Sektor kehutanan jadi program prioritas pemenuhan target penurunan emisi nasional. Dalam komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia kepada Badan PBB yang menangani isu perubahan iklim (UNFCCC) pada 2016 lalu, target Indonesia, menurunkan emisi 834 ton CO2e atau 29% pada 2030. Sektor kehutanan, dapat porsi 17,2%, atau sekitar 60 persen dari total target nasional. 

Untuk mencapai target ini Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menginisiasi lima skema Perhutanan Sosial, yakni Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).

Hingga September 2019, sudah terbit 5.939 izin perhutanan sosial untuk sekitar 3,2 juta hektar hutan. Izin ini bisa dimanfaatkan oleh 737.780 kepala keluarga yang terlibat. Di dalamnya juga ada 0,5 hektar wilayah indikatif hutan adat. 

Lantas, sejauh apa perhutanan sosial ini berkontribusi untuk penurunan emisi nasional?

Studi yang dilakukan Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Yayasan Climate and Society di tiga wilayah perhutanan sosial dalam Kesatuan Pengusahaan Hutan (KPH) Bukit Barisan, di Sumatera Barat menunjukkan kontribusi perhutanan sosial untuk mencapai target NDC masih minim. Tiga wilayah di KPH Bukit Barisan, berpotensi menurunkan emisi dari degradasi  483.914 tCO2, setara 3.866 hektar, atau hanya 0,05 persen dari target 7,649 juta hektar target penurunan degradasi pada 2030. 

BACA JUGA: Dana Iklim Hijau dan UU Cipta Kerja, Akankah Sejalan?

Tiga program perhutanan sosial dipilih untuk studi ini, yakni Kelompok Tani Hutan (KTH) Putra Andam Dewi di Sungai Nyalo Mudiak Air di Kabupaten Pesisir Selatan, Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh dan LPHN Gamaran di Kabupaten Padang Pariaman. Studi dilakukan untuk rentang waktu 1990-2012. 

Sebagian dari lokasi studi, masuk wilayah lindung yang daya dukung, daya tampung, nilai keanekaragaman hayati dan cadangan karbonnya masih tinggi. 

Di KPH ini masih ditemukan jenis satwa dilindungi seperti Harimau Sumatera dan beruang. Di Sungai Buluh ada baning, kura-kura berdiamater 60-100 cm masih hidup di rawa-rawa yang biasa dilewati para penebang kayu. Selain baning, juga ada kambing gunung atau kambing hutan. Dua jenis satwa ini, dalam ukuran besar, jarang ditemukan dalam dokumen-dokumen ilmiah. 

Di Gamaran, pada musim hujan, juga masih ditemukan cacing planaria yang panjanganya mencapai 50 cm. Padahal umumnya, cacing ini hanya 5-25 cm.  

Menariknya, di tiga kelompok ini, mayoritas masyarakat mulanya adalah illegal logger, biasa mencari nafkah dari kegiatan ilegal menebang kayu di hutan.  Bagi mereka, illegal logging adalah sumber pendapatan yang paling cepat dan mudah. Anggota KTH Putra Andam Dewi mengambil kayu dari hutan untuk pembuatan kapal. Di Sungai Buluh dan Gamaran, kayu balok dijual pada sawmill di Nagari. 

Sejak program perhutanan sosial masuk ke tiga area ini, mantan-mantan illegal logger ini kemudian menjadi mesin penggerak pencegahan penebangan kayu ilegal di nagari masing-masing. Mereka mengalihkan sumber mata pencaharian masyarakat. Di KTH Putra Andam Dewi, masyarakat beralih memanfaatkan rotan dari hutan. Sementara di Sungai Buluh dan Gamaran, pariwisata berbasis alam kemudian menjadi andalan. 

Cadangan karbon

Secara umum cadangan karbon di wilayah KPH di Sumatera Barat, masih tinggi, di atas 108 tC per hektar. Ada sebagian kecil yang rendah, kurang dari 27tC per hektar yang umumnya berupa semak belukar dan lahan pertanian. Total cadangan karbon di KPH Sumatera Barat mencapai 297 juta karbon, dengan 60 persen diantaranya (188 juta ton), berada di hutan alam.  

