Apakah anda termasuk anak muda penggemar kopi Gayo yang legendaris itu? Jika jawabannya iya, mungkin dalam tahun-tahun mendatang anda akan kesulitan mendapatkan kopi yang legendaris itu. Lho kenapa bisa demikian?
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) di bawah PBB mengeluarkan laporan bahwa pemanasan bumi terjadi lebih cepat dari perkiraan. Apa kaitannya antara kopi Gayo yang legend itu dengan pemanasan global?
Seperti ditulis di sebuah media daring (www.bbc.com), sejak tahun 2017 lalu, petani kopi di Gayo, Aceh, telah mengalami penurunan panen hingga 30%. Menurut Diyus Hanafi, salah seorang petani kopi Gayo, akibat menghangatnya cuaca, hama penggerek buah kopi Hypothenemus hampei kini sudah mampu bertahan hidup di ketinggian 1.200 meter, tempat umumnya ladang kopi. Padahal sebelumnya, hama itu tidak bisa hidup di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut..
Fakta lapangan itu diperkuat oleh lembaga riset lingkungan hidup CIFOR (Center for International Forestry Research). Penelitian CIFOR mengungkapkan bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi luasan lahan untuk tanaman kopi di masa depan. CIFOR memprediksi pada tahun 2050 jumlah lahan untuk tanaman kopi arabika akan berkurang hingga 80%.
Tentu saja bukan hanya menurunnya produksi kopi Gayo yang akan terkena dampak krisis iklim, berbagai bencana ekologi pun sudah berada di depan mata kita. Ibukota Jakarta dan 112 kabupaten/kota di Indonesia pun diprediksi akan tenggelam. Singkat kata, krisis iklim ini akan meluluhlantakan semua capaian pembangunan. Pertanyaannya, apakah dengan krisis iklim, yang sebentar lagi menghampiri kita itu, membuat kita mengubah model pembangunan?
BACA JUGA: Mengerek Literasi Perubahan Iklim
Sayang sekali, jawabnya adalah tidak. Meskipun krisis iklim sudah ada di depan mata kita semua, model pembangunan tidak kunjung berubah. Pemerintah dan industri, utamanya industri energi fosil, masih enggan berubah. Lihat saja, menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid sebanyak 18 asosiasi pengusaha yang terdiri dari ratusan pengusaha sepakat menolak rencana implementasi pajak karbon.
Semua pintu untuk mengubah model pembangunan seakan sudah ditutup oleh pemerintah dan para pemilik modal. Lantas masihkah ada jalan untuk mengubah model pembangunan yang tidak ramah iklim itu?
Berita baiknya, jawabnya adalah masih ada jalan untuk mengubah keadaan. Bagaimana caranya? Apakah anda punya buku tabungan? Ya, buku tabungan sebagai tanda anda menyimpan uang di bank. Jika punya gunakan itu sebagai senjata untuk melawan krisis iklim. Caranya mudah, tinggal pindahkan uang yang ada di tabungan anda ke bank-bank yang tidak lagi mendanai energi kotor batubara, penyebab krisis iklim.
Selalu ada jalan bagi kita, para calon korban dari krisis iklim, untuk melakukan perubahan model pembangunan. Salah satunya mulai mendesak sektor perbankan untuk berhenti mendanai proyek-proyek kotor di sektor kehutanan dan energi yang berpotensi menyebabkan perubahan iklim.
Sektor perbankan, seperti diungkapkan oleh ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, jika diibaratkan organ tubuh adalah jantung. Fungsi jantung ini dalam organ tubuh adalah memompa darah sehingga organ-organ tubuh lainnya berfungsi dengan baik. Dalam sistem ekonomi, aliran darah dalam organ tubuh adalah pendanaan. Sektor perbankan inilah yang mengalirkan pendanaan ke berbagai perusahaan, termasuk perusahaan-perusahaan kotor penyebab krisis iklim.
Beberapa waktu lalu, ekonom senior itu mengajak publik memboikot bank-bank yang masih mendanai batubara. “Kita boikot bank-bank BUMN maupun non-BUMN yang masih dan akan terus membiayai perusahaan para oligark, terutama perusahaan tambang batubara yang sangat tidak ramah lingkungan. Saya akan mulai dari diri saya sendiri dengan menarik seluruh uang yang ada di bank-bank itu,” ungkap Faisal Basri di akun twitternya @FaisalBasri, pada 11 Mei lalu, “Saya sudah mulai menarik seluruh saldo yang bisa ditarik di satu bank BUMN. Dua bank BUMN lagi menyusul.”
BACA JUGA: Krisis Iklim dan Pudarnya Visi Indonesia 2045
Pertanyaannya kemudian adalah bank-bank apa saja yang masih mendanai energi batubara? Laporan urgewald, sebuah lembaga yang berbasis di Jerman, menunjukkan selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020, sebanyak 6 bank nasional Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke proyek batubara. Keenam bank nasional tersebut antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank.
Celakanya, laporan itu justru menunjukan bahwa bank-bank milik BUMN mendominasi pendanaan di proyek-proyek energi kotor batubara. Sebagai bank milik negara, bank-bank itu sama sekali tidak mencerminkan keselarasan dengan kewajiban negara untuk melindungi seluruh warganya dari ancaman perubahan iklim.
Akankah bank-bank yang masih mendanai batubara, seperti BNI akan rontok? Dalam waktu dekat ini kita mungkin tidak. Sebagian anak-anak muda yang kebetulan menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih enggan untuk memindahkan uangnya dari bank yang mendanai batubara ke bank lain. Pasalnya, berbagai transaksi untuk kepentingan kuliah hingga beasiswa menggunakan rekening dari bank yang juga mendanai energi kotor batubara itu.
Tapi hampir bisa dipastikan kedekatan BNI dengan nasabah dari kalangan muda itu tidak akan berlangsung lama, bila bank itu masih terus mempertahan paradigma usangnya dengan mendanai energi batubara. Cepat atau lambat bank ini akan ditinggalkan oleh anak-anak muda yang semakin sadar terhadap perubahan iklim.
Saat ini kesadaran anak muda terhadap perubahan iklim kian meningkat. Penelitian Angga Ariestya, Dosen Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara menunjukkan kesadaran kognitif kaum muda sangat tinggi terhadap perubahan iklim. Cepat atau lambat, anak-anak muda yang sudah memiliki kesadaran lingkungan hidup akan melawan. Bentuk perlawanan mereka adalah lebih memilih menjadi nasabah di bank-bank yang mendanai energi terbarukan bukan batubara.
Oleh: Firdaus Cahyadi
Pemerhati Lingkungan Hidup