Pandemi Covid-19 berdampak pada sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan krisis iklim, terutama energi dan kehutanan. Karena itu, pertemuan antar negara untuk membahas strategi dunia menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius, Conference of the Parties (COP) 26 Glasgow tahun ini, akan menemui tantangan baru yakni pemulihan ekonomi karena pandemi.
Di sektor energi, pandemi menekan permintaan energi dunia dan diperkirakan masih akan terjadi hingga beberapa tahun ke depan. Konsumsi listrik turun sekitar 5% pada 2020 terutama di negara konsumen utama. Paris Agreement dan pandemi kemudian menjadi momen mempercepat transisi ekonomi dan energi dunia.
Banyak negara-negara industri memberikan komitmen Net Zero Emission-nya dengan transisi ekonomi berbasis karbon ke non karbon. Salah satunya, transisi industri fosil ke energi terbarukan.
BACA JUGA: Jelang COP26, Rencana Bebas Karbon Indonesia Masih Belum Jelas
COP26 Glasgow juga diperkirakan akan fokus pada aksi adaptasi dan mitigasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam konteks kelangsungan hidup umat manusia dan keutuhan ekosistem alam. Karena selama pandemi, perubahan iklim mengalami akselerasi. Berbagai gejala alam saat pandemi, bisa jadi masukan untuk rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Namun sayangnya, ketika UN Emission Gap Report menyatakan pandemi mestinya jadi momentum pemulihan dengan transisi menuju pembangunan rendah karbon, hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Indonesia, seperti yang dikatakan Oxford Recovery Project, Vivid Economics, dan IMF, justru dipenuhi rencana-rencana yang menghasilkan karbon tinggi. Ini terutama karena tak ada safeguard lingkungan yang diatur dalam aturan PEN.
Lihat saja pengucuran triliunan dana PEN untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) untuk menjaga kestabilan industri biodiesel yang menjadi andalan pemerintah beberapa tahun terakhir.
Padahal, alih-alih dinikmati masyarakat terdampak pandemi, minimal petani kelapa sawit, dana ini kemudian hanya menyelamatkan industri milik grup-grup besar industri sawit. Di sisi lain, sikap pemerintah yang terus ‘memanjakan’ bahan bakar nabati dari sawit ini dikhawatirkan memicu pembukaan lahan baru yang membabat hutan alam atas nama investasi.
Begitupun, Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan di tengah pandemi memberikan karpet merah untuk menerabas aturan tertentu, seperti AMDAL, yang dibuat sebagai jaring pengaman lingkungan dan ekosistem.
Studi Yayasan Madani Berkelanjutan menyebutkan, jika Omnibus Law diterapkan, berpotensi menggagalkan Indonesia mencapai target pengurangan deforestasi dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Peta jalan NDC sektor kehutanan, yang utama memang mengurangi deforestasi. Dalam NDC, Indonesia hanya boleh membabat hutan 0,325 juta hektare per tahun sampai 2030.
Namun tak sejalan dengan NDC, di bawah Omnibus Law pemerintah sudah punya rencana yang berpotensi menghilangkan 10,5 juta hektare hutan, di mana setengahnya berada di arahan lindung. Tak heran jika komitmen penghentian pemberian izin baru kemudian dipertanyakan. Seberapa serius pemerintah dengan moratorium ini?
BACA JUGA: Mungkin Sebagian dari Kita Termasuk Pengungsi Iklim
Jika memang ini akan dijadikan ‘jalan ninja’ untuk mencapai target NDC, mestinya penghentian pemberian izin baru, diperluas, tak hanya untuk hutan alam primer dan gambut tapi juga hutan alam di luar area moratorium.
Selain PEN, dimasukkannya pengembangan infrastruktur Proyek Strategis Nasional (PSN), ketahanan pangan (food estate) dan energi ke dalam kriteria hutan produksi yang dapat dikonversi, juga akan akan meningkatkan risiko deforestasi yang dapat mengancam pencapaian target NDC Indonesia di sektor kehutanan.
Karena itu PEN perlu diselaraskan dengan pembangunan rendah karbon dan komitmen iklim Indonesia. PEN harus diprioritaskan untuk transisi menuju pembangunan rendah karbon dan diberikan untuk proyek pemulihan lingkungan yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti energi bersih, restorasi gambut, restorasi mangrove, reklamasi pasca tambang, rehabilitasi lahan kritis, dan perhutanan sosial.
PSN, juga perlu dipastikan tidak menyebabkan kerusakan hutan alam dan kawasan lindung, di samping, penegakan hukum yang tegas untuk pelaku pembakaran hutan. Jika akan memakai Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sebagai salah satu ‘jalan ninja’ lainnya, pemerintah harus fokus pada basis kinerja baik bagi daerah atau masyarakat yang menjaga hutan.
Bagaimana dengan mitigasi?
Mitigasi bisa dilakukan dengan percepatan dan penguatan aksi seperti restorasi gambut dan mangrove, penanganan degradasi hutan, percepatan perhutanan sosial, pencegahan illegal logging dan kebakaran hutan dan lahan.
Namun semua rencana ini tak akan ada artinya tanpa sinkronisasi regulasi dan program antar kementerian dan lembaga, serta integrasi kebijakan dan target iklim dalam rencana pembangunan baik di pusat dan daerah.
Menjelang COP26 mendatang Indonesia perlu mengevaluasi program-program sebelumnya. Tak dipungkiri, dan perlu diapresiasi, sudah ada hasil konkret berupa pengurangan karhutla dan penurunan deforestasi. Ke depan Indonesia mestinya bisa membuat aksi nyata kolaboratif, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
BACA JUGA: Bisakah Indonesia Berhenti Membabat Hutan?
Nyata, dalam artian tidak menyelimuti upaya pemulihan pasca pandemi dengan kegiatan ekonomi yang mengacuhkan pertimbangan krisis iklim dan penyelamatan lingkungan.
Agenda berikutnya yakni memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar pangan, energi dan air secara berdaulat, bukan dengan Food Estate, yang tidak saja sudah dibidik oleh korporasi besar, namun juga mengancam hutan alam dan gambut.
Jangan lupa, tugas negara adalah menciptakan kerangka kebijakan yang memudahkan terwujudnya aksi nyata sampaitingkat daerah. Dengan demikian terbangun ketahanan iklim di tingkat lokal yang kumulatif dan kemudian menjelma menjadi ketahanan nasional.
Catatan tambahan, semua transisi energi juga mesti terdesentralisasi dalam skala kecil sesuai kebutuhan daerah. Ini bisa dilakukan dengan pengembangan mini grid berbasis energi bersih.
Optimalisasi sektor energi untuk ketahanan iklim, selain bisa dilakukan dengan akselerasi pengembangn energi terbarukan, juga bisa dengan program voluntary carbon cap and trade, serta program hemat energi. Semoga catatan ini memiliki tempat di COP26 mendatang.