Dalam skenario Peta Jalan pencapaian Nationally Determined Contributions (NDC Indonesia), perhutanan sosial menjadi salah satu opsi untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca. Dengan target cukup ambisius sebesar 12,7 juta hektare, capaian pemberian izin perhutanan sosial hingga Maret 2021 mencapai 4,5 juta hektare. Diharapkan masih terbuka lebar bagi perhutanan sosial untuk berkontribusi terhadap NDC.
Perhutanan sosial dapat berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim melalui upaya pengurangan emisi dari deforestasi, pengurangan degradasi hutan dan peningkatan cadangan karbon. Dengan kata lain, perhutanan sosial adalah pelaksanaan REDD+ di skala tapak berbasis komunitas. Kiranya penting untuk secara lebih utuh memasukkan perhutanan sosial ke dalam skenario pencapaian NDC. Termasuk di dalamnya bagaimana mengembangkan berbagai aspek teknis metodologi yang memungkinkan masyarakat melalui perhutanan sosial dapat berkontribusi. Sama pentingnya juga bagaimana masyarakat yang mengelola area perhutanan sosial dapat memperoleh manfaat ekonomi dari upaya pengurangan emisi GRK.
BACA JUGA: Capai Target NDC Indonesia dengan Mengurangi Emisi
Hasil studi Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate Society (YCS) menyebutkan bahwa perhutanan sosial dapat berkontribusi terhadap pencapaian NDC melalui :
- Pengurangan deforestasi, melalui bagaimana pengelolaan oleh masyarakat dapat mengurangi perubahan tata guna lahan dari hutan primer menjadi kawasan non hutan;
- Pengurangan degradasi, dimana masyarakat mengelola area PS mereka secara berkelanjutan yang menyebabkan kualitas hutan relatif terjaga meski dimanfaatkan oleh masyarakat;
- Peningkatan cadangan karbon hutan, melalui upaya rehabilitasi lahan atau revegetasi.
Perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder baik oleh sebab alami atau karena intervensi aktivitas manusia adalah definisi degradasi. Dalam konteks perhutanan sosial, masyarakat turut mencegah degradasi hutan melalui upaya mengelola hutan secara berkelanjutan tanpa menurunkan kualitas tutupan hutan secara signifikan. Dalam studi tersebut, pelaksanaan kegiatan PS berhasil dalam mengurangi tekanan terhadap hutan yaitu berkurangnya kegiatan illegal logging (penebangan liar) berkontribusi terhadap penurunan tingkat degradasi hutan.
Pengurangan degradasi hutan ini tentu tidak berdiri sendiri, perhutanan sosial dapat menjadi alat bagi komunitas untuk mendapatkan manfaat ekonomi melalui pemanfaatan lahan perhutanan sosial dengan melakukan aktivitas produktif yang bisa menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat. Sebagian areal yang dikelola masyarakat dalam perhutanan sosial merupakan lahan-lahan yang sudah terdegradasi dan tidak produktif dengan cadangan karbon rendah. Upaya revegetasi (penanaman kembali) dapat membantu meningkatkan cadangan karbon hutan (sink). Pengembangan usaha tani berbasis wanatani pada areal ini sangat berpotensi untuk meningkatkan cadangan karbon. Sinergi program PS dengan kegiatan rehabilitasi lahan (RHL) akan dapat mendorong percepatan upaya revegetasi.
Studi Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Climate Society (YCS) terkait Perhutanan Sosial di tiga wilayah Perhutanan Sosial di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bukit Barisan, Sumatera Barat, yakni Kelompok Tani Hutan (KTH) Putra Amdam Dewi, Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh, dan LPHN Gamaran, menemukan bahwa persentase penurunan penebangan liar di tiga wilayah perhutanan sosial itu mencapai 83,68 persen dengan penurunan emisi sebesar 483.941 tCO2 per tahun.
Potensi penurunan emisi dari deforestasi pada ketiga perhutanan sosial di KPH Bukit Barisan di atas bisa mencapai 235.254 tCO2 atau 0,025 persen dari target NDC. Jika dilakukan percepatan implementasi Perhutanan Sosial pada wilayah berisiko deforestasi sedang sampai tinggi dan dapat mencegah deforestasi di wilayah tersebut, program itu secara nasional berpotensi untuk berkontribusi sebesar 34,6 persen dari target NDC.
Yang terjadi setelah kelompok masyarakat mendapat izin Perhutanan Sosial, mereka beralih ke komoditas hasil hutan bukan kayu dan ekowisata sehingga mampu berkontribusi pada penurunan emisi di sektor kehutanan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi.
BACA JUGA: Setelah Joe Biden Bawa Amerika Kembali Ke Paris Agreement
Kisah enam perhutanan sosial lainnya adalah dari Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kalibiru di Kulonprogo, Yogyakarta; HKm Bleberan Gunung Kidul, Yogyakarta; Hutan Desa Lanskap Padang Tikar, Kubu Raya, Kalbar; Hutan Desa Jorong Simancuang, Sumatera Barat; Hutan Desa Lanskap Bujang Raba, Bungo, Jambi; dan Hutan Adat Marena, Enrekang, Sulawesi Selatan.
Dalam perjalanan Perhutanan Sosial menjaga iklim bumi ini yang tak kalah penting juga adalah pendampingan yang kuat dalam tata kelola kelembagaan, tata kelola kawasan, dan tata kelola usaha. Pendampingan yang kuat dalam ketiga hal itu menjadi kunci sekaligus benang merah dari berbagai kisah sukses program tersebut, baik dalam meningkatkan kesejahteraan maupun mengurangi emisi.
Bagi 5.615 unit masyarakat yang telah mendapat SK Perhutanan Sosial pada 13 Mei 2019, baru tersedia 1.215 pendamping atau 21,64 persen. Masih banyak masyarakat pengelola Perhutanan Sosial yang belum memiliki pendamping. (*)