Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund/GCF) telah menyetujui proposal Indonesia mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+) pada Agustus 2020. Dengan persetujuan ini, Indonesia akan mendapatkan hibah sebesar Rp 1,5 triliun.

Jumlah hibah itu dihitung dari keberhasilan Indonesia menurunkan emisi sebesar 20,3 juta ton setara C02 dari sektor hutan periode 2014-2016. 

Melalui dana tersebut, pemerintah Indonesia menargetkan perbaikan tata kelola hutan melalui penguatan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) dan perhutanan sosial. Kedua hal ini dinilai dapat berkontribusi mencegah deforestasi dan degradasi, serta memberikan manfaat bagi masyarakat adat dan lokal.

Pemerintah menyatakan aksi-aksi iklim yang menggunakan dana ini akan difokuskan di 11 provinsi yang telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+. Luas hutan alam di 11 provinsi tersebut mencapai 65,2 juta hektare atau 73,6 persen dari total luas hutan alam Indonesia pada tahun 2019 seluas 88,6 juta hektare.

Indonesia menetapkan sumber emisi paling besar (63 persen) berasal dari kegiatan alih guna lahan serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Oleh karena itu, sektor kehutanan diproyeksikan mampu mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca terbesar hingga 17 persen dari keseluruhan target nasional sebesar 29 persen pada 2030.

Keberhasilan menurunkan emisi dari sektor hutan berkorelasi erat dengan pengurangan emisi secara nasional seperti yang pernah terjadi pada 2017. Di tahun tersebut, tingkat emisi dari sektor hutan dan gambut berhasil ditekan menjadi 294 juta ton dibandingkan tingkat emisi tahun 2015 yang mencapai 1,56 gross ton. 

BACA JUGA: Kemana Alokasi Dana Perubahan Iklim?

Penurunan emisi sektor hutan saat itu hanya berkontribusi sebesar 25 persen terhadap emisi nasional, jauh lebih kecil dibandingkan tingkat emisi dari sektor energi yang mencapai 49 persen.   

Hibah Dana Iklim Hijau selanjutnya bisa menjadi penunjang untuk melanjutkan penurunan emisi dari sektor kehutanan. Panel Penasihat Teknis Independen telah memberikan sejumlah catatan bagaimana sebaiknya dana itu digunakan.  

Pertama, program pemerintah Indonesia harus menyasar wilayah spesifik yang menjadi titik deforestasi utama seperti di Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua Barat. Tiga wilayah ini mengalami kenaikan laju deforestasi masing-masing sebanyak 43 persen, 40 persen, dan 36 persen pada tahun 2018. 

Sementara itu, Kalimantan Tengah, Riau, dan Kalimantan Barat juga kehilangan hutan paling luas. Deforestasi di wilayah-wilayah ini disebabkan oleh perkebunan hutan sawit, karhutla serta hutan tanaman dan pertanian kecil.

Kedua, dana REDD+ GCF dan Strategi REDD+ harus lebih difokuskan pada elemen konservasi hutan alam, khususnya di daerah kaya keanekaragaman hayati (biodiversity hotspot). Dan ketiga, kebijakan moratorium harus diperkuat untuk mencegah deforestasi di lahan gambut.

Tantangan Setelah UU Cipta Kerja 

Sesuai proyeksi di atas, ketika Indonesia berhasil mempertahankan dan terus meningkatkan kinerja pengurangan emisi seperti tahun 2017,  maka target pengurangan emisi nasional sebesar 29 persen pada 2030 bisa tercapai.

Namun konsistensi pemerintah Indonesia menjalankan program penurunan emisi tersebut, menghadapi tantangan besar setelah disahkannya Undang-undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU yang diketuk pada 5 Oktober 2020 itu justru berisiko melemahkan perlindungan hutan dan lingkungan hidup.

Rata-rata laju deforestasi Indonesia dari tahun 2006 hingga 2018 adalah 688.844,52 hektare per tahun. Dengan simulasi angka ini, maka pada tahun 2025 Indonesia akan melampaui batas deforestasi untuk mencapai target emisi pada tahun 2030 sebesar 3,5 juta hektare.

Analisis spasial Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan setidaknya ada enam pasal pada UU Cipta Kerja yang dapat melemahkan perlindungan hutan. Antara lain, dihapusnya batas minimal 30 persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap DAS dan atau pulau. 

BACA JUGA: Dana Iklim Hijau dan UU Cipta Kerja, Akankah Sejalan?

Dihapusnya ketentuan itu dikhawatirkan akan memicu deforestasi secara masif di daerah-daerah yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 30 persen. Selain itu, tidak ada lagi kewajiban bagi daerah-daerah yang luas kawasan hutannya kurang dari 30 persen, untuk menambah luas kawasan hutannya sebagai benteng terakhir menghadapi krisis iklim dan bencana ekologis

UU Cipta Kerja menghapus ketentuan UU Perkebunan mengenai kewajiban memiliki Izin Lingkungan, kesesuaian RTRW, dan kesesuaian perkebunan sebelum mendapatkan Izin Usaha Perkebunan. Ketentuan ini berisiko mendorong ekspansi perkebunan sawit secara masif ke hutan alam dan kawasan hutan.

Padahal, perkebunan kelapa sawit selama ini menjadi faktor utama penyebab deforestasi. Pada rentang 2001-2016, perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan 23 persen deforestasi hutan alam. Analisis spasial Madani juga menunjukkan adanya 3,4 juta hektare tutupan hutan alam di dalam izin perkebunan sawit.

Berlakunya UU Cipta Kerja, maka provinsi yang terancam akan kehilangan hutan alam yang berada di dalam izin sawit paling banyak adalah Papua sebesar 1,3 juta hektare dan Kalimantan Timur 528 ribu hektare.

Pembukaan perkebunan sawit besar-besaran ke depannya ditujukan untuk memenuhi target konsumsi biodiesel dalam negeri pada 2024. Itu tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan konsumsi biodiesel dari minyak sawit sebesar 17,4 juta kiloliter. Belum termasuk kebutuhan untuk konsumsi pangan, industri, dan ekspor minyak kelapa sawit. 

Apa peluangnya? Di tengah tantangan itu masih ada beberapa peluang yang masih bisa digunakan untuk mencegah deforestasi, salah satunya melalui pemerintah daerah. Meski ada beberapa kewenangan  yang dipangkas, pemda dapat melindungi aset hutan alam tersisa di daerahnya. Caranya, dengan meninjau ulang berbagai perizinan perkebunan sawit yang di dalamnya masih terdapat hutan alam dan tidak meneruskan izin lokasi jika masih terdapat hutan alam di dalamnya. 

Pemerintah Daerah juga dapat bekerja sama dengan Pemerintah Pusat untuk meninjau kembali izin-izin perkebunan sawit yang berasal dari pelepasan kawasan hutan yang belum dibangun dan di dalamnya masih terdapat hutan alam yang masih produktif sebagaimana mandat Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.***