikembangkan usaha berbasis wanatani. Untuk itu, sinergi program Perhutanan Sosial dengan kegiatan rehabilitasi lahan akan dapat mendorong percepatan upaya vegetasi.
Dorong skala nasional
Melihat bagaimana potensi penurunan emisi dari program Perhutanan Sosial di tiga wilayah kajian Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate & Society (YCS), maka seharusnya ada percepatan implementasi di kawasan lain. Pasalnya, ada sekitar 1,37 juta hektare kawasan hutan dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang memiliki risiko deforestasi sedang hingga tinggi.
Perhutanan sosial berpotensi mencegah deforestasi tersebut asalkan ada percepatan implementasi. Jika bisa dilakukan, maka setidaknya Perhutanan Sosial berkontribusi terhadap 34,6% target NDC yang mencantumkan kuota deforestasi hingga 3,9 juta hektare.