Tahun 2021 mungkin menjadi tahun bencana ekologi bagi Indonesia. Di awal November ini misalnya, Kota Batu, Malang lumpuh. Banjir bandang yang terjadi pada awal November 2021 tu menerjang 5 dusun di 4 kecamatan. Kelima dusun itu antara lain adalah, Dusun Sambong dan Dusun Beru, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji. Jalan Raya Dieng, Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu. Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji dan Jalan Raya Selecta, Desa Tulungrejo, Kecamatan Batu.

Sebelumnya banjir juga melanda wilayah Bandung Raya, mulai dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Tak hanya itu, longsor pun terjadi di Lembang sehingga menutup akses Cimahi-Bandung Barat.

Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya di Februari 2021, Kota Semarang juga lumpuh. Banjir bandang menerpa Ibukota Jawa Tengah itu. Stasiun kereta api Tawang di Semarang pun terganggu. Bahkan Bandara Ahmad Yani Semarang juga harus ditutup. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang menyebutkan setidaknya, 10 kecamatan dan kurang lebih 76 kelurahan di Kota Semarang terendam banjir. Ketinggian banjir bervariasi mulai 30 centimeter sampai satu meter lebih.

BACA JUGA: Mengerek Literasi Perubahan Iklim

Banjir bukan hanya terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah.  Ibukota Indonesia, Jakarta pun akhirnya juga lumpuh akibat banjir di Februari 2021. Data BPBD Jakarta, 1.380 jiwa menjadi jumlah pengungsi akibat banjir di tahun ini. Bencana ekologi  juga terjadi Jember dan Manado. Di kedua daerah itu juga terjadi banjir yang disertai tanah longsor.  

Di awal tahun 2021 banjir bandang juga terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel). Banjir bandang setinggi 2-3 meter melanda kawasan itu. Pemerintah berdalih bahwa banjir itu disebabkan oleh curah hujan yang ekstrem. 

Data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa hujan dengan intensitas tinggi memang sempat mengguyur wilayah Kalsel saat terjadinya banjir di awal tahun. Dalam dua hari berturut-turut curah hujan mencapai 300 milimeter. Padahal, di Kalsel umumnya satu bulan curah hujan berkisar antara 330 an atau 329 milimeter. Artinya curah hujan yang biasanya untuk satu bulan terjadi dalam dua hari. 

Berbagai kejadian bencana ekologi di Indonesia pada 2021 ini seakan membenarkan laporan IPCC (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) yang mengungkapkan bahwa datangnya krisis iklim kini makin cepat. Artinya, tahun-tahun mendatang adalah tahun bencana seperti 2021.

BACA JUGA: Krisis Iklim dan Pudarnya Visi Indonesia 2045

Bencana ekologi akibat krisis iklim ini akan lebih mematikan dengan hancurnya daya dukung ekologi akibat salah urus pengelolaan alam. Bencana ekologi awal tahun di Kalsel misalnya, diperparah dengan maraknya alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan tambang. Data Walhi menyebutkan bahwa 50 persen dari luas wilayah Kalsel sudah dibebani izin tambang dan kebun sawit.  Izin tambang seluas 33% dari wilayah Kalsel. Sementara izin  untuk perkebunan kelapa sawit 17% dari total wilayah. Celakanya, hal itu di luar HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). 

Dengan kata lain, bencana banjir dan tanah longsor di Indonesia adalah perpaduan antara hancurnya daya dukung ekologi dan dampak krisis iklim. Kondisi ini adalah adalah tantangan pembangunan Indonesia kedepannya. Pertanyaannya adalah bagaimana negara menghadapi tantangan ini?

Indonesia sudah mengadopsi SDGs (Sustainable Developments Goals) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Bahkan untuk mewujudkan tujuan SDGs itu, pemerintah sudah memiliki payung hukum berupa Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Bahkan kelembagaannya pun sudah ada. Pertanyaannya bagaimana implementasinya?

Meskipun sudah ada payung hukum dan dukungan kelembagaan, SDGs di Indonesia lebih banyak digunakan sebagai jargon diplomasi bisnis untuk membangun reputasi hijau. Lihat saja, begitu banyak digelar ajang penghargaan dan kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan dengan mengatasnamakan SDGs. Namun faktanya, seperti ditulis kompas.com pada November 2020, survei Navigator Research menunjukan bahwa dari 91 persen perusahaan yang menyatakan mendukung pembangunan berkelanjutan, hanya 27 persen yang mampu mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dengan produk buatannya.

Hal yang sama juga dilakukan pemerintah. Para pengambil kebijakan di pemerintah justru menjadikan SDGs ini untuk membangun reputasi hijau sawit yang mendapat sorotan para penggiat lingkungan hidup, baik di dalam maupun luar negeri. Jusuf Kalla, saat menjadi  Wakil Presiden Indonesia pada 2018, di sebuah media nasional mengungkapkan bahwa jika sawit dilarang maka target SDGs tak tercapai. Semua jajaran menteri hingga pengusaha sawit di Indonesia seperti satu suara dalam menggunakan SDGs ini untuk diplomasi bisnis sawit. 

Sementara di dalam negeri, upaya untuk mengerem laju kerusakan alam belum terkendali. Di sisi lain, komitmen terhadap krisis iklim pun belum menampakan tanda-tanda menguat. Padahal, berbagai organisasi lingkungan hidup sudah mengungkapkan bahwa target aksi iklim Indonesia tidak ambisius. Sementara dalam SDGs jelas-jelas disebutkan bahwa kelestarian lingkungan hidup dan krisis iklim adalah bagian dari tujuan agendanya. 

Maraknya bencana ekologi di tengah krisis iklim ini adalah momentum bagi negara untuk melakukan pembaruan  SDGs sejak dari pemahaman, perencanaan hingga evaluasi dan monitoringnya. Kekacauan  implementasi SDGs berakar dari pemahaman para pengambil kebijakan di negeri ini terhadap agenda pembangunan itu. 

Para pengambil kebijakan di negeri ini masih menggunakan paradigma usang dalam memahami tujuan SDGs. Mereka memahami tujuan SDGs secara terpisah-pisah bukan sebagai sebuah satu kesatuan. Akibatnya, seperti terjadi selama ini, SDGs hanya sekedar menjadi jargon untuk membangun reputasi hijau korporasi. Padahal, dalam kerangka SDGs sebuah kegiatan ekonomi tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan ekologi dan sosial lainnya, begitu pula sebaliknya. 

BACA JUGA: 4 Langkah Penting Agar Upaya Hutan Bebas Emisi Pada 2030 Tak Cuma Sekadar Target

Tanpa lebih dulu melakukan pembaruhan dalam pemahaman SDGs, sulit rasanya akan melihat negeri ini mampu mengimplementasikan agenda SDGs itu secara keseluruhan dengan baik dan benar di tengah ancaman krisis iklim seperti saat ini. Tanpa itu, SDGs menjadi tidak lagi relevan di tengah krisis iklim saat itu.

Jika para pengambil kebijakan di negeri ini masih salah dalam memahami SDGs, maka akan berujung kesalahan pula dalam mengimplementasikannya. Sementara itu waktu kian terbatas akibat krisis iklim yang datang secara lebih cepat. Pemerintah perlu bekerja cepat, berpacu dengan waktu,  untuk segera membenahi model pembangunannya di tengah ancaman krisis iklim. Memperbarui SDGs bisa menjadi pijakan dasarnya. Pertanyaannya, apakah pemerintah mau memperbarui SDGs nya.

 

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup