Salah satu pengalaman traumatis yang masih membekas bagi kebanyakan masyarakat Jogja dan saya khususnya adalah gempa Jogja pada 27 Mei 2006 silam. Gempa ini walaupun tidak berdampak sebesar masyarakat di episentrum gempa, tapi cukup memaksa saya dan keluarga untuk tinggal beberapa malam di bawah tenda pengungsian guna memastikan tiada gempa susulan yang memperparah keadaan.
Sebagai anak ingusan yang masih duduk di bangku SD, emosi ada pada saat itu hanyalah kemarahan pada Tuhan yang mengirimkan bencana yang merepotkan semua orang. Bagaimana tidak, ayah tidak bisa bekerja ke kantor, ibu disibukkan dengan memasak di tenda pengungsian dan pekerjaan lainnya. Yang paling parah adalah harus tidur berdesakan dengan orang-orang sekampung tanpa kasur yang nyaman. Entah ini kualitas memori yang buruk, atau karena beberapa tetangga yang rumahnya rata dengan tanah banyak yang tidak terlihat kembali setelah kejadian itu. Kata Ibu, mereka kembali ke kampung karena kerugian material terlalu besar. Entah apa yang ibu maksud saat itu, saya hanya mengangguk dan pura-pura memahami.
Saat itu keluarga saya cukup beruntung karena bisa kembali menjalani kehidupan normal dan kembali tinggal di rumah setelah kurang dari seminggu mengungsi di bawah tenda. Tapi, bagaimana dengan orang lain yang harus menghabiskan berminggu-minggu di tenda pengungsian? Bagaimana dengan orang-orang yang terkena wabah penyakit yang muncul di pengungsian? Bagaimana nasib para pengungsi akibat bencana alam yang tidak bisa kembali ke rumahnya? Dan juga bagaimana dengan orang-orang yang terdampak bencana alam yang sama berkali-kali – seperti banjir – tapi tidak memiliki pilihan untuk pergi?
BACA JUGA: Sudah Meminta Maaf pada Bumikah Lebaran Tahun Ini?
Bencana alam dimaknai sebagai peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Meski demikian, berbeda dengan gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus yang peristiwanya 100% dipengaruhi oleh kehendak alam, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor, dan masih banyak lagi peristiwa alam lainnya yang tidak tepat untuk dimaknai sebagai bagian dari bencana alam.
Mengingat semakin parahnya kondisi alam di bumi kini berpengaruh pada intensitas bencana tersebut. Tidak heran apabila kemudian muncul istilah bencana hidrometeorologi. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, peristiwa bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya. Beberapa parameter di antaranya adalah peningkatan curah hujan, penurunan curah hujan, suhu ekstrem, cuaca ekstrem, dan lain sebagainya.
Pada tahun 2020 lalu, dunia dibuat terkesima dengan keputusan badan hak asasi manusia PBB atas putusan bahwa pemaksaan seorang untuk kembali ke rumah oleh adoptive country atau negara yang menjadi tempat mereka mengungsi padahal nyawanya terancam, atau dalam bahaya perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat yang disebabkan oleh krisis iklim, merupakan pelanggaran hak dasar yang melekat individu untuk hidup.
Saat itu, Ioane Teitiota, warga negara Kiribati di kepulauan Pasifik yang dideportasi oleh Selandia Baru padahal sedang mencari suaka dikarenakan krisis iklim yang salah satunya mengakibatkan sukarnya mendapatkan akses air bersih untuk minum. Kiribati dan negara-negara Pasifik sendiri menghadapi kemungkinan tenggelam dalam 30 tahun mendatang apabila krisis iklim tidak terkendali dikarenakan kenaikan permukaan air laut.
Meskipun demikian, seseorang tidak perlu menjadi pengungsi iklim hanya karena tempat ia tinggal sedang dalam perjalanan menuju dasar laut. Terpaksa pergi karena ada bencana yang mengharuskan seseorang untuk mengungsi – terutama dengan bencana hidrometeorologi yang menjadikan intensitas bencana menjadi semakin kuat, dapat memasukkan seseorang dalam kategori pengungsi iklim. Menjadi bagian dari kategori pengungsi iklim juga tidak hanya mereka yang harus mencari suaka di negara lain. Berpindah ke lokasi pengungsian dikarenakan kampungnya dilanda bencana mendadak juga dapat menjadikan seseorang disebut sebagai pengungsi iklim. Dipaksa hidup dalam keadaan yang tidak layak seperti Jakarta yang tiap tahunnya dilanda banjir, at some point, juga dapat dikategorikan sebagai pengungsi iklim.
BACA JUGA: Bisakah Indonesia Berhenti Membabat Hutan?
Menurut laporan Pusat Pemantauan Pemindahan Internal (IDMC), tahun 2020 lebih dari 40 juta orang di seluruh dunia terusir dari rumah akibat konflik dan cuaca ekstrem yang memburuk dan menyebabkan badai, banjir kebakaran hutan, kekeringan akibat kenaikan suhu, gagal panen dan akibat lain dari krisis iklim. 80% dari mereka yang terpaksa meninggalkan rumahnya pada tahun 2020 tersebut berada di Asia dan Afrika. Hal yang lebih mencengangkan, mayoritas negara Asia dengan perpindahan penduduk akibat bencana tersebut berada di Cina, India, Bangladesh, Filipina, Indonesia dan Vietnam.
Sayangnya, fenomena perpindahan penduduk akibat bencana hidrometeorologi -yang merupakan akibat krisis iklim- seringkali masih dilihat sebagai kesialan dan ketidaknyamanan atas bencana alam yang terjadi dalam internal suatu negara. Padahal, kehidupan dalam pengungsian itu sangat memprihatinkan.
Keadaan penuh sesak, minimnya privasi, dan kebersihan yang buruk hanya beberapa isu yang terlihat dari pusat-pusat pengungsian. Belum lagi, semakin lama waktu yang dihabiskan di tempat pengungsian, semakin besar pula resiko wabah penyakit yang menghinggapinya serta mengancam mereka yang berada pada kondisi kesehatan yang buruk sebelumnya akan mengancam jiwa. Ditambah lagi dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini, yang tidak akan sanggup untuk hidup dalam pengungsian dan mesti harus waspada supaya tidak tertular.
Jadi, mari kita ingat kembali perjalanan hidup masing-masing. Apakah kita pernah berada pada satu posisi yang mengharuskan kita untuk berpindah tempat tinggal walau hanya sementara akibat bencana hidrometeorologi? Mungkin, salah satu dari kita pernah menjadi bagian dari kategori pengungsi iklim. Dan mungkin, kesadaran bahwa kita pernah menyebut diri sebagai pengungsi iklim ini dapat menjadi bekal untuk bekerja sama menanggulangi krisis iklim supaya tidak ada lagi yang perlu mengungsi karena krisis iklim. [Salma Zakiyah]