Rencana pemerintah untuk menetapkan tarif atas emisi karbon melalui pengenaan pajak karbon (carbon tax), tentu merupakan angin segar dalam upaya menekan laju krisis iklim dunia. Kabar gembira ini juga dapat diartikan sebagai sinyal bahwa pemerintah semakin optimis untuk mencapai target komitmen iklim Indonesia secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).

Diketahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang mengharuskan Indonesia untuk mengurai dan mengkomunikasikan aksi ketahanan iklim pasca-2020 dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional atau yang dikenal dengan NDC dan diserahkan kepada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC).

Dalam dokumen NDC, pemerintah Indonesia memasang target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.

Oleh karena itu, dengan penerapan pajak karbon, upaya untuk mencapai target dari NDC Indonesia tidak lagi pesimis. 

Lantas Apa Sebenarnya Pajak Karbon Itu?

Dilansir dari News DDTC, MERUJUK IBFD International Tax Glossary (2015), pajak karbon (carbon tax/energy tax/CO2 tax) secara umum adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Pajak ini dikenakan dengan tujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.

Sebagian besar pajak karbon berbentuk cukai, baik sebagai sumber penerimaan umum maupun dialokasikan untuk tujuan tertentu. Misalnya, cukai atas minyak mentah dan produk minyak untuk mengatasi kerusakan dari tumpahan minyak bumi. Kemudian, Glossary Statistical Terms OECD menyebut bahwa pajak karbon adalah instrumen internalisasi biaya lingkungan. Pajak karbon merupakan cukai yang dikenakan bagi produsen bahan bakar fosil berdasarkan kandungan karbon dari bahan bakar tersebut.

Sementara itu Oxford Reference mengartikan pajak karbon sebagai pajak atau biaya tambahan atas penjualan bahan bakar fosil (minyak, batu bara, dan gas) yang bervariasi sesuai dengan kandungan karbon pada setiap bahan bakar.

Pajak ini dirancang untuk mencegah penggunaan bahan bakar fosil dan mengurangi emisi karbon dioksida. Berdasarkan Cambridge Dictionary, pajak karbon adalah pajak atas penggunaan bahan bakar yang menghasilkan gas yang merusak atmosfer (campuran gas di sekitar bumi).

Ian Parry (2019) mendefinisikan pajak karbon sebagai pungutan atas kandungan karbon pada bahan bakar fosil. Alasan utama pengenaan pajak karbon adalah pajak ini dianggap sebagai alat yang efektif untuk memenuhi komitmen mitigasi emisi domestik.

Rencana Tarif Pajak Karbon Indonesia

Dilansir dari Katada.co.id, rencananya, tarif pajak karbon akan dikenakan sebesar Rp 75 ribu per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan yang setara. Berdasarkan draf Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Pajak karbon harus dibayarkan pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lainnya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. 

Karbon dioksida ekuivalen (CO2e) merupakan representasi emisi gas rumah kaca antara lain senyawa karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), dan metana (CH4). Sedangkan, yang dimaksud dengan setara adalah satuan konversi karbon dioksida ekuivalen (CO2e) antara lain ke satuan massa dan satuan volume. Ketentuan mengenai penetapan dan perubahan tarif pajak karbon, penambahan objek pajak yang dikenai pajak karbon selain yang sudah tertera diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.

Indonesia Cocok Dengan Pajak Karbon

Dilansir dari Kontan.co.id, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai penerapan pajak karbon pada dasarnya cocok diterapkan di Indonesia. Dia menjabarkan beberapa alasan yang mendukung pernyataannya tersebut. 

Pertama, menurut Dana Moneter Internasional (IMF) dan OECD, di tengah tekanan penerimaan pajak akibat pandemi, pajak karbon bisa jadi salah satu opsi kebijakan yang bisa diterapkan sebagai salah satu sumber penerimaan. “Sifatnya, jika didesain secara ideal, juga tidak terlalu mendistorsi proses pemulihan ekonomi,” ujar Darussalam kepada Kontan.co.id, Minggu (23/5). 

Kedua, pajak karbon berorientasi bagi mitigasi perubahan iklim dan menjadi instrumen untuk melindungi lingkungan. Sifatnya yang mengurangi eksternalitas negatif, selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. 

Ketiga, sudah banyak negara yang menerapkan pajak karbon, setidaknya 25 negara, seperti Kanada, Ukraina, Jepang, Prancis, Chile, dan lain-lain dan penerapan pajak ini bahkan telah berhasil mengurangi emisi karbon. “Sebagai contoh Swedia yang telah menerapkan pajak ini sejak 1995 telah berhasil menurunkan tingkat emisi karbonnya sebesar 25%,” tambah Darussalam. Kemudian, Darussalam berpesan agar pemerintah tak perlu buru-buru bicara mengenai tarif. 

Tarif Pajak Karbon Indonesia

Dikutip dari CNBC Indonesia, pemerintah menetapkan rencana tarif pajak karbon minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. 

Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, usulan besaran pajak karbon minimal Rp 75 per kg tersebut masih jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan Lembaga Pendanaan Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF).

Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35 – US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 – Rp 1,4 juta (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) per ton.

Fabby juga menyarankan agar harga karbon disesuaikan dengan target untuk mencapai emisi nol (net zero emission) Indonesia pada 2050 dan kebutuhan investasi untuk melakukan transformasi sistem energi menuju net zero emission.

Dia pun meminta agar pajak karbon ini tidak hanya semata-mata untuk menambal APBN, karena tidak efektif dan tidak sesuai dengan tujuannya untuk mengurangi emisi karbon.

Jangan kebijakan pajak karbon semata-mata hanya untuk menambal APBN tapi tidak efektif. Ini artinya hanya akan membebani rakyat saja, tapi manfaat sosial dan lingkungan dari penerapan pajak karbon tersebut tidak dapat diraup,” tegas Fabby. 

Pajak Karbon dapat dikatakan sangat tepat untuk diterapkan dan tentunya cocok di Indonesia, namun, tentu saja dampak pajak karbon terhadap kenaikan harga barang patut untuk diwaspadai. Hal ini berarti pemerintah Indonesia perlu menyiapkan kebijakan yang kuat serta safeguards terlebih dahulu. (*)