Pemerintah Indonesia sedang menyusun regulasi perdagangan karbon berupa Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Legalisasi perdagangan karbon tersebut diharapkan tidak mengabaikan hak masyarakat adat dan lokal.

Rencana perpres itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo pada awal Juli 2020. Menurut Siti, pengaturan NEK tersebut akan menjadi landasan legal untuk mencapai target pengurangan emisi seperti dalam dokumen NDC, serta mendukung pembangunan rendah karbon.

Perpres tersebut akan mengatur mekanisme NEK domestik yang mencakup perdagangan emisi (cap-and-trade), offset karbon, dan pembayaran berbasis kinerja serta pungutan karbon. Sedangkan mekanisme NEK internasional yang akan diatur meliputi perdagangan karbon internasional, kredit karbon internasional, dan pembayaran berbasis kinerja internasional.

BACA JUGA: Menanti Perpres Nilai Ekonomi Karbon yang Mumpuni

Menurut Siti, Indonesia memiliki potensi karbon yang besar di antaranya berasal dari hutan daratan, kawasan hidrologis gambut, dan mangrove. Sesuai konvensi perubahan iklim yang telah diratifikasi pada 2016, Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 dan 41 persen dengan dukungan kerja sama dari luar negeri.

Perdagangan karbon adalah kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju penghasil karbon kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon) atau yang berhasil mengurangi emisi karbon. Mekanisme ini efektif di beberapa negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Saat ini, harga rata-rata sertifikat karbon naik 10 dollar Amerika dari tahun lalu menjadi 28 dollar Amerika per ton.

Sebelum meratifikasi Paris Agreement, perdagangan karbon telah diimplementasikan melalui berbagai skema yakni melalui Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih di bawah pengaturan Protokol Kyoto dan Joint Credit Mechanism (JCM). 

CDM merupakan mekanisme yang dapat dilakukan antara negara industri maju penghasil emisi terbesar (Annex I) dan negara penyumbang emisi rendah (Non-Annex I) dengan skema offset, yakni pihak pembeli memperoleh kredit Certified Emission Reduction/CER dari proyek CDM). Hingga saat ini terdapat sekitar 202 proyek CDM di Indonesia, termasuk 2 proyek kehutanan serta beberapa  proyek JCM. 

Masalahnya, di tengah ketidakpastian hak tenurial di Indonesia, pengaturan NEK berpotensi meminggirkan masyarakat adat dan lokal. Hal ini berkaca pada proyek-proyek karbon sebelumnya, seperti kasus Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP) di Kalimantan Tengah.

Praktik serupa juga jamak terjadi di belahan dunia lain. Salah satu contohnya adalah Proyek Waduk Pembangkit Tenaga Listrik di Barro Blanco, Panama, yang mengancam akan menggusur masyarakat adat Ngäbe dan menenggelamkan situs-situs budaya, religi, dan sejarah mereka. 

Oleh karena itu, untuk memastikan perlindungan terhadap masyarakat, ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam legalisasi perdagangan karbon. Tiga syarat itu yakni adanya rambu-rambu pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan yang berbasis hak, dibentuknya mekanisme keluhan yang dijalankan oleh lembaga independen, dan memastikan partisipasi para pihak dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek karbon. 

BACA JUGA: Adaptasi NDC, Payung yang Bisa (Jadi) Menyelamatkan Bumi 

Tanpa tiga syarat itu, proyek karbon berisiko makin meminggirkan masyarakat serta lingkungan hidup. Munculnya penolakan dari warga juga akan mengancam keberlanjutan proyek karbon itu sendiri. 

Selain itu, konsultasi dengan masyarakat adat dan lokal cukup penting dalam setiap proyek karbon yang dijalankan. Termasuk melaksanakan free, prior, informed and concent (FPIC) atau persetujuan bebas tanpa paksaan. Dalam FPIC,  masyarakat adat berhak menentukan apakah suatu proyek pembangunan dapat dilaksanakan atau ditolak. Mereka juga dapat menentukan syarat-syarat untuk pelaksanaan proyek tersebut melalui pengambilan keputusan lewat musyawarah adat.

Memacu Keterlibatan semua pihak

Di sisi lain, pengaturan perdagangan karbon dapat memacu para pihak di sektor kehutanan untuk terlibat dalam upaya penurunan emisi. Baik pemerintah daerah, perusahaan swasta dan juga masyarakat. Sebab selama ini, upaya penurunan emisi sektor kehutanan belum memiliki rencana manfaat yang bersifat ekonomi.  

Bagi pemerintah daerah misalnya, NEK dapat mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten menyusun dokumen perencanaan emisi dan melaksanakannya di lapangan. Sebab sampai saat ini masih sedikit provinsi dan kabupaten yang memiliki kelembagaan MRV dan SIS REDD+. 

MRV adalah kelembagaan yang bertugas untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi aksi dan pengendalian perubahan iklim. MRV di daerah dibutuhkan untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan aksi mitigasi pada tahun-tahun mendatang, yang tidak terjangkau oleh MRV di tingkat pusat. 

Sedangkan SIS REDD+ adalah kelembagaan Sistem Informasi Safeguards REDD+  yang bertujuan untuk menyediakan informasi tentang pelaksanaan ketujuh rambu pengaman (safeguards) dalam kegiatan REDD+, sesuai kesepakatan Conference of the Parties (CoP) ke-16 tahun 2010 di Cancun, Meksiko. 

Keberadaan NEK juga akan melecut pemda memasukkan perencanaan pembangunan rendah emisi atau penurunan emisi ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)  atau rencana kerja tahunan. Apabila perencanaan penurunan emisi sudah dimasukkan ke dalam dokumen RPJMD, maka setiap satuan kerja akan memiliki arahan kerja yang jelas terkait penurunan emisi.

Selain itu, untuk membuka ruang partisipasi semua pihak, pemerintah perlu menyiapkan panduan dasar perhitungan emisi bagi setiap sektor kehutanan. Panduan dasar itu harus dirinci untuk setiap jenis usaha pemanfaatan hasil hutan kayu baik di hutan alam (IUPHHK-HA),  di hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI), di restorasi ekosistem (IUPHHK-RE), dalam hutan kemasyarakatan (IUPHH – HKm) dan hutan desa (HPH-HD).

Khusus untuk Perhutanan Sosial (PS), perlu juga direncanakan penyederhanaan perhitungan emisi. Tujuannya agar tak menyamakan metode perhitungan penurunan emisi untuk aktivitas perusahaan besar dengan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang memiliki skala kecil.***