Setelah menerbitkan dokumen mitigasi dan adaptasi Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah Indonesia juga telah meresmikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada Oktober 2019 lalu. Lembaga ini akan menjadi salah satu kunci pelaksanaan adaptasi dan mitigasi.
Selain untuk membantu mencapai target NDC–29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030–, lembaga ini penting mengingat indeks kualitas lingkungan hidup yang cenderung stagnan sejak 2018.
World Research Institute (WRI) Indonesia telah mengingatkan dalam studinya bahwa penurunan aspek lingkungan dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Untuk itu perlu dukungan pendanaan dan dukungan dalam bentuk lain seperti transfer teknologi dan peningkatan kapasitas untuk berbagai program pembangunan rendah karbon.
BACA JUGA: Sektor Kehutanan, Tulang Punggung Mitigasi NDC Indonesia
Data Indonesia Climate Change Trust Find (ICCTF) ada tiga sumber pendanaan iklim yang bisa dipakai di Indonesia yakni APBN, hibah atau pinjaman luar negeri dan Corporate Social Responsibility (CSR) sektor swasta. Penggunaan APBN bisa lewat dana bagi hasil sumber daya alam, dana alokasi khusus, dana insentif daerah melalui penilaian kategori kinerja pengelolaan sampah, hibah daerah untuk konservasi taman nasional dan dana desa.
BPDLH termasuk pendanaan dari mitra pembangunan internasional selain multilateral, bilateral, multi donors, termasuk Result Based Payment (RBP).
Climate Policy Initiatives (CPI) menyebut BPDLH sebagai lembaga yang unik. Ia semacam Amazon Fund di Brazil. Unik, karena bisa menerima dan mengelola sumber dana baik negara maupun non-negara, dengan tujuan satu, mengontrol perubahan iklim. Unik, karena ia bukan institusi pemerintah tapi juga bukan swasta. Ini membuat BPDLH mestinya lebih fleksibel untuk mengelola dana domestik dan internasional.
Kajian CPI menunjukkan bahwa BPDLH bisa menjadi pusat pembiayaan untuk berbagai program lingkungan di Indonesia. Beda dengan Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang tak menerima dana internasional.
BPDLH juga bisa mendapatkan dana lain dari penghasilan yang didapat dari hibah, investasi dan bayaran dari pelayanan yang diberikan, sesuai dengan regulasi yang ada.
Karena penghasilan ini termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP), jadi bisa dicairkan tanpa harus masuk ke kas negara. Dengan fleksibilitas ini mestinya uang BPDLH bisa berkelanjutan menjadi dana abadi. Dana BPDLH bisa juga digunakan untuk investasi di mana penghasilan dari investasinya bisa dipakai untuk mendanai konservasi hutan, mengurangi polusi dan program lingkungan lainnya.
Dengan fleksibilitasnya pula, BPDLH mestinya bisa memenuhi celah persyaratan lembaga donor internasional yang seringkali berbeda dengan sistem pendanaan dalam negeri.
CPI memperkirakan Indonesia akan terus menjadi sasaran investasi global untuk perubahan iklim. Jadi, memperkuat BPDLH adalah kunci menghubungkan dukungan global dan membantu mencapai target NDC.
Dalam Letter of Intention (Surat Niat) Indonesia-Norwegia, pendanaan pengurangan emisi karena deforestasi dan degradasi didasarkan pada prinsip kontribusi untuk capaian pengurangan emisi terverifikasi nasional hingga result based payment.
Dengan kata lain, keuangan harus dikelola berdasarkan standar internasional yang ada, termasuk safeguards keuangan, tata kelola lingkungan dan sosial.
BACA JUGA: Menilik Keberpihakan Regulasi Indonesia Terhadap NDC
Karena itu, BPDLH mestinya terdiri dari wakil pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil dan masyarakat adat lokal yang dalam struktur tata kelola, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan instrumen internasional yang relevan.
Apa saja yang bisa didanai oleh BPDLH? Pendanaan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan lewat BPDLH bisa dilakukan untuk program-program pengurangan emisi, konservasi dan peningkatan stok karbon hutan, dan pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis kinerja.
Bisa juga mencakup jasa perlindungan fungsi hidrologis, keanekargaman hayati, fungsi ekologis, penguatan sumber kehidupan, peningkatan tata kelola hutan dan perlindungan ekosistem esensial.
Program lain bisa juga untuk institusi dan sumber daya manusia, penguatan kebijakan, penelitian dan pengembangan, dan pra kondisi lainnya seperti penataan tenurial atau hak atas lahan. Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang memastikan masyarakat adat dan lokal bisa merestui dengan informasi awal tanpa paksaan, juga bisa didanai lewat BPDLH.
Namun setelah setahun diresmikan, masih banyak kelemahan dalam BPDLH yang mesti diperkuat oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai ketua dan wakil ketua komite pengarah BPDLH.
Studi Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan saat ini belum ada keterwakilan masyarakat sipil dan masyarakat adat dan lokal dalam struktur tata kelola BPDLH. Tak ada struktur atau organ multi pemangku kepentingan yang memberikan kursi kepada masyarakat sipil dan masyarakat adat dalam BPDLH. Menurut Yayasan Madani, ini perlu dilembagakan.
Karena itu, perlu diperjelas bagian mana dalam struktur BPDLH yang bertanggungjawab untuk memastikan kepatuhan terhadap kerangka pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan, termasuk adanya mekanisme pengaduan yang efektif.
Pelibatan aktif masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal untuk menentukan program prioritas yang akan didanai juga harus diperhatikan. Akses pendanaan juga seyogianya lebih gampang dan sederhana. Tim teknis penilai, yang kelak menyeleksi program yang akan didanai oleh BPDLH juga belum jelas fungsi dan mekanismenya.
Sebagai kunci pencapai target NDC, pemerintah harus mengisi celah kealfaan ini agar kelak BPDLH benar-benar bisa mendanai program yang tepat dan efektif sehingga tak hanya bergulir pada kelompok tertentu dan menguntungkan segelintir kelompok saja.