Indonesia telah menyampaikan komitmennya kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), September 2015 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen (dengan kemampuan sendiri) dan atau 41 persen (dengan bantuan luar negeri) pada tahun 2030.
Menurut Rachmat Witoelar sebagai Utusan khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim bahwa penanganan krisis iklim di Indonesia diperkirakan tak akan terlalu mengganggu industri dalam negeri karena sumbangan industri Indonesia terhadap emisi gas rumah kaca terbilang kecil (1-2 persen). Mayoritas polusi di Indonesia disebabkan oleh pembukaan lahan dan kebakaran hutan (80 persen).
Karena itu kunci penanganan krisis iklim di Indonesia adalah mengurangi kebakaran hutan dan pembukaan lahan. Sementara industri tidak akan terlalu terkena dampaknya karena proporsinya yang kecil. Sebagai catatan, luas tanah di Indonesia mencapai 200 juta hektare, dan 136 juta hektare di antaranya berupa hutan. Perkebunan sawit mengambil porsi 5 persen dari total luas tanah di Indonesia.
BACA JUGA: Krisis Iklim Mengancam Kelestarian Flora Fauna
Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian pada tahun 2020 mencatat bahwa luas perkebunan sawit di Indonesia diperkirakan telah mencapai 14.996.010 hektare. Dengan total keseluruhannya merupakan gabungan dari tiga segmentasi kepemilikan lahan, yaitu smallholders (perkebunan rakyat), government (perkebunan besar negara), dan private (perkebunan besar swasta).
Setidaknya dari keseluruhan lahan perkebunan sawit yang ada di Indonesia itu, pada tahun 2018 luas lahan terbesar berada di Pulau Sumatera—dengan total luas areanya sendiri mencapai 8.047.920 hektare yang terletak di empat provinsi, yaitu Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Jambi. Lalu Pulau Kalimantan menjadi pulau dengan luas lahan terbesar kedua—dengan total perkebunan seluas 5.588.075 hektare yang sebagian besar berada di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Perkembangan perkebunan sawit akan banyak terjadi terutama di Sumatera karena wilayah ini memiliki kondisi tanah dan iklim yang baik untuk pengembangan sawit, di samping infrastruktur yang sudah berkembang. Meski demikian, perkembangan perkebunan sawit juga terjadi di Kalimantan dan Papua karena lahan yang layak di Sumatera semakin berkurang.
Sebagian besar pengembangan kebun sawit melalui konversi hutan alam dan membuka lahan gambut yang menjadi sumber emisi gas rumah kaca, selain emisi gas metana yang berasal dari limbah cair pabrik sawit. Data IFCA (2007) menyebutkan bahwa sekitar 70% dari tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia telah menggantikan hutan, dan menghasilkan emisi dari biomassa di atas tanah sebesar 588 juta ton karbon atau (~2117 Juta tC0 ) selama periode 1982-2005.
Di Kalimantan Timur, dari hampir 900.000 hektare kebun yang dibangun pada periode tahun 2000-2015, sekitar 14% dibangun dengan cara alih fungsi lahan berhutan (sebagian besar hutan sekunder) dan 18% di semak dan hutan rawa yang sebagian merupakan lahan gambut. Pada tahun 2015, masih ada sekitar 750.000 hektare lahan berhutan di Kawasan Peruntukan Perkebunan (RTRW Provinsi Kaltim) dimana sekitar 50.000 hektare di antaranya adalah hutan primer. Selain itu, sekitar 20.000 hektare lahan gambut dengan tutupan semak belukar dan hutan mungkin masih dapat diselamatkan.
Pengembangan perkebunan sawit juga terjadi di lahan gambut. Saat ini kerusakan lahan gambut terus berlanjut, pengalihfungsian menjadi perkebunan sawit mencapai 2,8 juta hektare dan diperkirakan terus bertambah. Terakhir, dari hutan gambut 8 juta hektare di Papua, sudah banyak yang dibuka untuk sawit, meski penanamannya belum terlaksana karena terkendala masalah hukum adat.
