Jakarta — Pemerintah daerah menjadi salah satu aktor penting untuk mencapai target penurunan emisi pada tahun 2030 dari sektor kehutanan, seperti yang tertuang dalam dokumen pertama rencana perubahan iklim atau First Nationally Determined Contribution (First NDC).
Hasil kajian Yayasan Madani Berkelanjutan, Peta Jalan NDC dan Implementasi di Sektor Kehutanan (2020) menyebutkan, kontribusi pemerintah daerah tersebut bisa dimaksimalkan melalui pembentukan dan penguatan tiga sistem kelembagaan. Sebab nantinya pemerintah daerah yang akan lebih banyak berhadapan langsung dengan pelaksana Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan plus Konservasi (REDD+) maupun kegiatan aksi mitigasi lainnya di lapangan.
Tiga sistem kelembagaan itu yakni, pertama, sistem kelembagaan untuk mengawal dokumen dan aktivitas Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) dan Strategi Rencana Aksi Penurunan Emisi (SRAP) melalui REDD+, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
BACA JUGA: Dana Iklim Hijau dan UU Cipta Kerja, Akankah Sejalan?
RAD GRK yaitu dokumen rencana kerja yang berisi berbagai kegiatan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan daerah. Sedangkan SRAP REDD+ berisi informasi aksi mitigasi yang berkaitan dengan deforestasi dan degradasi hutan.
Pada 2012, seluruh provinsi sebenarnya sudah membuat RAD GRK dan 11 provinsi di antaranya telah menyusun SRAP REDD+. Masalahnya, belum ada sistem kelembagaan untuk mengawasi dan memperbarui informasi atas implementasi kedua dokumen itu oleh pemerintah daerah.
Apalagi, sejumlah pelaku yang terlibat dalam penyusunan RAD GRK dan SRAP REDD+ telah berpindah posisi. Hal ini berdampak pada kurang tersosialisasikannya dua dokumen itu ke bidang lain.
Kedua, pemerintah daerah perlu menyiapkan kelembagaan minimal di tingkat provinsi yang bertugas untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi (MRV) aksi dan pengendalian perubahan iklim. MRV di daerah dibutuhkan untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan aksi mitigasi pada tahun-tahun mendatang, yang tidak terjangkau oleh MRV di tingkat pusat.
Hingga saat ini, jumlah pemda yang telah menyiapkan kelembagaan MRV masih sangat minim, yaitu kurang dari lima provinsi.
Sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 72 tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Aksi dan Sumberdaya Pengendalian Perubahan Iklim, aksi mitigasi perubahan iklim dilakukan melalui tahapan pengukuran, pelaporan dan verifikasi. Selain pemerintah pusat dan pelaku usaha, mandat pelaksanaan MRV oleh pemerintah daerah telah tertuang dalam Pasal 3 Permen LHK tersebut.
Di tingkat pusat, lembaga yang mengurus MRV yaitu Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan dan Verifikasi (IGRK dan MPV), di bawah Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK. Direktorat tersebut menyediakan berbagai informasi mengenai progress kegiatan IGRK dan MPV di Indonesia. Para pihak pun bisa melakukan komunikasi, bertanya atau mendaftarkan kegiatan yang sudah dilaksanakan di lapangan.
Selain itu, KLHK juga sudah menyiapkan rancang bangun sistem MRV pusat mulai dari kegiatan pengukuran, pelaporan, tahapan validasi, verifikasi dan sampai output
Ketiga, kelembagaan MRV daerah itu perlu diintegrasikan dengan kelembagaan Sistem Informasi Safeguards (SIS) REDD+ di tingkat provinsi. SIS REDD+ menjadi salah satu prasyarat penting pelaksanaan kegiatan REDD+ yang bertujuan untuk menyediakan informasi tentang pelaksanaan ketujuh safeguards dalam kegiatan REDD+, sesuai kesepakatan Conference of the Parties (CoP) ke-16 tahun 2010 di Cancun, Meksiko.
Safeguard atau rambu pengaman dibutuhkan untuk menjaga agar skema REDD+ mendukung keberlanjutan hutan, tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar atau dalam kawasan hutan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebenarnya sudah menyiapkan portal SIS REDD+ sebagai wadah bagi pemerintah daerah, swasta dan pelaku usaha lainnya untuk melaporkan kegiatan safeguards. Akan tetapi, masih sedikit pemerintah provinsi yang memperbarui informasi dalam portal tersebut. Hingga September 2020, baru sekitar lima provinsi yang mengajukan dan meminta akses sebagai subadmin pengelolaan portal SIS REDD+.
Keberadaan subadmin di tingkat provinsi ini, sangat penting karena admin portal di tingkat pusat akan kewalahan jika harus memvalidasi dan memverifikasi data pelaksanaan safeguards REDD+ dari seluruh Indonesia.
Pembentukan kelembagaan MRV dan SIS REDD+ yang tangguh di tingkat provinsi tersebut, bisa dikerjasamakan bersama mitra pemerintah di antaranya lembaga donor dan NGO.
BACA JUGA: Sejauh Apa Perhutanan Sosial Berkontribusi untuk Penurunan Emisi Nasional?
Seperti diketahui, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 yang mengikat Indonesia untuk wajib menurunkan emisi bersama negara-negara lain di dunia. Tindak lanjut dari kesepakatan ini, Indonesia menyampaikan komitmen aksi iklim global melalui dokumen pertama rencana perubahan iklim atau bernama First NDC.
Dokumen First NDC itu berisi rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia hingga tahun 2030 dengan target penurunan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 % dengan dukungan internasional.
Ada lima sektor yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sesuai NDC yaitu sektor energi, limbah, perindustrian, pertanian dan kehutanan. Dari kelima sektor ini, skenario pertama yaitu sektor kehutanan diberi target menurunkan emisi sebesar 17,2%. Ini berarti, sektor kehutanan memikul tanggung jawab lebih besar untuk menurunkan emisi nasional sebesar 59,31% atau 60%.***