Setelah menandatangani Kesepakatan Paris pada 2016 sebagai respon terhadap dampak perubahan iklim, Pemerintah Indonesia telah mengirimkan dokumen komitmen negara untuk mendukung aksi terkait perubahan iklim. Dokumen bernama Nationally Determined Contribution (NDC) disampaikan ke Badan PBB United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 

Dalam NDC, Indonesia diberi target menurunkan emisi 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional. Indonesia juga wajib lapor berkala, mulai dari aksi mitigasi, adaptasi, penurunan yang terjadi, perpindahan reduksi emisi internasional, dukungan aksi yang telah diterima dan hal lain yang diperlukan ke depannya. 

Dalam peta jalan NDC adaptasi perubahan iklim yang diterbitkan Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lima sektor yang harus ikut menurunkan emisi adalah kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, serta pertanian. 

BACA JUGA: Menanti Perpres Nilai Ekonomi Karbon yang Mumpuni

Sederhananya, NDC menjadi referensi bagaimana adaptasi akan dilakukan. Didalamnya ada Rencana Aksi Nasional (RAN) yang memuat program lebih rinci secara teknis dalam berbagai sektor. 

Kenaikan suhu bumi akibat perubahan iklim berdampak pada alam dan manusia termasuk kualitas dan kuantitas air, habitat, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir. Tujuan NDC adalah mengurangi risiko. Dengan adanya NDC, masyarakat diharapkan lebih bisa menyesuaikan diri, lebih tahan dan tidak rentan terhadap perubahan iklim. 

Bagaimana caranya? Mula-mula dengan memperbanyak literasi iklim. Lalu menguatkan kapasitas lokal, meningkatkan manajemen pengetahuan dan kebijakan yang fokus pada adaptasi perubahan iklim yang akhirnya bisa mengurangi risiko bencana. 

Adaptasi merupakan kelanjutan dari mitigasi. Idealnya, mitigasi dapat menekan pemanasan global dan perubahan iklim yang berdampak pada kebutuhan dasar makhluk hidup.  Dalam Undang-Undang no 16 tahun 2016 indikator penilaian dampak yang disepakati adalah dampak perubahan iklim terhadap pemenuhan produksi kebutuhan dasar hidup manusia yang dicerminkan dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. 

Kejadian perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung, telah berkontribusi terhadap memburuknya perekonomian nasional. Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan perubahan iklim di Indonesia dapat berdampak hingga 3,5% PDB Nasional pada tahun 2100.

Karena itu dalam RPJMN 2020-2024, perubahan iklim telah menjadi prioritas pembangunan. Target utamanya mengurangi kerugian akibat dampak bencana dan bahaya iklim terhadap PDB sebesar 0,35% di tahun 2024. 

BACA JUGA: Andalan Dalam NDC, Sektor Kehutanan Masih Banyak Tekanan

Sehingga pada akhirnya, seluruh komponen dalam adaptasi NDC diarahkan agar dapat berkontribusi terhadap pencapaian target NDC 2030. Kontribusi ini kemudian hendaknya bisa berperan untuk ketahanan ekonomi, sosial, sumber penghidupan, ekosistem dan lanskap.

Aksi adaptasi idealnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Karena itu peta jalan NDC memuat mulai dari perencanaan. literasi, tata ruang, teknologi, partisipasi, manajemen, kapasitas, kebijakan. National Focal Point-nya adalah KLHK. Namun dokumen NDC juga seyogianya diimplementasikan baik pemerintah maupun non-pemerintah. 

Dalam dokumen NDC, estimasi kebutuhan pendanaan untuk menjalankan masing-masing strategi dalam peta jalan adaptasi mencapai Rp12,84 triliun. Kebutuhan terbesar untuk strategi penerapan teknologi adaptif yaitu 27,19%, sedangkan paling sedikit perumusan kebijakan dan penguatan komitmen sebesar 2,24%.

Pendanaan perubahan iklim yang disediakan untuk negara berkembang seperti Indonesia dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu dana publik dan dana swasta, baik dari kerjasama bilateral maupun multilateral, termasuk dari sumber-sumber alternatif lainnya.

Pemerintah, berupaya menerapkan kebijakan inovasi pendanaan, misal dengan carbon pricing dan green sukuk melalui Badan Layanan Umum Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Bagaimana penerapannya? 

Hingga akhir September 2o20, Climate Action Tracker (CAT) masih memasukkan Indonesia dalam kategori highly insufficient. Kategori ini menunjukkan suatu negara tak sepenuhnya konsisten untuk mencegah pemanasan dibawah 2 derajat celcius. Jika semua negara masuk dalam kategori ini, maka pemanasan global akan mencapai 3-4 derajat celcius.

Menurut CAT program pemulihan pemerintah Indonesia belum mendukung pilihan rendah karbon karena masih berpijak pada pembangkit listrik batubara.

Sementara Walhi menilai, jika menggunakan konsep keadilan iklim, proyeksi pembangunan rendah karbon Indonesia mencerminkan bahwa Indonesia belum memiliki target puncak emisi. 

BACA JUGA: Untuk Capai Target NDC, Tiga Kelembagaan Perlu Dibentuk di Daerah

Emisi Indonesia hanya akan turun hingga tahun 2030 dan akan terus meningkat secara signifikan bahkan hingga tahun 2045. Menurut Walhi, kebijakan iklim yang saat ini dimiliki Indonesia belum memasukan unsur keadilan antar generasi sebagai faktor utama dalam penyusunan kebijakan iklim. 

Namun program hutan dan perubahan iklim Yayasan Madani Berkelanjutan masih memberi harapan dan optimisme. Sejak tahun 2016 Yayasan Madani mencoba melihat bagaimana transformasi hubungan pemangku kepentingan untuk mencapai target penurunan emisi yang efektif, inklusif, dan akuntabel di sektor kehutanan. 

Dengan pemantauan berkala mengenai kebijakan penurunan emisi di sektor kehutanan yang saat ini terangkum dalam target NDC, Madani secara singkat meringkas kebijakan pemungkin dalam mencapai NDC yang telah dikeluarkan dalam 3 tahun terakhir. Upaya penerbitan regulasi pemungkin bagi mitigasi sumber utama emisi GRK juga tidak hanya bersumber dari dan lembaga yang membidangi urusan lingkungan hidup dan kehutanan saja.

Memang berbagai data yang disampaikan oleh pemerintah belum sepenuhnya menunjukkan konsistensi tersebut. Emisi Indonesia memiliki kecenderungan untuk selalu turun dan naik secara drastis, terutama karena pengaruh kebakaran hutan dan lahan yang masih terjadi.

Oleh karena itu, Indonesia masih perlu memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim dari sektor hutan dan lahan melalui upaya bersama antara berbagai pihak untuk menghasilkan program pengurangan emisi yang solid dan terintegrasi. Bila tren pengurangan emisi dapat secara konsisten mengikuti tingkat pengurangan seperti tahun 2017 dan stabil terjadi secara terus menerus, maka Indonesia berada pada jalur yang benar untuk mencapai target NDC tahun 2030.  Apakah Indonesia bisa?