Virus Corona atau yang lebih tepat disebut dengan Covid-19, benar-benar berhasil menggegerkan dunia karena membuat jutaan orang terpapar dan juga membuat babak belur perekonomian. Worldometers mencatat angka kasus positif Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai 2,481,528 pasien, pada 21 April 2020, pukul 11.00 WIB. Dari 2,48 juta kasus tersebut, 170,439 pasien positif Covid-19 telah meninggal dunia. Sedangkan jumlah pasien positif Covid-19 yang sudah berhasil sembuh mencapai 647,739 orang.
Dari sisi ekonomi, penyebaran COVID-19 yang semakin masif membuat perekonomian global terjun bebas. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut kondisi ekonomi dunia saat ini merupakan yang terparah sejak 1930 silam. IMF juga menyebut risiko resesi ekonomi juga berpotensi terjadi hingga 2021 jika pemangku kepentingan di berbagai negara gagal merespon pandemi ini dengan kebijakan yang tepat.
Demi bertahan dari pelemahan yang kian menakutkan, banyak negara di dunia dipaksa untuk mampu meracik antivirus untuk menahan ancaman kesehatan sembari menjaga ritme dari nafas perekonomian yang semakin sesak. Tentu tidak ada kata mati akal dalam menghadapi Covid-19 jika dunia ingin selamat dan cepat menuntaskan kasus ini.
Kendati dunia kian sesak karena Covid-19, namun tidak dengan bumi kita yang semakin lega karena udaranya semakin segar hari demi hari. Perlu diketahui bahwa saat ini bumi yang kita tempati sedang mengalami pembersihan udara secara menyeluruh.
Tidak dapat dimungkiri, penyebaran Covid-19 yang begitu masif berbanding lurus dengan penurunan polusi udara di dunia. Berdasarkan laporan BBC terkait dengan hasil riset para peneliti di New York (29/3/2020) mengenai kualitas udara, tercatat bahwa karbon monoksida, terutama yang berasal dari kendaraan bermotor khususnya mobil, berkurang hampir 50% dibandingkan dengan tahun lalu. Menurunnya aktivitas ekonomi global bersamaan dengan peningkatan intensitas paparan pandemi Covid-19, disinyalir menjadi salah satu pemicu membaiknya kualitas udara dunia. Ketika aktivitas mengemisi manusia berkurang khususnya terkait dengan pemanfaatan energi maupun transportasi, bersamaan dengan itu pula penurunan emisi dan gas rumah kaca (GRK) terjadi dengan sangat cepat.
Membaiknya kualitas udara juga telah dirasakan warga Ibu Kota DKI Jakarta sejak anjuran bekerja dari rumah digaungkan pemerintah. Kualitas udara yang membaik tersebut, ramai diabadikan oleh masyarakat dengan mengambil gambar langit ibu kota yang tampak biru dan bersih seolah bebas dari polusi. Pemandangan Indah tersebut tentu terbilang langkah bagi penduduk ibu kota yang biasanya bergelut dengan polusi udara yang cukup mengkhawatirkan.
Bukan hanya itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga menyatakan kualitas udara di wilayah Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Kalimantan, dan pulau Jawa jauh lebih bersih pada Maret 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto juga menyebutkan hal yang sama. Siswanto mengatakan, kualitas udara lebih bersih pada Maret tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini tidak lain disebabkan oleh emisi gas buang transportasi dan industri yang berkurang drastis.
Faktanya, Covid-19 telah menghilangkan kejenuhan bumi akan polusi yang semakin mengkhawatirkan menjadi semangat baru karena udaranya semakin membaik. Agaknya tepat jika momentum hari bumi tahun ini dijadikan bahan pembelajaran dan juga titik balik iklim dunia karena Covid-19.
Selama ini, perbaikan dari kualitas iklim dapat dikatakan sebagai sebuah impian utopis karena terkesan mustahil untuk diwujudkan. Di saat laju polusi dunia seolah tidak tertahankan, lemahnya komitmen serta ego sektoral yang begitu kuat menjadi persoalan. Daya ledak krisis iklim yang begitu menakutkan, nyatanya tidak mampu menggerakkan banyak negara untuk melakukan upaya lebih dalam menahan laju krisis iklim yang kian menjadi-jadi.
Salah satu prediksi teranyar terkait dengan krisis iklim datang dari World Economic Forum dengan riset yang berjudul Global Risks Perception Survey 2019-2020. Riset ini menyebut bahwa isu lingkungan khususnya yang terkait dengan iklim akan menjadi penghambat ekonomi secara global. Isu tersebut yakni, cuaca ekstrim (extreme weather), gagalnya aksi iklim (climate action failure), bencana alam (natural disaster), hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), dan bencana lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (human-made environmental disasters).
Bukan hanya itu, masyarakat dunia pun dihadapkan dengan tantangan kesehatan baru dari dampak krisis iklim. Perkembangan virus yang semakin beragam adalah bukti bahwa masyarakat akan terus dihantui beragam risiko kesehatan di kemudian hari.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga sempat merilis sebuah laporan yang berjudul “Climate Change and Human Health – Risks and Responses” (2003) yang menyebut krisis iklim akan berdampak kepada kesehatan manusia yang terpapar langsung dari perubahan cuaca secara ekstrim. Alhasil, gangguan kesehatan yang beragam seperti trauma, kekurangan gizi, gangguan psikologis, sampai kemungkinan munculnya virus-virus baru seperti Covid-19 menjadi hal konsekuensi yang harus diterima dari krisis iklim dunia.
Fenomena Covid-19 yang menjadi momok menakutkan saat ini, seharusnya mampu membentuk kesadaran alami publik secara global, bahwa dalang dari permasalahan yang timbul saat ini adalah krisis iklim yang semakin nyata. Oleh karena itu, kepedulian terhadap lingkungan tidak dapat dianggap sepele sehingga komitmen mengelaborasinya tidak dapat ditunda-tunda lagi. #2020FollowHutan #MelawanCovid-19 #MelawanCorona #TitikBalikIklimDunia