Belakangan ini dunia dibuat iri dengan penanganan Covid–19 yang dilakukan oleh Selandia Baru, di mana negara tersebut memuncaki peringkat pertama penanganan pandemi terbaik di dunia berdasarkan data The Lowy Institute. Kesigapan Selandia Baru terhadap Covid-19 ini nyatanya telah membantu negara tersebut mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi.

Beberapa dana stimulus telah dikeluarkan dengan efektif untuk mengatasi krisis COVID-19 bersamaan dengan krisis iklim, melalui proyek lingkungan. Komitmen adanya dana pemerintah sebesar NZ $ 20 miliar untuk stimulus ekonomi menawarkan peluang yang sangat besar untuk memulai langkah Selandia Baru menuju net zero emission

Selandia Baru adalah salah satu dari sedikit negara yang memiliki tujuan zero emission yang dituangkan ke dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nol Karbon. Undang-Undang baru tersebut ditujukan untuk proyek-proyek percepatan peningkatkan lapangan kerja dan pemulihan ekonomi yang memiliki dukungan perlindungan lingkungan, dimana fungsinya adalah sebagai pengaman untuk memastikan proyek-proyek padat emisi tidak disetujui. Penerapan Undang-Undang Nol Karbon pada tahun 2019 merupakan sebuah langkah maju, tetapi juga banyak kritik yang muncul terkait pengecualian gas metana dalam target tersebut dirasa sangat melemahkan target. 

Undang-undang tersebut bertujuan untuk mencapai emisi nol bersih dari semua gas rumah kaca, kecuali emisi metana dari pertanian dan limbah, pada tahun 2050. Tidak masuknya target emisi metana dan limbah berkonsekuensi pada perlunya pencapaian di sektor lain karena emisi metana dari pertanian dan limbah mewakili (lebih dari 40% emisi Selandia Baru). Hal ini akan berdampak khususnya melalui dekarbonisasi penuh di sektor energi dan industri pada tahun 2050.

Banyak pakar mengatakan bahwa Selandia Baru masih tidak memiliki kebijakan yang kuat dalam pembangunan rendah karbon, terlepas dari Undang-Undang Nol Karbon. Sejatinya, Undang-undang tersebut tidak memperkenalkan kebijakan apa pun untuk benar-benar mengurangi emisi melainkan hanya menetapkan kerangka kerja.

Untuk mencapai target nol bersih pada tahun 2050, Selandia Baru berencana menggunakan sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF) sebagai penyerap emisi, memanfaatkan mekanisme pasar karbon dan membebaskan emisi metana (target metana terpisah). Seperti yang banyak diketahui bahwa Selandia Baru termasuk terdepan dalam penerapan mekanisme perdagangan karbon yang merupakan salah satu mekanisme andalan yang dilakukan dalam strategi pemerintah dalam pengurangan emisi. Dengan berjalannya Undang-Undang Nol Karbon, Selandia Baru berhasil membentuk Komisi Perubahan Iklim independen untuk mengawasi proses penganggaran karbon dalam lima tahun untuk mendorong pengurangan emisi yang diperlukan.

BACA JUGA: Sanggupkah Indonesia Turunkan Emisi Global dengan Komitmen NDC?

Pada 2020, pemerintah Selandia Baru melakukan perubahan Skema Perdagangan Emisi yang mana ketika awalnya diusulkan untuk mencakup semua sektor namun ternyata sektor pertanian masih terbebaskan dari kebijakan harga per emisi yang dikeluarkan negara tersebut hingga 2025. Perubahan skema tersebut mengimplementasikan kenaikkan batas harga karbon dari NZ $ 25 (US $ 17) menjadi NZ $ 35 (US $ 23) per unit ton CO2).

Energi

Di sektor energi, Selandia Baru memiliki target 100% listrik terbarukan pada tahun 2035. Hal ini sangat ambisius dimana saat ini pemerintah Selandia Baru berencana mengembangkan kebijakan untuk mendukung program kerja Strategi Energi Terbarukan untuk memenuhi target tersebut. Selandia Baru akan berfokus pada pengembangan hidrogen yang diharapkan kedepannya mampu mendukung peluang penggunaan domestik dan ekspor hidrogen hijau.

Berdasarkan hasil research dari beberapa institusi, dampak pandemi terhadap emisi dan perubahan pada proyeksi kebijakan pemerintah berpengaruh cukup signifikan. Penurunan emisi yang diproyeksikan membawa Selandia Baru semakin dekat untuk memenuhi target tahun 2020, dan masih masuk dalam jangkauan untuk memenuhi target tahun 2030. Namun, dampak Covid-19 bukanlah pengurangan berkelanjutan dalam emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan seiring dengan pemulihan ekonomi, emisi diperkirakan akan meningkat pada tahun selanjutnya jika tidak ada dorongan kuat untuk pemulihan hijau yang mengalihkan investasi ke proyek-proyek rendah karbon.Bersamaan dengan pengembangan Undang-Undang Nol Karbon, pemerintah Selandia Baru juga membentuk New Zealand Green Investment Finance Ltd. Tujuan dari lembaga ini adalah untuk mempercepat investasi dalam inisiatif rendah emisi.

Dibandingkan dengan Indonesia, saat ini pemerintah Indonesia memang belum memiliki peraturan sendiri yang mengatur tentang komitmen nol karbon atau zero emission dan implementasinya. Namun secara teknis, pemerintah Indonesia telah memiliki platform pembangunan rendah emisi yang dikenal sebagai Low Carbon Development Indonesia (LCDI) dibawah Kementerian Bappenas. Jika dibandingkan dengan Selandia Baru tentunya inisiatif pembangunan hijau kita sedikit terlambat tetapi belakangan ini pemerintah sedang menyusun Perpres Nilai Ekonomi Karbon yang saat ini masih dalam tahap rancangan dengan tujuan untuk meningkatkan pendanaan hijau yang masuk ke Indonesia. []

Referensi

  1. International Carbon Action Partnership. 2021. New Zealand Emissions Trading Scheme.
  2. factorco2. 2021. New Zealand plans to use 100% renewable electricity by 2035. Available at: https://www.factorco2.com/en/new-zealand-plans-to-use-100-renewable-electricity-by-2035/new/6806
  3. Ardern Jacinda. 2020. 100% renewable electricity generation by 2030. Labour.org.  Available at: https://www.labour.org.nz/release-renewable-electricity-generation-2030