Rencana Pemerintah Indonesia membangun usaha pangan berskala luas atau food estate di empat provinsi, akan menjadi hambatan serius untuk memenuhi target pengurangan emisi. Sebab, potensi hutan alam yang hilang karena proyek itu hampir setara dengan tiga kali luas Pulau Bali.
Food estate telah ditetapkan sebagai program prioritas pemulihan ekonomi dalam daftar Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 24 Tahun 2020 yang mengatur penyediaan kawasan hutan untuk proyek ini.
Berdasarkan Rencana Operasional Food Estate yang diterbitkan oleh KLHK (2020), luas alokasi (AOI) Food Estate di empat provinsi sebesar 3,69 juta hektare, hampir melebihi luas Provinsi Jawa Barat. AOI Food Estate terluas berada di Papua seluas 3,2 juta hektare, Kalimantan Tengah seluas 311 ribu hektare, Sumatera Utara 61 ribu hektare, dan terakhir di Sumatera Selatan dengan 32 ribu hektare.
Hasil studi Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan bahwa di dalam alokasi food estate itu terdapat hutan alam seluas lebih dari 1,57 juta hektare. Hampir 41 persen dari luas ini merupakan hutan alam primer yang seharusnya dijaga sesuai yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.
BACA JUGA: Kuatkan Pendampingan Perhutanan Sosial untuk Capai Target NDC
“Apabila seluruh koridor daerah alokasi tersebut dikonversi menjadi area food estate, potensi hutan alam yang hilang hampir setara tiga kali luas Pulau Bali,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya.
Hutan alam dalam wilayah alokasi food estate terluas berada di Papua yaitu 1,38 juta hektare, disusul Kalteng dengan luas 147 ribu hektare, Sumatera Utara dengan luas 42 ribu hektare, dan terkecil di Sumsel dengan luas 529 hektare.
Selain hutan alam, sekitar 1,42 juta hektare ekosistem gambut juga tercakup dalam daerah alokasi food estate. Ekosistem gambut ini terdiri dari 582 ribu hektare gambut lindung dan 838 ribu hektare gambut budidaya.
Dari jumlah ini, ekosistem gambut yang bertutupan hutan alam mencapai 730 ribu hektare, juga secara tegas disebutkan dalam RPJMN 2020-2024 sebagai development constraint yang harus dijaga.
Gambar 1. Luas hutan alam yang berada dalam wilayah alokasi food estate (Sumber: Madani, 2021)
Hilangnya hutan alam berarti akan memengaruhi target Indonesia untuk mengurangi emisi. Dalam dokumen NDC, target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Upaya itu dicapai salah satunya dari sektor kehutanan yang ditargetkan menurunkan emisi sebesar 17 persen atau sekitar 60 persen dari target penurunan emisi nasional. Dengan demikian, sektor kehutanan seharusnya menjadi program prioritas dalam usaha pemenuhan target penurunan emisi nasional.
Dalam dokumen Forest Reference Emission Level (FREL) tahun 2016 disebutkan, sumber emisi sektor kehutanan ada tiga yaitu dari alih fungsi hutan (deforestasi), penebangan liar (degradasi) dan dekomposisi gambut. Data FREL menyebut rata-rata emisi dari deforestasi periode 1990–2012 sebesar 293 metrik ton setara CO2. Sedangkan emisi untuk degradasi hutan rata–rata dari tahun 1990–2012 sebesar 58 metrik ton setara CO2.
Potensi Konflik dan Hilangnya Kayu Endemik
Selain berdampak pada target penurunan emisi, lahan untuk proyek food estate tumpang tindih dengan wilayah adat, area yang dialokasikan untuk reforma agraria (TORA), dan lahan untuk perhutanan sosial.
BACA JUGA: Pandemi Penyakit Covid 19 di Tengah Krisis Iklim
Tanpa ada pengakuan dan perlindungan legal-formal, tumpang tindih tersebut berpotensi makin meningkatkan konflik agraria dan meminggirkan masyarakat adat.
Mengutip data Konsorsium Pembaruan Agraria, terdapat 241 letusan konflik agraria sepanjang tahun 2020. Sebanyak 69 persen kasus terjadi di dua sektor, yaitu perkebunan dan kehutanan. Angka konflik di sektor kehutanan mengalami kenaikan dua kali lipat dari 20 kasus di tahun 2019 menjadi 40 konflik pada 2020.
Dampak lain, alih fungsi hutan untuk food estate akan berimbas pada hilangnya potensi kayu pada hutan alam di empat provinsi tersebut. Yayasan Madani Berkelanjutan menghitung estimasi nilai rupiah dari potensi kayu bulat pada hutan alam di area alokasi (AOI) Food Estate mencapai lebih dari Rp 209 triliun, setara dengan 9,3 persen Pendapatan Negara dari APBN 2020 atau dengan 57 persen Penerimaan Negara Bukan Pajak di 2020.
Siapa yang akan diuntungkan? Proyek food estate menarik bagi investor maupun pemerintah yang berpotensi mendapatkan keuntungan tinggi dari kayu yang diambil dari area proyek. Sehingga muncul kekhawatiran bahwa food estate menjadi cara untuk mengambil kayu dari hutan alam Indonesia secara mudah, legal, dan masif. Terlebih kayu dari hutan alam Papua yang tergolong endemik dan memiliki nilai jual tinggi.***