Pembangunan dan perkembangan teknologi hingga saat ini tidak hanya memberi manfaat, tetapi juga memberikan efek pada ketersediaan dan kualitas sumber daya alam yang menurun. Bila tidak ada tata kelola yang baik maka keseimbangan alam dan sumber dayanya akan rusak bahkan menimbulkan bencana seperti banjir, kekeringan, longsor, kebakaran hutan dan lahan polusi udara hingga ancaman krisis iklim.
Berbagai tantangan dalam upaya pembangunan yang tetap menjaga keseimbangan alam dan sumber dayanya juga menjadi pekerjaan rumah yang harus menjadi arus utama untuk diselesaikan. Pusat Litbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun menyadari bahwa semakin menyusutnya cadangan bahan bakar fosil, menjaga kelestarian lingkungan, mengurangi defisit transaksi berjalan dari sektor impor migas, dan komitmen kuat untuk memenuhi NDC adalah beberapa argumen utama bagi Indonesia untuk melakukan transformasi energi (salah satu bahan penggerak roda pembangunan).
BACA JUGA: Food Estate Ancam Target Pengurangan Emisi
Fondasi legal transformasi energi ini adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 32/2008 yang mewajibkan pemakaian bahan bakar nabati (BBN) di dalam negeri. Salah satu potensi besar yang bisa dikembangkan untuk mendukung kebijakan ini adalah pengembangan biodiesel berbahan baku sawit (Crude Palm Oil). Pemerintah bahkan telah mencanangkan B30 pada 2020 akhir, B50 pada 2021, dan B100 pada 2022.
Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang berhasil mengimplementasikan B20 dengan bahan baku utama kelapa sawit. Tujuan implementasi Program Mandatori BBN sebagai berikut: 1) Memenuhi komitmen Pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dari BAU pada 2030; 2) Meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi; 3) Stabilisasi harga CPO; 4) Meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit; 5) Memenuhi target 23% kontribusi EBT dalam total energy mix pada 2025; 6) Mengurangi konsumsi dan impor BBM; 7) Mengurangi emisi GRK; dan 8) Memperbaiki defisit neraca perdagangan.
Namun rencana pemerintah mengembangkan biodiesel berbasis sawit memunculkan kekhawatiran publik. Pengembangan biodiesel dipandang berisiko meningkatkan kebutuhan lahan sawit dari konversi kawasan hutan yang justru akan meningkatkan emisi.
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan life cycle analysis, emisi yang dihasilkan dari biodiesel kelapa sawit di Indonesia adalah 1.258 kg CO2/kWh. Penghitungan emisi ini meliputi emisi dari konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, penggunaan biodiesel untuk pembangkit listrik, serta penyerapan CO2 dari batang kelapa sawit yang tidak ditebang. Pembukaan lahan menyumbang sekitar 92% dari total emisi sementara itu, rata-rata emisi dari bahan bakar fosil (batubara) adalah 1.057 kg CO2/kWh.
Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (FE- UI) juga menyebutkan bahwa meningkatnya kebutuhan BBN menimbulkan risiko terhadap degradasi lingkungan. Sebagai dampak dari kebijakan B30, Kementerian ESDM mengestimasi kebutuhan BBM pada 2020 meningkat sebesar 45% , menjadi 9,6 juta kilo liter dari 6,6 juta kilo liter yang dibutuhkan untuk mendukung program B20 pada tahun 2019. Akibatnya kondisi tersebut berpotensi mendorong kegiatan ekspansi lahan kelapa sawit yang dianggap memberikan efek negatif berlipat ganda terhadap peningkatan emisi karbon. Konversi hutan menjadi perkebunan dan rawa gambut yang dikeringkan akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah yang tinggi, terancamnya eksistensi habitat satwa liar dan berpotensi menimbulkan polusi dari pelaksanaan perkebunan yang tidak mengikuti good agricultural practices (GAP).
Berbagai studi menemukan bahan bakar minyak dari sawit bisa memproduksi emisi karbon lebih banyak daripada bahan bakar fosil. Hutan Indonesia dengan luasan 94,1 juta hektare memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa dan berfungsi sebagai penyimpan karbon dioksida (CO2). Lahan gambut juga sangat kaya akan karbon (theconversation.com, 30 Oktober 2020).
BACA JUGA: Silang Sengkarut Izin Sawit Tehadap Izin Lainnya
Ketika lahan diubah menjadi kebun sawit, karbon akan terlepas ke udara. Pada tahun 2014, lebih dari setengah emisi karbon Indonesia muncul dari perusakan hutan dan perubahan penggunaan lahan.
Ketika produksi sawit meningkat setiap tahun, dari 26 juta ton di tahun 2012 menjadi hampir 46 juta ton di 2016, pembukaan hutan meningkat juga. Di Kalimantan, 50% deforestasi antara tahun 2005 dan 2015 terkait dengan pengembangan kelapa sawit.
Untuk mencegah dampak buruk dari pengembangan biodiesel dari sawit ini, kiranya pemerintah perlu mendorong usaha diversifikasi bahan baku bioenergi lain yang berkelanjutan seperti sisa sampah perkebunan, minyak goreng bekas (jelantah) dan bahan baku nabati lainnya sebagai substitusi penggunaan bahan bakar fosil.
Selain itu tidak membuka lahan baru tetapi lebih meningkatkan produktivitas sawit dengan dilakukan dengan penggunaan pupuk, pestisida dan benih berkualitas tinggi, memperbaiki irigasi, hingga menebang pohon tua dan menanam yang yang baru. Pemerintah juga harus menutup celah dari moratorium sawit, mengkaji izin saat ini (seperti dimandatkan oleh moratorium sawit), dan mengambil langkah hukum untuk melawan perluasan perkebunan yang dilakukan secara ilegal.
Legislasi juga harus mendorong transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan bagi kelompok yang terdampak. Informasi tentang izin konsesi merupakan kepentingan publik, maka pemerintah harus merilis semua data tentang konsesi yang ada, sejalan dengan putusan Mahkamah Agung. Pemerintah juga harus memastikan subsidi untuk sektor minyak sawit bermanfaat bagi orang miskin dan banyak orang, bukan perusahaan dan pemegang saham.(Diolah dari berbagai sumber)