Laporan Badan PBB, Panel Antarpemerintah tentang Krisis iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) di tahun 2021 menjadi mimpi buruk bagi semua penduduk bumi. Laporan itu menyatakan krisis iklim terjadi lebih cepat dari perkiraan.
Bagi petani di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), laporan IPCC bukan lagi sekedar mimpi buruk, namun bisa jadi sebuah kutukan yang akan semakin menghimpit kehidupannya. Bagaimana tidak, Kupang selama ini memang dikenal sebagai daerah di Indonesia yang beriklim kering. Krisis iklim yang datang lebih cepat akan memperburuk keadaan itu.
Di NTT periode musim kemarau lebih panjang dibandingkan dengan daerah lainnya. Di NTT musim kemarau berlangsung selama 7 bulan, dari Mei hingga November. Sedangkan musim penghujan hanya berlangsung 5 bulan, dari Desember hingga April. Suhu udara rata-rata di kawasan ini 27,6 derajat celcius. Sementara suhu maksimum rata-rata 29 derajat celcius. Sedang suhu minimum rata-rata 26,1 derajat celcius. Tak heran bila kawasan ini sering mengalami kekeringan.
Pada Oktober tahun ini saja misalnya, menurut Kepala Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang BMKG Rahmattulloh Adji, seperti ditulis JPNN.com, meskipun di daerah lainnya di Indonesia sudah memasuki musim penghujan, kekeringan ekstrim dengan kondisi Hari Tanpa Hujan (HTH) berkategori ekstrem panjang masih terjadi di Kabupaten Kupang.
BACA JUGA: Implementasi Pajak Karbon: Niatnya Selamatkan Bumi, Tapi Apakah Akan Membebani Masyarakat Marjinal?
Bencana kekeringan adalah berita buruk bagi penduduk Kupang, terutama para petaninya. Gagal panen adalah berita yang sering datang dari provinsi ini. Jika gagal panen akibat kekeringan terus terjadi dan semakin meluas, bukan tidak mungkin bencana kelaparan akan menimpa Kupang, NTT.
Sebuah laporan penelitian yang dipublikasikan World Meteorological Organisation (WMO) pada Mei 2021 mengungkapkan bahwa pada 2025 terdapat 40 persen kemungkinan temperatur 1,5 derajat Celcius (1,5C) lebih panas setidaknya dalam setahun dibandingkan masa pra industri (atau pada 1850-an).
Negara-negara penyumbang emisi karbon berupaya mengurangi emisinya. Mitigasi krisis iklim adalah sebuah keniscayaan bila bencana ekologi tidak ingin datang secara lebih cepat dan dalam skala luas. Tak heran upaya mitigasi ini mendapat prioritas pendanaan yang luar biasa besar dari berbagai lembaga donor.
Di samping upaya mitigasi krisis iklim, upaya adaptasi tidak kalah penting. Upaya adaptasi terhadap krisis iklim ini yang diperlukan oleh para petani, termasuk petani di Kupang, NTT. Namun, sayangnya dibandingkan dengan mitigasi, upaya adaptasi ini tidak banyak mendapatkan perhatian dan juga pendanaan.
Meskipun dengan dukungan pendanaan yang tidak sebesar dalam program mitigasi, adaptasi terhadap krisis iklim terus dilakukan, termasuk oleh petani di Kupang, NTT. Salah satu upaya petani Kupang melakukan adaptasi krisis iklim itu dengan cara menerapkan metode SRI (System of Rice Intensification).
SRI adalah inovasi metode budidaya padi yang diperkenalkan pada tahun 1983 di Madagaskar oleh pastor sekaligus agrikulturis asal Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang telah bertugas di Madagaskar sejak 1961. Baru sekitar tahun 1999, untuk pertama kalinya SRI diuji di luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia. Pengujian SRI di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Penelitian Tanaman Padi (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development/IAARD) di pusat penelitiannya di Sukamandi, Jawa Barat.
