Di saat terjepit oleh Covid-19 dan krisis iklim, wacana penerapan pajak karbon (carbon tax) di Indonesia dinilai sebagai pilihan terbaik. Pasalnya, bukan hanya dianggap mampu menambal kebocoran keuangan negara akibat pandemi covid-19, pajak karbon juga bermanfaat bagi lingkungan khususnya bagi upaya penanggulangan krisis iklim dunia.
Dari sisi ekonomi, penerimaan negara yang seret dapat tergenjot cukup signifikan. Temuan dari Bahana Sekuritas, potensi penerimaan pajak karbon pada tahun pertama implementasi sekitar Rp29 triliun hingga Rp57 triliun atau 0,2-0,3 persen dari PDB, dengan asumsi tarif pajak sekitar US$5-10 per tCO2 yang mencakup 60 persen emisi energi. Tentu dengan nilai tersebut, defisit anggaran yang terus melebar dapat terbantu untuk kembali ke level aman psikologis anggaran yakni 3 persen pada 2023.
Bukan hanya itu, rencana ini juga merupakan langkah progresif dalam upaya mencapai target komitmen iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yakni mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Ibarat kata, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Bukan hanya mampu menyegarkan bagi keuangan negara tapi juga sangat ramah terhadap lingkungan, begitulah kiranya pajak karbon diumpamakan.
BACA JUGA: Pajak Karbon dan Mengapa Penting Menerapkannya?
Secara definisi Tax Foundation (2019) menafsirkan bahwa pajak karbon adalah pigovian tax. Pigovian tax sendiri diartikan sebagai pajak atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif.
Eksternalitas sendiri adalah sebuah kegagalan pasar dalam menghitung biaya dan dampak negatif yang ditimbulkan, baik fisik maupun non fisik dari sebuah proses produksi. Ekonom yang juga mantan penasehat pemerintah Inggris dalam bidang ekonomi perubahan iklim, Nicholas Herbert Stern, mengatakan bahwa eksternalitas terparah yang pernah dialami manusia adalah krisis iklim. Tidak lain semua itu karena selama ini dunia tidak menghitung batas dari pemanfaatan energi kotor.
Dalam hal ini, mekanisme kredit karbon dinilai sebagai salah satu mekanisme pembayaran atau mengambil keuntungan dari faktor eksternalitas. Tidak berbeda dengan kredit karbon, pajak karbon pun dapat dikatakan sebagai mekanisme terbaik untuk menambal eksternalitas.
Mengapa Pajak Karbon Penting?
Hal yang paling mendasar untuk menjawab pentingnya penerapan pajak karbon adalah soal kondisi bumi yang semakin genting karena krisis iklim yang sudah semakin nyata. Ancaman tersebut akan terjadi ketika suhu bumi naik 1,5 derajat celcius sehingga krisis iklim yang terjadi akan menimbulkan efek berganda seperti beragam bencana alam sampai dengan gangguan kesehatan pada manusia.
Badan ilmiah dunia yang bertanggung jawab atas fakta ilmiah perubahan iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi bahwa dengan emisi saat ini maka akan membuat bumi lebih panas 1.5 derajat 2100. Namun, beberapa prediksi ilmiah lainnya menyebut bahwa kenaikan akan mencapai 2 derajat sampai di atas 4 derajat pada 2100.
Dengan kemungkinan tersebut, kesepakatan dunia tentang perubahan iklim atau yang lebih dikenal dengan Kesepakatan Paris (Paris Agreement) memasang target ambisius untuk menekan laju kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat. Untuk mencapai target tersebut, tentu banyak negara di dunia tidak bisa hanya menerapkan strategi business as usual dalam upaya penanggulangan krisis iklim. Strategi baru yang penuh gebrakan harus dilakukan, dan tentu inisiatif pajak karbon adalah salah satu strategi terbaik.
Apakah Indonesia Sudah Siap?
Tentu segala sesuatu yang dilakukan dengan terburu-buru maka hasilnya juga belum tentu memuaskan, begitu pula dengan pajak karbon. Meskipun penerapan pajak karbon di dunia bukan hal yang baru, karena setidaknya 25 negara, seperti Kanada, Ukraina, Jepang, Prancis, Chile, dan banyak lainnya telah lama menerapkan pungutan ini, tapi Indonesia yang baru akan memulainya apalagi di tengah himpitan pandemi Covid-19, tentu memiliki tantangan yang berbeda.
Sebut saja, penerapan pajak karbon yang terburu-buru tanpa grand design yang matang, jelas akan memberatkan bagi dunia usaha dan masyarakat golong menengah ke bawah. Sudahlah jatuh, malah tertimpa tangga karena pajak karbon. Untuk mengatasi hal ini, maka pemerintah perlu mengatur serangkaian kebijakan yang tepat dan sesuai dengan kondisi serta jika perlu dilakukan secara bertahap.
Dengan penerapan pajak karbon, pelaku usaha bahkan masyarakat akan mengurangi bahkan beralih dari bahan bakar fosil ke energi bersih atau energi baru terbarukan. Tentu ini merupakan stimulus yang baik untuk mulai menerapkan ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan.
Tidak dapat dimungkiri bahwa jika negara seperti Indonesia yang telah lama berkecimpung dan menikmati sumber daya alam khususnya energi ekstraktif seperti bahan bakar fosil menerapkan pajak karbon, maka akan muncul gejolak khususnya pada pasar. Inflasi tentu akan terjadi karena pengenaan pajak karbon akan berimbas pada kenaikan harga sejumlah barang atau bahkan jasa.
BACA JUGA: Jadi, Kapan Indonesia Akan Netral Karbon?
Indonesia perlu belajar dari penerapan pajak karbon di banyak negara, baik yang sukses dalam penerapannya, maupun yang terhambat karena gejolak yang timbul karenanya.
Terkait dengan penerapan pajak karbon, gejolak yang terjadi di Prancis pada November 2018 melalui Gerakan Rompi Kuning atau dikenal juga dengan Gerakan Jaket Kuning (Yellow Jacket Movement) dapat menjadi salah satu pelajaran berharga. Gerakan ini muncul karena reformasi pajak yang dilakukan pemerintahnya yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar yang cukup signifikan karena pajak karbon. Tentu beban yang tidak proporsional dari reformasi pajak tersebut akan menimpa para pekerja dan golong menengah.
Namun, tidak sedikit pula negara yang sukses dengan penerapan pajak karbon. Salah satunya Swedia yang telah menerapkan pajak karbon sejak 1920. Bagi Swedia, pengelolaan yang tepat bukan hanya bermanfaat bagi keuangan negara, juga pengurangan emisi karbon, tapi juga mendorong pengembangan teknologi yang signifikan.