Pemerintah Indonesia boleh gembira karena akan menerima pembayaran pertama dari Norwegia untuk capaian penurunan emisi sebesar 11,2 juta ton CO2e dalam periode 2016-2017. Kompensasi senilai 56 juta dollar yang akan disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) ini, menjadi ‘upah’ Indonesia setelah sepuluh tahun bekerja sama mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Langkah selanjutnya, Indonesia dan Norwegia akan menambahkan klausul dalam Surat Niat (Letter of Intent) kedua negara. Isinya, selain akan memperpanjang kerja sama selama 10 tahun ke depan atau hingga 2030, juga akan ada beberapa penyesuaian, termasuk penyesuaian dengan Persetujuan Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Akan ada juga penyesuaian terhadap berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh Indonesia. Selain itu, ada penegasan juga tentang pentingnya partisipasi masyarakat di tingkat tapak seperti Program Kampung Iklim (ProKlim).
Untuk itu pemerintah juga tengah menyusun Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing untuk memberikan nilai ekonomi atau harga terhadap emisi gas rumah kaca. Ini sebagai strategi berbasis pasar untuk mengendalikan emisi.
Prinsipnya, polluter pays. Jika ingin mengeluarkan emisi, siap-siap membayar. Selain melindungi lingkungan, prinsip ini juga diharapkan dapat mengarahkan investasi untuk teknologi-teknologi bersih dan ramah lingkungan.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) mengemukakan tiga pilihan instrumen yang bisa dipakai untuk carbon pricing, yakni pajak karbon (carbon tax), perdagangan emisi atau dikenal sebagai cap-and-trade system, dan mekanisme kredit atas reduksi emisi yang dihasilkan atau crediting mechanism.
Pajak karbon memberikan harga tertentu untuk emisi gas rumah kaca. Semakin tinggi emisi semakin mahal yang dibayarkan. Sementara perdagangan emisi menetapkan izin emisi. Jika melebihi, harus diimbangi dengan membeli izin lain. Ini lazim juga disebut offset. Sedangkan pemberian kredit dilakukan setelah verifikasi oleh pihak independen.
BACA JUGA: Bagaimana Perhutanan Sosial Berkontribusi pada Penurunan Emisi
Dalam mekanisme internasional diatur soal perdagangan karbon, kredit karbon dan pembayaran berbasis kinerja internasional. Sementara mekanisme domestik, hal utama yang akan diatur berupa perdagangan emisi (cap and trade), offset karbon, pembayaran berbasis kinerja dan pungutan karbon. Offset karbon memungkinan suatu pihak membeli izin emisi pihak lain.
Pemerintah Indonesia mengatakan Peraturan Presiden NEK akan terbit pada Desember 2020. Apa saja yang perlu diperhatikan agar Perpres ini sepenuhnya mampu membantu Indonesia mencapai target Target National Determined Contribution (NDC)?
Masukan berbagai kalangan sipil yang dihimpun Yayasan Madani Berkelanjutan memberikan dua poin penting yang harus diperhatikan pemerintah dan tak boleh luput dari perpres ini.
Target NDC menurunkan 29% emisi dengan skenario Bussines as Usual dan 41% dengan bantuan internasional akan sulit dicapai, jika Perpres tak memberi ruang yang cukup untuk kedua hal ini.
Pertama, hak masyarakat. Ini menyangkut ketidapastian hak tenurial, hak atas karbon, dan pelaksananaan safeguards sosial dan lingkungan termasuk prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC). Hal-hal ini belum tegas dinyatakan dalam hukum Indonesia.
BACA JUGA: Dana Iklim Hijau dan UU Cipta Kerja, Akankah Sejalan?
Hak masyarakat penting karena banyak proyek karbon di dunia yang mengorbankan hak masyarakat adat dan lokal. Pemerintah Indonesia bisa belajar dari proyek waduk pembangkit listrik di Barro Blanco, Panama yang mengancam akan menggusur masyarakat adat Ngabe dan menenggelamkan situs budaya, religi dan sejarah mereka.
