Pemerintah Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim, setidaknya begitu yang dikatakan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate yang diselenggarakan secara virtual pada Kamis, 22 – 23 April 2021.
Namun, banyak pihak menyayangkan statemen tersebut karena komitmen serius tersebut tidak menyertakan komitmen nol emisi atau net zero emission, padahal dunia saat ini sedang berlomba-lomba mencapai nol emisi secepat mungkin. Lihat saja, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Uni Eropa berani memasang target netralitas karbon pada 2050, sedangkan Brazil dan Tiongkok memasang target pada 2060. Lalu Indonesia kapan?
muncul pertanyaan, mengapa tidak ada deadline atau batas waktu menyangkut hal super penting untuk bumi ini? Apa sebenarnya rencana aksi Indonesia untuk merespons krisis iklim termasuk banjir emisi yang menjadi ancaman global.
BACA JUGA: Abai Hutan, UU Cipta Kerja Berpotensi Tingkatkan Deforestasi
Terkait hal ini, Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal mengungkapkan, kunci untuk menetapkan Nol Zero Emission (NZE) yang ambisius ada di tangan Presiden Jokowi. Menurut Dino, saat ini peta diplomatik sudah mulai berubah. Dino khawatir jika Indonesia tidak juga ambisius, bakal mendapat tekanan dari luar negeri. Mengingat, skenario NZE Indonesia ditargetkan tahun 2070.
“Nanti sumber pencerahan untuk Presiden Jokowi untuk climate decision maker ya dari luar. Bukan dari pejabatnya sendiri, karena kita tidak menembus ke beliau,” kata mantan Wakil Menteri Luar Negeri ini.
Dino juga menyayangkan sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang mengusulkan NZE Indonesia di tahun 2070. Menurutnya target itu sangat terlambat dan taruhannya sangat besar bagi bangsa serta generasi muda kita. “Jadi menurut saya bahwa KLHK itu totally disconnected dengan masalah iklim,” ujar Dino.
“Ketika saya mendengar mereka katakan NZE di tahun 2070 sebagai target, waduh saya kecewa tapi tidak heran karena is too expected dengan sikap KLHK yang seperti itu,” ujar Dino.
Sementara itu, Ekonom Senior Emil Salim menyampaikan alih-alih mencapai target net zero emission, Emil mengusulkan agar pemerintah memasang target ambisius net negative emission, alias negatif karbon.
Menurutnya saat ini dunia telah menghasilkan 51 miliar ton gas rumah kaca secara global dan mengakibatkan meningkatnya suhu bumi. Terlebih lagi, ia menekankan bahwa emisi gas rumah kaca yang terperangkap dapat bertahan hingga ribuan tahun lamanya.
“Maka strategi untuk nol karbon gas rumah kaca tidak cukup. Dia hanya menunda meledaknya dampak gas rumah kaca itu. Maka gas kaca rumah kaca harus berkurang menjadi nol untuk kemudian diturunkan,” papar Menteri Lingkungan Hidup periode 1978-1993 ini.
Dikutip dari liputan6.com, Presiden Joko Widodo menyampaikan tiga poin dalam pidatonya di Leaders Summit on Climate. Pertama, Presiden Jokowi menyebut Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata. Sebagai negara kepulauan terbesar dan pemilik hutan tropis, penanganan perubahan iklim adalah kepentingan nasional Indonesia. Ia mengklaim, melalui kebijakan, pemberdayaan, dan penegakkan hukum, laju deforestasi Indonesia saat ini turun di titik terendah dalam 20 tahun terakhir.
Kedua, Presiden Jokowi mengajak para pemimpin untuk memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Menurut Presiden, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contributions/NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.
BACA JUGA: Bagaimana Kepala Daerah Terpilih Bisa Berkontribusi untuk Pencapaian NDC?
Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, Presiden Jokowi memandang bahwa kemitraan global harus diperkuat. Kesepahaman dan strategi perlu dibangun di dalam mencapai net zero emission dan menuju UNFCCC COP-26 Glasgow. Indonesia mengaku sedang mempercepat pilot percontohan net zero emission, antara lain dengan membangun Indonesia Green Industrial Park seluas 12.500 hektar di Kalimantan Utara yang akan menjadi yang terbesar di dunia.
Tidak lupa, Dino pun berharap konsep net zero dapat menjadi suatu jargon publik dan politik yang merakyat.
”Sudah waktunya kita mengusung nasionalisme iklim, yaitu di mana kecintaan dan kebanggaan kita terhadap bangsa Indonesia bersatu padu dengan perjuangan yang gigih untuk mencegah ancaman perubahan iklim terhadap masa depan Indonesia,” tutup Dino. [Diolah dari berbagai sumber]