Dilansir dari Investor.id, Sekretariat Nasional Designate Authority Green Climate Fund Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Noor Syaifudin mengatakan, rata-rata anggaran untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia sejak 2018 hingga 2020 mencapai 4,3% per tahun atau sekitar Rp 102,65 triliun, sehingga kalau ditotal (2018-2020) mencapai Rp 307,94 triliun.
Ia mengatakan, pemerintah terus berupaya untuk menyediakan pendanaan untuk memitigasi perubahan iklim melalui climate budget tagging.
“Aksi mitigasi perubahan iklim memerlukan pendanaan. Berbagai kebijakan sudah dicoba diterapkan sisi fiskal dan salah satu yang dilaksanakan melalui climate budget taking untuk mengetahui seberapa besar alokasi belanja APBN di tingkat Kementerian/Lembaga di pemerintah pusat yang sudah didedikasikan untuk isu perubahan iklim dan kegiatan, yang sudah dilaksanakan sejak 2016,”tutur dia, Senin (6/12).
BACA JUGA: Krisis Iklim dan Perlawanan Anak Muda Kelas Menengah
Lebih lanjut, ia mengatakan anggaran perubahan iklim di pemerintah pusat lebih banyak digunakan untuk kegiatan mitigasi, di 2018 sebesar 66,2% dan 55,6% pada 2019.
Apabila mengacu dokumen Peta Jalan NDC, Indonesia memproyeksikan kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target penurunan emisi pada 2030 mencapai Rp 343 triliun di setiap tahunnya untuk mitigasi.
“Dari total kebutuhan Rp 343 triliun setiap tahunnya, (maka) rata-rata alokasi belanja kita hanya Rp 102,65 triliun per tahun tentu saja menunjukkan masih ada gap dari kebutuhan pembiayaan aksi mitigasi perubahan iklim. Ini menunjukkan kita memerlukan dukungan dari sumber pendanaan diluar APBN,”kata dia.
Di sisi lain, untuk tahun depan, ia menyebut akan terjadi penurunan alokasi pendanaan iklim dikarenakan kebijakan refocusing APBN. “APBN 2020 berkontribusi sekitar 13% dari total kebutuhan pendanaan mitigasi untuk mencapai target NDC. Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu mendukung mobilisasi sumber pendanaan iklim di luar APBN untuk mencapai target NDC,”tuturnya.
Adapun komitmen pemerintah dalam penyampaian National Determined Contribution (NDC) kepada UNFCCC, bahwa Indonesia berupaya untuk menurunkan emisi GRK dari level BaU pada 2030 sebesar 29% melalui upaya nasional dan 41% berasal dari dukungan internasional.
BACA JUGA: KLIMATOGRAFIK: Antara Aku, Kau, dan Mimpi Net Sink FOLU 2030
Noor mengatakan, berdasarkan studi BKF terkait landskap pendanaan mitigasi perubahan iklim hingga 2019, porsi pendanaan perubahan iklim masih didominasi oleh pendanaan dalam negeri mencapai 80% yang berasal dari sektor publik, belanja Kementerian/Lembaga, maupun dari pembiayaan publik belanja non KL. Sedangkan pendanaan dari swasta mencapai 60%.
“Dibandingkan dengan dukungan secara internasional, kita melihat dukungan pinjaman asing untuk sektor public utama untuk Kementerian/Lembaga masih cukup rendah, sekitar 15%, sementara untuk belanja atau pembiayaan internasional, bentuk pinjaman untuk publik non KL sekitar 15-17%, demikian juga sisi swasta menunjukkan angka lebih tinggi 18-19%. Kalau melihat dari landscape, sumber internasional menunjukkan bahwa mayoritas masih mendanai untuk sektor energi dan pertanian masih sangat mendominasi pembiayaan internasional,”tuturnya.
Setidaknya Noor mencatat jika dari sisi aspek kebijakan fiskal, dukungan melalui APBN ada 3 unsur utama. Pertama, melalui dukungan APBN terkait penerimaan negara. Kedua, belanja pemerintah pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Ketiga, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembiayaan inovatif.
Sumber: Investor.id