Krisis iklim pasti berdampak terhadap ketersediaan pangan. Dampak terburuk dari krisis iklim yang mungkin saja akan kita terima adalah makanan akan menjadi langka, harganya melonjak dan tanaman akan kehilangan nilai nutrisi.
Setidaknya, terdapat empat dampak besar krisis iklim terhadap pertanian. Pertama, Perubahan musim yang tak menentu seperti kemarau berkepanjangan dan curah hujan yang tidak dapat diprediksi bisa berdampak terhadap gagal panen sehingga berkurangnya pasokan pangan dan menurunkan gizi masyarakat.
Perubahan pola cuaca seperti kemarau berkepanjangan yang menyebabkan kekeringan serta musim hujan yang sulit diprediksi dapat menyebabkan terjadinya krisis pangan. Terutama di daerah lumbung pertanian yang sumber pengairannya bergantung pada air hujan.
Menurut Nana Suhartana, Manajer Sektor Beras Rikolto Indonesia (2019), Petani perlu mengantisipasi hal tersebut dengan mengubah pola tanam padi, termasuk dengan sistem intensifikasi padi atau sistem of rice intensification (SRI).
BACA JUGA: Benarkah Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon pada 2070?
Kedua, krisis iklim berpotensi menyebabkan kekeringan ekstrim yang secara nasional dapat menyebabkan pasokan beras nasional berkurang drastis. Menurut Guru besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa (2019) memperkirakan penurunan produksi padi itu mencapai 2 juta ton.
“Sudah barang tentu penurunan luas panen berdampak ke produksi beras kita,” kata Dwi seperti dikutip dari Tirto (2019).
Ketiga, secara global, kekurangan pangan akibat krisis iklim akan mengakibatkan krisis kemanusiaan karena kurangnya ketersediaan pangan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (2019) menyatakan krisis iklim telah mengancam pasokan pangan dunia. Lebih dari 10% populasi dunia saat ini mengalami kekurangan gizi dan krisis iklim akan memperburuk situasi tersebut.
Hal itu tergambar dari laporan yang diterbitkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) (2019) yang mengungkap dampak buruk perubahan iklim global. Laporan tersebut disusun oleh 100 ilmuwan yang berasal dari 52 Negara dan mengungkapkan jika krisis iklim dibiarkan tidak terkendali, kenaikan suhu, cuaca ekstrem dan penurunan lahan dapat memicu krisis pangan dunia.
Cynthia Rosenzweig yang merupakan 1 dari 100 ahli tersebut mengungkapkan bahwa akibat perubahan iklim resiko kemungkinan kegagalan pangan dunia semakin meningkat yang akan terjadi dalam waktu yang bersamaan sehingga menyebabkan krisis.
“Risiko kemungkinan kegagalan pangan di dunia makin meningkat. Semua terjadi pada saat yang bersamaan,” kata Cyinthia sebagaimana dikutip dari The New york Times.
Keempat, krisis iklim akan menuntut petani melakukan adaptasi. Salah satunya dalam penggunaan teknologi penghemat air agar di saat terjadi krisis air, pertanian masih tetap dapat dijalankan dan memanfaatkan teknologi informasi seperti sistem kalender tanam terpadu.
Sayangnya, adaptasi penggunaan teknologi ini akan sulit terlaksana, mengingat petani sudah terbiasa melakukan pertanian secara konvensional sehingga kerugian akibat krisis iklim terhadap petani akan sulit diatasi.
Melihat hal tersebut, jalan satu-satunya untuk menjaga ketersediaan pangan kita hanyalah dengan memperlambat krisis iklim. Negara-negara di dunia harus mendukung hal tersebut dengan cara mengeluarkan kebijakan yang mendukung untuk itu.
Eksploitasi sumber daya alam yang selama ini menjadi salah satu sarana penghasil cuan harus diiringi dengan kebijakan pelestarian dan penjagaan lingkungan yang memadai.
BACA JUGA: Bisakah Indonesia Berhenti Membabat Hutan?
Pada dasarnya, memperlambat krisis iklim harus diimbangi dengan membendung nafsu dalam eksploitasi sumber daya alam, seperti eksploitasi melalui pertambangan, perkebunan skala besar dan memperhitungkan penggunaannya secara efisien.
Bila hal itu tidak dilakukan, krisis iklim tidak akan pernah terbendung. Sekalipun dengan meningkatkan pelestarian hutan hujan tropis di banyak negara, sebagaimana yang diungkapkan Pamela McElwee, seorang profesor ekologi manusia di Rutgers University.
Ia mengatakan bahwa melestarikan hutan hujan di seluruh dunia tidak akan cukup untuk mengimbangi perubahan iklim yang disebabkan manusia.
“Solusi iklim alami dengan melestarikan hutan hujan di seluruh dunia tidak cukup mengatasi masalah perubahan iklim,” katanya.