Di Indonesia, proyek Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) di Kalimantan Tengah juga mengabaikan hak masyarakat adat dan lokal.
Di sinilah safeguards sosial dan lingkungan berbasis hak harusnya berperan. Perlu ada mekanisme keluhan yang dijalankan oleh lembaga independen. Harus ada partisipasi para pihak dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek karbon jika tak ingin proyek karbon semakin memarjinalkan masyarakat adat dan lokal, serta lingkungan hidup.
Karena itu konsultasi dengan masyarakat adat dan lokal dan memastikan restu mereka lewat FPIC harus terang dinyatakan dalam perpres. Perpres, harus mampu menjawab persoalan ini.
Kedua, offset karbon. Offset adalah salah satu mekanisme yang akan dicantumkan dalam perpres. Dengan diberlakukannya mekanisme cap-and-trade, akan terbentuk pasar karbon wajib di Indonesia dan offset dapat digunakan oleh aktor-aktor yang tidak dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisi mereka dengan upaya sendiri.
Pengaturan tentang offset itu sendiri belum diketahui, termasuk apakah akan ada pembatasan dalam penggunaannya atau apakah kredit carbon dari sektor hutan dan lahan akan diperbolehkan untuk meng-offset emisi dari pembakaran bahan bakar fossil.
Jika merujuk pada Climate Land Ambition and Rights Alliance (CLARA), offset karbon dari ekosistem berbasis hutan dan lahan mestinya tak bisa digunakan. Ia harus berasal dari kegiatan di luar hutan dan lahan.
BACA JUGA: Sejauh Apa Perhutanan Sosial Berkontribusi untuk Penurunan Emisi Nasional?
Mengapa?
Sederhananya, untuk menjaga kapasitas adaptif dan resiliensi yang dimiliki hutan dan lahan beserta eksosistem yang ada di dalamnya. Tak ada jaminan jika emisi dari hutan dan eksosistem lahan akan permanen dan terus bisa dijaga jika ia dijadikan komoditas yang bisa dijual beli.
Dengan kata lain, satu hutan dan lahan tidak dapat digunakan untuk menggantikan upaya yang lain jika ingin mencegah kenaikan suhu. Dikhawatirkan, bisa saja terjadi pembalikan atau reversal dari pengurangan emisi berbasis karbon hutan dan lahan yang diperdagangkan.
Selain itu, jika sektor hutan dan lahan dimasukkan dalam carbon pricing, berisiko “membanjiri” pasar karbon dan membuat harga karbon semakin rendah dan otomatis emisi terus naik.
Opsi lain diberikan World Resources Institute (WRI) Indonesia. Berdasarkan studinya, WRI menyarankan agar ekosistem karbon biru juga dimasukkan dalam mekanisme carbon pricing. Bisa jadi berupa insentif bagi perlindungan dan pemulihan ekosistem karbon biru.
Indonesia merupakan rumah bagi salah satu eksosistem karbon biru terbesar dengan cadangan karbon biru paling tinggi di dunia yakni 17%.
Karbon biru merupakan istilah yang dipakai untuk karbon yang terasingkan, disimpan atau dihasilkan ekosistem laut dan pesisir, termasuk hutan mangrove, lamun dan rawa pasang surut. Luas hutan mangrove Indonesia juga tertinggi di dunia mencapai 22,6%.
Ini tentu berperan besar untuk mitigasi perubahan iklim selain tentunya memberi manfaat ekonomi untuk masyarakat pesisir. Sayangnya Indonesia belum memasukkan ekosistem karbon biru dan lahan basah, baik dalam strategi adaptasi maupun mitigasi NDC.
Menurut WRI, perlu pendekatan komprehensif terhadap ekonomi karbon biru. WRI menyebutnya sebagai triple win, dimana selain mengatasi perubahan iklim, pertumbuhan ekonomi terjaga dan kesejahteraan masyarakat pesisir juga meningkat.
Akankah Perpres NEK memuat ini semua? Kita lihat saja.