Sektor kehutanan dan penggunaan lahan merupakan sektor terbesar penyumbang emisi karbon Indonesia terutama disebabkan karena deforestasi, dekomposisi gambut, serta kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi. Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, alih fungsi dan kebakaran hutan menyumbang emisi sebesar 670 juta ton karbondioksida (CO2) atau yang terbesar diantara sektor energi, pertanian, limbah, serta industri dan penggunaan produk. Sedangkan studi dari World Resources Institute menyebutkan bahwa pada 2012 alih fungsi dan kebakaran hutan menyumbang emisi sebesar 695 juta ton karbondioksida (CO2).

Alih fungsi dan kebakaran hutan di Indonesia sendiri selalu diidentikkan dengan sawit. Hal ini tak heran mengingat salah satu faktor terbesar penyebab alih fungsi hutan adalah ekspansi perkebunan sawit (Busch, 2015). Selain itu, penelitian Yayasan Madani Berkelanjutan juga menunjukkan bahwa lebih dari satu juta hektare kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada  2019 erat kaitannya dengan keberadaan izin konsesi perkebunan sawit.

Oleh karena itu, salah satu kebijakan progresif yang dibuat pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah melalui Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Izin Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau dikenal sebagai Inpres Moratorium Sawit. Kebijakan yang akan habis pada September tahun 2021 ini memiliki beberapa ketentuan yang dapat membantu Indonesia mencapai komitmen iklimnya di tahun 2030.

Pertama, Inpres Moratorium Sawit mengamanatkan adanya penundaan pemberian izin sawit sementara. Amanat ini dapat menghentikan ekspansi sawit pada hutan alam maupun lahan gambut yang tersisa sehingga dapat mencegah deforestasi, kebakaran hutan, dan dekomposisi gambut. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018 menunjukkan bahwa terdapat 12,8 juta hektare kawasan hutan yang diklasifikasikan sebagai Hutan Produksi Konversi (HPK) yang secara legal dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Rinciannya, dalam HPK tersebut, terdapat 6,3 juta hektare yang merupakan tutupan hutan alam dan dapat diselamatkan oleh kebijakan Moratorium Sawit.

BACA JUGA: Perbaiki Tata Kelola Sawit di Indonesia untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia 

Selain itu, potensi dorongan ekspansi sawit berupa kebijakan biodiesel juga dapat dicegah oleh kebijakan Moratorium Sawit. Studi LPEM FEB UI (2020) menunjukkan dengan berbagai skenario (B20, B30, hingga B50) pada tahun 2025 diprediksi ada kebutuhan ekspansi lahan baru untuk sawit. Skenario B20 menunjukkan pada 2025 lahan baru yang dibutuhkan sekitar 338 ribu hektare, berikutnya B30 membutuhkan lahan baru sekitar 5,2 juta hektare, dan terakhir B50 membutuhkan lahan baru paling besar sekitar 9,2 juta hektare.

Kedua, kebijakan ini menginstruksikan adanya evaluasi perizinan perkebunan sawit yang telah diberikan. Hal ini dapat menjadi cara melindungi hutan alam yang ada pada izin sawit. Kajian Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan 3,4 juta hektare tutupan hutan alam yang berada pada izin sawit dan berpotensi diselamatkan oleh kebijakan Inpres Moratorium Sawit. Beberapa daerah juga telah menjadikan kebijakan ini sebagai dasar hukum untuk melakukan evaluasi izin sawit di daerah. Contohnya Provinsi Papua Barat yang mampu melakukan evaluasi perizinan kepada 24 perusahaan dengan total luasan izin mencapai 576.090,84 hektare dan berpotensi untuk menyelamatkan tutupan hutan alam seluas 383.431,05 hektare di provinsi tersebut.

Ketiga, kebijakan ini dapat mendukung aspek keberlanjutan dari sawit Indonesia khususnya terkait dukungan implementasi sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Kriteria dalam persyaratan ISPO sendiri adalah penerapan Good Agriculture Practices (GAP) yang artinya penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan wajib diterapkan dalam operasionalisasi perkebunan sawit. Sayangnya, kriteria yang baik ini sendiri terhalangi oleh masih minimnya pelaksanaan sertifikasi ISPO oleh pelaku usaha, terutama oleh smallholders yang menghadapi permasalahan legalitas lahan. Inpres Moratorium Sawit memiliki instruksi untuk melakukan percepatan legalitas lahan bagi smallholders sehingga pelaksanaan percepatan implementasi sertifikasi ISPO dapat dilakukan dan berimbas pada perbaikan tata kelola sawit. Tentunya, perbaikan tata kelola sawit ini juga dapat membantu pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor hutan dan lahan.

Dengan alasan-alasan tersebut, dapat dikatakan bahwa perpanjangan Inpres Moratorium Sawit merupakan salah satu bentuk keberpihakan Pemerintah dalam upaya mencapai komitmen iklim Indonesia. Harapannya, selain perpanjangan implementasi kebijakan ini, Pemerintah juga benar-benar memiliki leadership yang kuat dalam proses implementasinya seperti pemberian acuan pelaksanaan hingga dukungan dana kepada pemerintah daerah serta keterbukaan data bagi publik yang ingin mengakses perkembangan kebijakan ini.