Ekspansi Sawit Sumber Utama Emisi Gas Rumah Kaca
Ekspansi lahan sawit yang agresif merupakan sumber utama meningkatnya kontribusi Indonesia terhadap emisi gas rumah kaca yang berdampak pada krisis iklim. Jadi kebijakan besarnya adalah melakukan pembatasan kegiatan di lahan dengan moratorium perkebunan kelapa sawit maka dalam beberapa tahun ke depan diharapkan emisi akan turun.
Sebuah studi Universitas Göttingen baru-baru ini menemukan industri sawit memicu kenaikan suhu permukaan tanah. Berdasarkan pengamatan ilmuwan antara 2000 hingga 2015 di Jambi, alih fungsi hutan membuat suhu rata-rata meningkat sebanyak 1,05 derajat Celcius, sementara suhu di kawasan hutan hanya meningkat 0,45 derajat Celcius.
Lahan gundul bahkan tercatat 10 derajat Celcius lebih hangat ketimbang hutan. Adapun perkebunan sawit memicu kenaikan suhu antara 0,8 derajat Celcius hingga 6 derajat Celcius. Permukaan tanah juga menerima lebih banyak radiasi matahari dan meranggas lebih cepat.
Selain karena pembukaan lahan, ancaman perkebunan sawit pada krisis iklim yang sangat besar adalah buangan gas metana dari air limbah olahan kelapa sawit. Penelitian yang dipimpin oleh Philip G. Taylor dari Universitas Colorado (dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change) menemukan bahwa emisi gas metana dalam setahun dari limbah pengolahan kelapa sawit setara dengan 115 juta ton karbon dioksida di Malaysia dan Indonesia saja, atau sekitar 15% dari total emisi dari pengeringan lahan gambut dan alih fungsi lahan di kedua negara tersebut. Buangan metana dari limbah kelapa sawit bisa menaikkan sekitar 1% emisi gas rumah kaca di tahun 2050 mendatang.
Dari segi ekonomi, para pihak menyebut bila sawit menjadi komoditas yang turut berkontribusi meningkatkan devisa negara. Namun menurut Madani Berkelanjutan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.05/2007, pungutan ekspor sawit hanya masuk ke dalam pajak negara dan tidak masuk dalam skema Dana Bagi Hasil (DBH) dengan daerah.
BACA JUGA: Waspada Bahaya Deforestasi
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 33/2004 disebutkan bahwa DBH sawit hanya berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta Pajak Penghasilan. Padahal, skema DBH bertujuan untuk menyeimbangkan alokasi dana pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.
Sehingga Madani Berkelanjutan melihat bahwa tidak masuknya pungutan ekspor sawit ke dalam DBH berdampak pada masih belum optimalnya persentase penerimaan daerah. Selain itu, sistem pembagian dana sawit pusat-daerah juga belum setara dengan beban pengelolaan perkebunan yang ditanggung pemerintah daerah. Kondisi ini juga dapat berdampak pada lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan perkebunan sawit.
Melihat berbagai kekurangan dan efek dari perkebunan sawit maka yang terpenting dalam penyusunan tata ruang yang baru hendaknya semua pihak mempertimbangkan faktor lingkungan serta krisis iklim. Kawasan yang akan dikonversi terutama mengarah pada lahan-lahan kritis dan tidak produktif. Perhitungan ekonomi yang sering menjadi pertimbangan utama, hendaknya mempertimbangkan kembali kemungkinan kerusakan lingkungan serta besarnya emisi yang akan dihasilkan dan dapat mengakibatkan kerugian jauh lebih besar. Kawasan berhutan dan gambut tebal seharusnya dipertahankan sebagai paru-paru dunia dan sebagai cadangan karbon. (Dari Berbagai Sumber)