Untuk mempertahankan cadangan karbon, tataguna lahan adalah kata kunci. Perubahan tataguna lahan dari hutan menjadi bukan hutan berdampak pada menurunnya cadangan karbon dan meningkatnya emisi gas rumah kaca. 

Pada 1990 status emisi provinsi ini net sink atau masih negatif. Saat itu tercatat masih ada 2,48 juta hektar hutan alam di Sumatera Barat, terdiri dari 24 persen lahan kering primer dan 68 persen sekunder. Hanya 8 persen hutan mangrove dan rawa. 

Selang 22 tahun, pada 2012 Sumbar sudah kehilangan 534 ribu hektar hutannya. Rata-rata 28.587 hektar lahan hutan berubah menjadi non-hutan setiap tahunnya. 

Menjadi apa saja?

Sebagian besar, 45 persen, menjadi perkebunan. Ada 17 persen berubah menjadi lahan pertanian. Namun tak sedikit juga, sekitar 34 persen, berubah menjadi lahan tak produktif dan tanah kosong. 

Hutan paling banyak hilang antara 1996 hingga 2000, mencapai 63 ribu hektar per tahun. Setiap tahun dalam periode ini, ada sekitar 213 hektar hutan primer, dan 4.688 hektar hutan sekunder yang berubah menjadi bentuk lain. 

BACA JUGA: Merdeka dari Krisis Iklim

Upaya pemulihan dengan penanaman kembali (revegetasi) hanya mencapai 106 ribu ha atau sekitar 4.816 hektar setiap tahunnya. Artinya, lebih dari 92% hutan tetap menjadi lahan perkebunan. Hanya sebagian kecil dari lahan semak belukar yang berhasil regenerasi menjadi hutan sekunder lagi. 

Apa dampaknya? Tentu saja emisi gas rumah kaca meningkat. Sumbar yang pada 1990 menjadi penyimpan karbon, dalam dua dekade melepas 267 juta ton CO2e! 

Dengan kata lain, setiap tahun selama periode ini, perubahan tataguna lahan telah menghasilkan lebih dari 13 juta ton CO2, sementara yang diserap dari revegetasi hanya 0,89 juta ton. 

Sebetulnya tak sepenuhnya salah mengubah hutan menjadi perkebunan, hutan tanaman industri, pembukaan tambang, mengambil kayu secara legal bagi pemegang izin selama dalam tertuang dalam perencanaan pembangunan. 

Di sinilah peran perhutanan sosial. Selain untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan, juga berperan mengurangi ‘tekanan’ terhadap hutan.  Perhutanan sosial diharapkan dapat mengurangi deforestasi dan degradasi hutan yang tak direncanakan. 

Namun, mengingat masih minimnya kontribusi perhutanan sosial untuk penurunan emisi, seperti yang terjadi di tiga area dalam KPH Bukit Barisan hingga saat ini, perlu dilakukan evaluasi. 

Perlu acuan yang tak memasukkan wilayah konsesi. Mengapa? Pengalaman KPH Bukit Barisan, Sumbar, menunjukkan lebih dari separuh deforestasi dan degradasi hutan di provinsi ini, bukan bagian dari perencanaan pembangunan. Mayoritas kegiatan revegetasi juga tak berada dalam wilayah konsesi. Tak heran jika kemudian emisi yang dihasilkan sangat tinggi, lebih dari 9,5 juta ton CO2, sementara karbon yang serap hanya 0,69 juta ton CO2. 

Ini bisa dijadikan acuan untuk mengukur kontribusi program perhutanan sosial dalam menurunkan emisi dari praktik deforestasi dan degradasi maupun revegetasi yang tak direncanakan. 

Kabar baiknya adalah, dengan adanya Instruksi Presiden no 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, mestinya ke depan tak ada lagi konversi hutan alam primer  dan lahan gambut menjadi konsesi. Jika mandat ini dipatuhi, peran perhutanan sosial akan berkontribusi lebih besar dalam NDC karena deforestasi dan degradasi dapat dikendalikan dengan efektif.