Pencapaian komitmen iklim yang terkandung dalam Nationally Determined Contribution (NDC) terancam gagal. Pasalnya, dalam beberapa waktu belakangan ini pemerintah sedang produktif dalam mengeluarkan regulasi yang kontradiksi dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Yang paling meresahkan tentu saja Undang-undang yang paling banyak mendapat penolakan dari masyarakat sipil, yaitu UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Yayasan Madani Berkelanjutan secara khusus melihat regulasi ini sebagai stimulan yang dapat menghilangkan hutan alam.

Berdasarkan analisis Madani, risiko hilangnya hutan alam ini ini akan terjadi di lima provinsi. Yaitu Riau pada tahun 2032, Jambi dan Sumatera Selatan pada 2038, Bangka Belitung pada tahun 2054 dan Jawa Tengah pada tahun 2056.

Hal ini jelas tidak sejalan dengan semangat NDC Indonesia yang menjadikan sektor kehutanan sebagai tulang punggung dalam komitmen iklim tersebut. Dalam dokumen NDC, sektor kehutanan mendapat kehormatan untuk menurunkan emisi hingga 17,2% dari total  29% penurunan emisi yang ditargetkan pada 2030

Merusak semangat awal

Selain membahayakan upaya pencapaian NDC, UU Ciptaker ini juga seakan menjadi antiklimaks dari semangat Indonesia terhadap isu-isu peruabahan iklim. Hal ini jelas merusak apa yang sudah dipupuk sejak tahun 1994.

BACA JUGA: Rapor Penurunan Emisi Indonesia

Kepedulian Indonesia terhadap isu perubahan iklim dimulai pada tahun tersebut. Kala itu, pemerintah menelurkan Undang-undang nomor 6 tentang Pengesahan United Nation Framework Convention on Climate Change. 

Undang-undang ini adalah dasar dari berbagai peraturan berikutnya untuk partisipasi Indonesia dalam berbagai negosiasi perubahan iklim di tingkat global. Salah satunya adalah Undang-undang nomor 17 tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change.

Langkah ini menjadikan Indonesia dilirik oleh banyak negara untuk bekerja sama untuk menurunkan emisi, terutama dalam skema Clean Development Mechanism (CDM). Itu sebabnya, banyak inisiasi terkait kegiatan CDM di Indonesia yang sejauh ini bisa memberikan banyak pelajaran terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Selain UU, banyak juga Peraturan Presiden (Perpres) yang sudah dikeluarkan dan menunjukkan keseriusan Indonesia dalam isu perubahan iklim. Salah satunya adalah Perpres nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).

Keberadaan DNPI ini menjadi penting, karena negara lain bisa jadi lebih mudah mendapatkan informasi terkait aktivitas, lokasi, kebijakan dan pilihan skenario penurunan emisi yang sudah dijalankan di Indonesia.

Belum lagi dengan Perpres nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang menjadi tonggak komprehensif tentang rencana penurunan emisi dalam negeri. Implikasinya, Pemerintah Daerah pun menelurkan rencana aksi serupa di tingkat lokal.

Sektor kehutanan pun sebenarnya sudah dibentengi dengan Instruksi Presiden nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Gambut. Peraturan ini sudah diperbaharui dan dipermanenkan dengan Inpres nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Dijegal regulasi anyar

Sayangnya, segala macam peraturan tersebut terancam tidak bermakna akibat UU Ciker atau omnibus law. Pasalnya, yang menjadi pusat perhatian, adalah tidak lagi ada ketentuan mempertahankan 30 persen minimal kawasan hutan di pulau atau Daerah Aliran Sungai (DAS).

Potensi deforestasi yang terjadi ini, dinilai Yayasan Madani Berkelanjutan dapat mengganggu target NDC. Pasalnya, dalam NDC disebutkan ambang batas deforestasi pada periode 2020-2030 hanya sebesar 3,25 juta hektare. Sementara, kemungkinan deforestasi meninggi dengan hilangnya beberapa pasal pelindung kawasan hutan dalam omnibus law.

Berdasarkan catatan geoportal.menlhk.go.id, saat ini ada delapan provinsi yang luas kawasan hutannya berada di bawah ambang batas 30%. Yaitu Jawa Timur (28,395%), Lampung (27,64%), Bali (22,68%), Banten (22,3%), Jawa Barat (21,38%), Jawa Tengah (18,91%), DI Yogyakarta (5,97%) dan DKI Jakarta (0,69%).

BACA JUGA: Dana Iklim Hijau dan UU Cipta Kerja, Akankah Sejalan?

Sementara itu, terdapat lebih banyak lagi daerah yang tutupan hutan alamnya kurang dari 30%. Yaitu Riau (17,7%), Sumatera Selatan (9,31%), Sumatera Utara (22,48%), Jawa Timur (9,29%), Jambi (21,45%), Sulawesi Selatan (29,12%), Jawa Barat (4,8%), Kalimantan Selatan (19,21%), Jawa Tengah (2,87%), Lampung (8,49%), Bangka Belitung (13,45%), Banten (7,78%), Bali (16,61%), D.I.Yogyakarta (0,154%), dan DKI Jakarta (0,44%)

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun beberapa provinsi masih memiliki kawasan hutan di atas 30%, sebagian kawasan sudah tidak memiliki hutan alam hutan alam sehingga persentase hutan alamnya berada di bawah ambang batas minimal tersebut. Celakanya, ketentuan ini justru dihapus di dalam omnibus law.

Deforestasi mengincar hutan alam

Inpres 5 tahun 2019 sejatinya memang memberikan perlindungan bagi hutan alam. Turunan regulasi ini bahkan mengalokasikan 66.087.738,97 hektare hutan alam dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).

Akan tetapi, beberapa klausa dalam omnibus law berpotensi menghilangkan hutan alam yang berada di dalam ataupun di luar PIPPIB. Jika melihat rata-rata deforestasi tahunan di tiap provinsi, maka hingga tahun 2056 setidaknya ada 7 provinsi yang akan kehilangan hutan alam yang belum termaktub dalam PIPPIB. Yaitu Kalimantan Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Aceh, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Tengah.