Sudah dengar pidato Presiden Joko Widodo pada Leaders Summit on Climate yang digagas Presiden Amerika Serikat, Joe Biden beberapa waktu lalu? Banyak pihak yang kecewa dengan pidato ini karena tak menunjukkan keseriusan dan ambisi Indonesia menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. Padahal, alih-alih tertinggal, jika mau Indonesia bisa menjadi pemimpin bagi pembangunan ramah lingkungan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Dalam pidatonya Presiden Jokowi menyebut soal pencapaian moratorium pembukaan hutan alam dan konversi gambut yang mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari luas Inggris dan Norwegia jika disatukan. Presiden juga menegaskan soal turunnya kebakaran hutan hingga 82%, di saat Amerika, Australia dan Eropa mengalami peningkatan karhutla.
Apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo perlu diapresiasi. Empat tahun terakhir Indonesia memang berhasil menurunkan deforestasi setelah kebakaran hutan hebat pada 2015. Namun, ini tak bisa dan tak cukup sampai di sini.
BACA JUGA: Dengan Kesenjangan Keuangan, Indonesia Tekan Dampak Krisis Iklim
Komitmen iklim di sektor penggunaan lahan dan perubahan tata guna lahan kehutanan perlu diperkuat. Yayasan Madani Berkelanjutan dalam sebuah studinya, bahwa kebijakan penghentian pemberian izin baru perlu menambahkan 9,4 juta hektare hutan alam yang belum dilindungi. Selain itu Indonesia juga perlu melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi.
Presiden Joko Widodo pada pidatonya juga menyebutkan mengenai target pemulihan mangrove seluas 620 ribu hektar. Ini juga perlu ditingkatkan jika memang Indonesia ingin net sink pada 2030.
Dalam Peraturan Presiden soal Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), target pemulihan gambut hanya mencakup luasan area 1,2 juta hektare untuk periode 2021-2024 dari wilayah prioritas restorasi yang mencapai 2,6 juta hektare dari wilayah prioritas 2016-2020. Sayangnya, target tersebut hanya mencakup pemulihan ekosistem gambut yang berada di luar area izin dan konsesi. Sementara catatan Yayasan Madani Berkelanjutan, ada 14,2 juta hektare ekosistem gambut telah dibebani izin dan 99% ekosistem gambut Indonesia berada dalam status rusak.
Sangat disayangkan memang tak sedikitpun dalam pidatonya Presiden Jokowi menyampaikan apapun soal strategi Indonesia untuk mencapai net zero emission. Alih-alih menyebut komitmen pembangunan rendah karbon Indonesia yang ambisius, Presiden Jokowi hanya menyebut bahwa Indonesia akan terus mengembangkan biofuel, industri baterai lithium dan kendaraan listrik. Tiga rencana yang punya catatan khusus untuk komitmen iklim Indonesia.
Rencana pemerintah mengembangan biofuel dari B30 menjadi B40, B50 dan seterusnya dikhawatirkan akan memicu laju pembukaan lahan mengingat bahan baku biofuel Indonesia saat ini dari sawit. Industri baterai yang kelak akan digunakan untuk kendaraan listrik, sudah memicu pertambangan nikel yang bahkan menyasar pulau-pulau kecil di Indonesia yang mestinya bebas tambang.
Padahal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah mengeluarkan empat skenario Indonesia menuju net zero emission. Dalam kajian Bappenas, jika Indonesia mau ambisius, Indonesia bisa mencapai net zero emission pada 2045!
Meski ada skenario lain yakni pada tahun 2050, 2060, dan 2070. Jika Indonesia mengambil pilihan terakhir tentu saja Indonesia ketinggalan, 20 tahun dari negara lainnya! Suatu hal yang tersirat disadari dan disebut Presiden Jokowi dalam pidatonya di Climate Leaders Summit.
Banyak alasan mengapa Indonesia mestinya lebih ambisius dalam mencapai target ini. Pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim, berarti pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. Ia bisa menjadi platform nasional, tak hanya untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs), juga target penurunan emisi 29% pada 2030 dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Bappenas, dalam skenario business as usual (BAU) laju pertumbuhan ekonomi menurun secara jangka panjang karena dampak eksternalitas, keterbatasan sumber energi fosil dan pengaruh jangka panjang dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi.
Sementara pertumbuhan ekonomi hijau dengan melalui pembangunan rendah karbon dapat melepaskan Indonesia dari middle income trap dengan peningkatan pendapatan per kapita hingga 2,5 kali lipat lebih tinggi. Tak hanya itu, skenario ini juga bisa memberikan Penghasilan Domestik Bruto (PDB) hingga 2% per tahun lebih tinggi dari skenario BAU.
BACA JUGA: Sederet Artis Papan Atas Dunia Ini Begitu Peduli Terhadap Lingkungan dan Dampak Krisis Iklim
Jika dilihat tiga tahun terakhir, hasil kajian INDEF juga menunjukkan alokasi dana baik pemerintah pusat maupun daerah untuk pembangunan rendah karbon masih minim, hanya sekitar 80-90 triliun.
Padahal dengan memberikan prioritas pada pembangunan rendah karbon di semua sektor, menurut World Research Institute (WRI) dalam berbagai kajiannya, selain melindungi Indonesia dari biaya akibat kerusakan lingkungan jangka panjang, juga memberi kesempatan untuk menggunakan lahan dan sistem energi dengan cara yang lebih efisien.
Strategi jangka panjang ini juga bisa digunakan untuk evaluasi dan meningkatkan penggunaan lahan dan sistem energi, dua sektor paling bertanggung jawab untuk emisi Indonesia. Ia bisa dijadikan rujukan pengaturan lahan mana saja yang bisa dieksploitasi lebih lanjut, dan mana yang tidak.
Pembangunan rendah karbon akan memberikan kepastian investasi jangka panjang dan jadi kerangka pengaman pertumbuhan Indonesia dari risiko yang berhubungan dengan krisis iklim. Dan tentu saja, bisa membawa Indonesia menjadi pemimpin global untuk ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Karena itu, penting bagi Indonesia untuk mengimplementasikan strategi jangka panjang yang ambisius untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, nol emisi pada 2045.
Tentu saja pertimbangannya harus dengan ambisi melindungi hutan dan gambut. Ini akan melindungi Indonesia dari kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan, membangun ketahanan iklim di masa depan. Ia juga bisa menjadi solusi mitigasi krisis iklim karena penuh dengan program yang berbiaya murah dan tak begitu banyak menggunakan teknologi.
Ke depan Presiden Jokowi harus mengarahkan pemerintahannya agar betul-betul mengerti sumber, sebab dan tren penyebab perubahan iklim, sehingga bisa membuat kebijakan berdasarkan sains dan pengetahuan.
Tak ada salahnya menyusun ulang strategi jangka panjang dengan melibatkan lebih banyak non-state actor untuk memastikan model yang dipakai mengakomodir suara dan kebutuhan banyak kelompok yang berbeda.