Yayasan Madani Berkelanjutan menilai pemerintah belum memprioritaskan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai strategi penyelamatan hutan alam dan penurunan emisi gas rumah kaca. Penilaian itu berdasarkan beberapa indikator terhadap isi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2021 di sektor lingkungan hidup.
RKP adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode satu tahun. Dokumen tersebut menjadi acuan bagi kementerian, lembaga dan pemerintah daerah untuk membuat rencana kerja dan anggaran. Sehingga, dokumen RKP penting dikaji untuk melihat sejauh mana pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan.
Hasil kajian Yayasan Madani Berkelanjutan yang dituangkan dalam Menakar Agenda Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Alam dalam RKP 2021, pemerintah hanya memasukkan dua program terkait masyarakat adat yakni penguatan lembaga adat dan program sosialisasi peraturan perundangan terkait tanah adat atau ulayat kepada pemerintah provinsi.
BACA JUGA: Kuatkan Pendampingan Perhutanan Sosial untuk Capai Target NDC
Di satu sisi, proyek sosialisasi tersebut dapat mendorong pemerintah provinsi membuat peraturan daerah terkait masyarakat adat yang belum diakui di daerahnya. Akan tetapi di sisi lain, pemerintah belum menjadikan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai agenda utama dalam RKP 2021.
Padahal RUU Masyarakat Adat sendiri merupakan payung hukum bagi masyarakat adat untuk mendapatkan hak-haknya. Hak tersebut tidak terbatas hanya pada aspek subyek, tetapi juga harus sampai pada pengakuan terhadap objek tanah yang meliputi wilayah adat dan sumber daya alam lain yang terkandung di dalamnya.
RUU Masyarakat Hukum Adat sendiri telah dibahas di DPR RI sejak 2014 namun hingga akhir tahun lalu belum disahkan. DPR RI kembali memasukkan RUU Masyarakat Hukum Adat ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 bersama 32 RUU lainnya.
Indikator berikutnya pemerintah belum menargetkan secara rinci pembagian alokasi distribusi Perhutanan Sosial tahun 2021 seluas 1 juta hektare untuk skema hutan adat. Juga tidak adanya agenda pemetaan wilayah adat dalam RKP 2021 juga akan berdampak pada lambatnya agenda pengakuan masyarakat adat.
Pengakuan masyarakat adat sebenarnya dapat berkontribusi penting untuk memenuhi komitmen iklim Indonesia. Praktik-praktik arif masyarakat adat dalam menjaga hutan adat terbukti mampu melestarikan hutan seluas 574.119 hektare.
BACA JUGA: Capai Target NDC Indonesia dengan Mengurangi Emisi
Seperti diketahui, sesuai dengan Kesepakatan Paris yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016, Indonesia telah berkomitmen untuk berpartisipasi dalam menurunkan emisi global untuk mencegah terjadinya kenaikan suhu global di atas 1,5 derajat Celcius.
Komitmen tersebut sudah dinyatakan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan telah disampaikan ke UNFCCC, badan PBB yang menangani isu perubahan iklim tahun 2016. Dalam dokumen itu, Indonesia menargetkan emisi turun sebesar 834 ton setara CO2 atau sebesar 29 persen pada tahun 2030.
Sektor kehutanan sendiri ditargetkan menurunkan emisi sebesar 17 persen atau sekitar 60 persen dari target penurunan emisi nasional. Dengan demikian, sektor kehutanan menjadi program prioritas dalam usaha pemenuhan target penurunan emisi nasional. Alih fungsi hutan atau deforestasi Indonesia untuk memenuhi target NDC tersebut tidak boleh lebih dari 325.000 hektare per tahun pada periode 2020-2030.
Momentum pengakuan hutan adat mengemuka setelah keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 yang menetapkan hutan adat merupakan hutan milik masyarakat (hutan hak), dan bukan hutan negara.
Pemerintah kemudian memasukkan skema pengakuan hutan adat melalui program Perhutanan Sosial yang secara teknis berjalan melalui Peraturan Menteri LHK No 83 Tahun 2016. Dalam laporan Menteri LHK Siti Nurbaya, sampai Desember 2020, realisasi Perhutanan Sosial mencapai 4,4 juta hektare.
Akan tetapi, realisasi penetapan hutan adat masih cukup kecil yakni seluas 56.903 ha dari Wilayah Indikatif Hutan Adat yang ditetapkan seluas 1.090.754 ha. Program Perhutanan Sosial melalui tata kelola hutan yang lestari dapat berkontribusi untuk menurunkan emisi dan meningkatkan cadangan karbon, sehingga dapat mendorong pencapaian target NDC.
BACA JUGA: Perdagangan Karbon Jangan Abaikan Masyarakat Adat dan Lokal
Selain masyarakat adat yang belum menjadi isu utama, RKP 2021 dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19 yang memengaruhi program lingkungan hidup. Itu terlihat dari target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari 26,29 persen menjadi pada kisaran 25,36-25,93 persen.
Besaran anggaran tahun 2020 untuk aksi mitigasi pembangunan rendah karbon seperti penanaman kembali, pencegahan deforestasi, dan peningkatan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) berkurang, karena pemerintah Indonesia masih memfokuskan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional. Padahal, agar pemulihan ekonomi sejalan dengan pemulihan lingkungan menuju pembangunan ekonomi rendah karbon, pemerintah harus menjalankan praktik green recovery .***