Ingatkah kita sejarah dahulu, bahwa peradaban manusia itu bermula dari daerah-daerah sungai? Kalau kita buka kembali buku sejarah, sumber peradaban Mesir ada di Sungai Nil, yang merupakan sungai terpanjang di dunia. Begitu pula peradaban besar di Indonesia, salah satunya kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang dari tepi Sungai Musi. Lalu kenapa sungai bisa menjadi salah satu kunci peradaban?

Tentu saja, karena sungai memberikan banyak manfaat bagi kepentingan hidup manusia seperti sumber air minum dan kebutuhan rumah tangga, sumber irigasi, sumber daya perikanan, jalur transportasi, pariwisata, olahraga, sumber pembangkit listrik bahkan sebagai pertahanan. Sungai juga sebagai pendukung kehidupan flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati. Namun, lambat laun fungsi vital tersebut terancam dan mengalami kerusakan akibat berbagai aktivitas manusia. 

Sebut saja, pembukaan hutan dan perubahan tutupan lahan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah mengakibatkan aliran dan limpasan air hujan tidak dapat tertahan dan tertampung di dalam tanah, sehingga memperbesar aliran air ke sungai.

BACA JUGA: Sektor Hutan dan Lahan Penyumbang Terbesar Emisi Indonesia

Padahal kita tahu bahwa tutupan hutan di daerah hulu sungai merupakan wilayah tangkapan air hujan (catchment area). Parahnya, krisis iklim telah memicu intensitas hujan ekstrem, menyebabkan limpasan dan debit sungai menjadi besar, maka terjadilah banjir bandang, seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur pada awal tahun 2021.

Selain itu, kegiatan pertambangan pasir, kerikil, emas dan batu di sungai juga mengancam ekologi sungai. Lebih mirisnya lagi, limbah merkuri hasil pengolahan emas dibuang begitu saja ke aliran sungai. Ini tentu membahayakan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai, ikan, dan biota air. Di perkotaan, pabrik-pabrik masih saja membuang langsung limbahnya ke sungai dan kebiasaan masyarakat membuang sampah rumah tangga ke sungai telah berdampak pada pendangkalan dan pencemaran air sungai.

Tercatat, pada tahun 2020 saja, sampah di Sungai Ciliwung dapat menumpuk sampai 30 ton per hari. Bisa dibayangkan kalau menumpuk seminggu, sebulan, bahkan bertahun-tahun kalau tidak ada pengerukan. Tercatat, sebesar 82% sungai di Indonesia dalam kondisi rusak dan kritis dan dilansir dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019), dari 98 sungai di Indonesia, 54 sungai di antarannya berstatus cemar ringan, 6 sungai cemar ringan-cemar sedang, dan 38 sungai berstatus cemar ringan-cemar berat. Tentu ini jelas sekali bahwa kualitas air sungai di Indonesia buruk dan tercemar. 

Ditambah, bantaran sungai yang seharusnya sebagai penyangga ekosistem sungai dan daratan, serta menjadi ruang penyalur banjir (bantaran banjir), telah dijamah oleh penduduk di perkotaan menjadi kawasan pemukiman, karena ketidakmampuan penduduk untuk menyewa atau membeli lahan dan hunian di tempat lain. Akibatnya, penduduk di bantaran sungai paling rawan terkena bencana banjir. 

Kondisi-kondisi di atas memperlihatkan bahwa peningkatan kegiatan dan intervensi manusia, tingginya curah hujan, badai dan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim serta deforestasi dan degradasi lahan menjadikan fungsi vital sungai yang sesungguhnya perlahan lenyap. Padahal, sungai memiliki nilai intrinsik bagi keseimbangan ekosistem alam dan peradaban manusia.

Upaya apa yang dapat dilakukan untuk pelestarian sungai?

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011 tentang Sungai, tepat pada 27 Juli 2011, dalam rangka pelestarian, pengembangan dan pengendalian kerusakan sungai. Sejak itu, setiap tanggal 27 Juli diperingati sebagai Hari Sungai Nasional. Lalu, apa yang dapat dilakukan dalam memperingati Hari Sungai Nasional tahun 2021 ini?

Salah satu langkah adaptif dan jangka panjang yang bisa diambil untuk pelestarian sungai salah satunya melalui solusi berbasis alam (Nature-based Solution/NbS). Solusi berbasis alam telah diperkenalkan sejak tahun 2002 merupakan langkah penting menuju perubahan paradigma dari masyarakat yang menjadi penerima manfaat alam, menjadi masyarakat yang memiliki potensi peran aktif dalam melindungi, mengelola dan memulihkan ekosistem guna menjawab permasalahan dan tantangan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistem.

BACA JUGA: Menilik Kesiapan Indonesia dalam Mengatur Nilai Ekonomi Karbon

Melalui solusi berbasis alam, pelestarian dan penyelamatan sungai dapat dilakukan dengan menyediakan lebih banyak ruang bagi sungai untuk mengalir secara alami, mencegah risiko banjir, serta mengurangi erosi dan sedimentasi dengan memanfaatkan pengetahuan ekosistem itu sendiri, bukan membangun dan menggunakan infrastruktur yang ‘abu-abu’.

Berikut ini beberapa contoh upaya pelestarian sungai berbasis pengetahuan ekosistem:

  1. Menjaga bagian hulu DAS sebagai wilayah tangkapan air dengan penanaman kembali kawasan hutan yang rusak dan kritis.
  2. Melakukan penghijauan di daerah bantaran sungai dan sepanjang aliran sungai untuk menahan banjir, longsor dan erosi.
  3. Melakukan pengawasan dan penertiban terhadap kegiatan penambangan di sungai dan pendirian bangunan di bantaran dan sempadan sungai.
  4. Tidak membuang sampah dan limbah ke aliran sungai untuk mencegah pencemaran air dan pendangkalan sungai.
  5. Membangun sanitasi yang ramah lingkungan dan jauh dari aliran sungai, dengan tidak menggunakan DAS sebagai saluran sanitasi rumah tangga.
  6. Penangkapan ikan yang lebih ramah dan tidak membahayakan biota sungai.

Dengan menerapkan solusi berbasis alam untuk ekosistem sungai, kita akan dapat kembali melihat sungai-sungai yang bersih, memiliki ruang terbuka hijau di pinggir sungai, menikmati wisata dan olahraga sungai, dan bahkan bisa menikmati pempek ikan Belida khas dari Sungai Musi.