Metode SRI ini adalah cara bertani yang lebih menghemat air. Pada metode SRI ini kondisi tanah dibiarkan tetap lembab tapi tidak tergenang. Model pertanian seperti ini sangat cocok diterapkan di Kupang yang terkenal beriklim kering. Dengan menerapkan metode ini petani Kupang dapat menghemat air.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah metode SRI ini juga akan meningkatkan produktivitas lahan? Di berbagai Negara memang sudah ada bukti bahwa produktivitas lahan petani meningkat setelah menggunakan metode SRI. Penelitian di berbagai negara, jelasnya, metode SRI mampu meningkatkan produktivitas lahan sebesar 100% di Madagaskar. Metode SRI juga mampu meningkatkan produktivitas lahan di Afganistan (64%), China (11,3%) dan Iraq (42%). Lantas, bagaimana produktivitas lahan pertanian petani Kupang setelah menerapkan SRI?
Di Kupang, beberapa tahun yang lalu, metode SRI baru diterapkan di sebagian wilayah. Dua daerah di Kupang yang telah menerapkan metode SRI ini adalah Kelurahan Tarus dan Desa Baumata. Data dari ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund), organisasi yang membantu program adaptasi krisis iklim di Kupang, menyebutkan bahwa tahun 2017 di Kelurahan Tarus, produktivitas lahan setelah menggunakan metode SRI meningkat sangat signifikan, yaitu sebesar 5,6 ton/ha.
BACA JUGA: Nationally Determined Contribution (NDC)
Sementara di Desa Baumata pada tahun 2017, menurut data ICCTF, produktivitas lahan meningkat menjadi 3 ton/ha. Sementara jika dibandingkan dengan lahan yang menggunakan metode konvensional hanya mencapai produktivitas sebesar 1,5 ton/ha. Tak heran kemudian di Baumata ini, terjadi peningkatan luas lahan yang ditanami dengan metode SRI. Jika musim tanam sebelumnya hanya 20 are yang ditanami dengan metode SRI, di musim tanam kedua meningkat menjadi 50-60 are.
Akankah aksi adaptasi krisis iklim petani Kupang ini hanya akan berlalu begitu saja? Jawabnya tentu saja tidak.Cara petani Kupang dalam beradaptasi terhadap krisis iklim akan menjadi sebuah pengetahuan kolektif yang bisa direplikasi bahkan dimodifikasi di daerah lainnya.
Beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah, baik daerah maupun pusat, agar cara petani Kupang beradaptasi terhadap krisis iklim menjadi pengetahuan kolektif. Pertama, pemerintah harus memberikan apresiasi terhadap petani Kupang yang telah melakukan adaptasi. Ketiadaan apresiasi dari pemerintah, baik daerah maupun pusat, seringkali menjadi ‘pembunuh’ bagi pengetahuan-pengetahuan dari masyarakat lokal. Apresiasi itu dapat berupa kemudahan akses pasar, bibit, pupuk organic maupun pendanaan.
Kedua, dokumentasi pengetahuan petani Kupang. Salah satu kelemahan dalam pengembangan pengetahuan lokal adalah tidak adanya dokumentasi dari pengetahuan lokal itu. Ketiadaan dokumentasi ini, membuat pengetahuan sulit direplikasi apalagi dimodifikasi di daerah lain dalam waktu yang berbeda.
Ketiga, pertukaran pengetahuan. Menurut kaidah pengelolaan pengetahuan (knowledge management), seringkali proses belajar tidak cukup hanya mengandalkan dokumentasi pengetahuan (explicit knowledge), termasuk pengetahuan cara petani Kupang beradaptasi. Proses belajar seringkali perlu dilakukan secara tatap muka langsung, untuk bisa mentransfer pengetahuan yang ada di benak seseorang (tacit knowledge).
Terkait dengan itulah, pemerintah harus memfasilitasi pertukaran pengetahuan antar petani di Indonesia terkait dengan adaptasi krisis iklim, termasuk yang telah dilakukan oleh petani Kupang. Bagaimanapun juga, krisis iklim akan memukul perekonomian kaum tani. Untuk itulah adaptasi krisis iklim dapat menjadi pintu masuk untuk menyelamatkan perekonomian petani, yang menurut Bung Karno adalah soko guru perekonomian Indonesia itu.
Oleh: Firdaus Cahyadi
Pemerhati Lingkungan Hidup