Seperti yang kita ketahui bahwa sektor kehutanan merupakan sektor yang sangat penting dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia, karena penurunan emisi GRK sebesar 17,2% dari 29% ditargetkan dari sektor kehutanan. Berbagai kebijakan seperti inpres moratorium hutan dan lahan gambut, restorasi gambut, rehabilitasi lahan kritis dan program Perhutanan Sosial terus didorong untuk dapat mencapai target penurunan emisi Indonesia. Salah satu kebijakan dan program prioritas Perhutanan Sosial sudah dicanangkan oleh KLHK melalui Ditjen PSKL seluas 12,7 hektare. Perhutanan Sosial ini menjadi target aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun begitu, dari 2015-2019, capaian dari Perhutanan Sosial belum dapat dinilai kontribusinya dalam penurunan emisi GRK atau pencapaian komitmen iklim Indonesia. Oleh sebab itu, pada 2019, Yayasan Madani Berkelanjutan kerja sama dengan Yayasan Climate and Society melakukan suatu kajian untuk menghitung berapa besar kontribusi Perhutanan Sosial untuk mencapai target komitmen Iklim Indonesia dan juga melihat bagaimana peran dari Perhutanan Sosial dalam menekan deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan serapan karbon di dalam kawasan hutan dan mengurangi emisi dari lahan gambut melalui kegiatan restorasi.
Lokasi Kajian
Kajian ini tidak dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, namun dilakukan pemilihan lokasi studi dengan melihat beberapa kriteria, di antaranya adalah kondisi perubahan tata guna lahan dan tutupan hutan, kemajuan dan karakteristik program PS, ketersediaan dan kemudahan akses data. Data yang digunakan meliputi luas KPH menurut tingkat risiko emisi, jumlah unit PS yang sudah diberikan izin sampai 2019, luas capaian PS dan jumlah kepala keluarga yang terlibat dalam PS. Dari empat data tersebut, maka didapati Sumatera Barat yang memiliki skor tertinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia (Gambar 1).
Gambar 1. Pemerolehan skor untuk seluruh provinsi di Indonesia
Karena kajian ini masih kajian awal, maka kami memilih satu KPH (Kesatuan Pengeloaan Hutan) yang ada di Sumatera Barat. Walaupun kita tahu bahwa Sumatera Barat memiliki jumlah KPH sebanyak 10 wilayah. Dalam penentuan lokasi KPH ini, melibatkan dan konsultasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat dan disepakati KPH Bukit Barisa dengan 3 lokasi PS yang mencakup:
- Kelompok Tani Hutan (KTH) Putra Andam Dewi – Sungai Nyalo Mudiak Air, Kabupaten Pesisir Selatan,
- Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh, Kabupaten Padang Pariaman (Hutan Desa / Hutan Nagari),
- LPHN Gamaran, Kabupaten Padang Pariaman (Hutan Desa / Hutan Nagari – sedang proses izin).
Untuk ketahui saja, tiga lokasi PS tersebut di atas merupakan bekas kawasan illegal logging di mana pendapatan masyarakatnya bergantung dengan kegiatan illegal logging dari hutan sekitar. Sejak diberikannya izin PS, masyarakat jadi beralih dan fokus mengembangkan usaha ekowisata (LPHN Sungai Buluh dan LPHN Gamaran) dan usaha pemanfaatan rotan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu-HHBK (KTH Putra Andam).
Berapa Potensi Cadangan Karbon Hutan Alam di Seluruh KPH Sumatera Barat?
Besar cadangan karbon di KPH Sumatera Barat lebih dari 108 tonC/hektare atau total cadangan karbonnya mencapai 297 juta ton, di mana sekitar 63% di antaranya atau 188 juta ton karbon berasal dari cadangan karbon hutan alam.
Bagaimana dengan Tingkat Emisi Referensi di Sumatera Barat dan KPH Bukit Barisan?
Pada 2019 Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK sudah mengalokasikan Tingkat Emisi Referensi atau Forest Reference Emission Level (FREL) untuk level subnasional (provinsi). Alokasi FREL subnasional ini memperhitungkan beberapa hal, yakni kapasitas wilayah, kondisi biogeofisik, stok karbon, dan emisi historis, yang disusun menjadi Indeks “Stock-Flow.” Alokasi FREL ini hanya memperhitungkan deforestasi dan degradasi hutan dan belum memasukkan perhitungan untuk dekomposisi gambut (lebih detail pembahasan alokasi FREL dapat dilihat di laman ini).
Dalam perhitungan tingkat emisi ini melihat perubahan tataguna lahan yang ada di KPH Bukit Barisan yang meliputi perubahan hutan menjadi non-hutan (deforestasi), perubahan hutan primer menjadi sekunder (degradasi) dan perubahan tutupan lahan bercadangan karbon rendah menjadi lahan bercadangan karbon tinggi (revegetasi) selama periode referensi (1990-2012). Besar rata-rata emisi terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan di luar konsesi selama periode referensi masing-masing mencapai 9,5 dan 0,068 juta ton CO2, sementara rata-rata serapan dari revegetasi sekitar 0,69 juta ton CO2. Nilai ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengukur kontribusi kegiatan PS dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi serta revegetasi yang tidak direncanakan (Tabel 1).
Sementara itu, Pada KPH Bukit Barisan lokasi studi, luas hutan yang mengalami deforestasi selama periode referensi hanya sekitar 3,738 ha atau sekitar 170 ha per tahun, Besar emisi bersih gas rumah kaca deforestasi dan degradasi di dalam Kawasan KPH Bukit Barisan masingmasing sekitar 2,4 juta ton CO2 e atau 108 ribu ton per tahun (Tabel 1).

Sementara itu, Pada KPH Bukit Barisan lokasi studi, luas hutan yang mengalami deforestasi selama periode referensi hanya sekitar 3,738 ha atau sekitar 170 ha per tahun, Besar emisi bersih gas rumah kaca deforestasi dan degradasi di dalam Kawasan KPH Bukit Barisan masingmasing sekitar 2,4 juta ton CO2 e atau 108 ribu ton per tahun (Tabel 1).
Bagaimana Peran PS dalam Mengatasi Perubahan Tata Guna Lahan dan Hutan?
Hasil survei dan wawancara dengan masyarakat setempat, tokoh masyarakat, pengurus KPH Bukit Barisan dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, kegiatan illegal logging sudah berkurang mencapai 84% di tiga lokasi PS tersebut di atas.
Tabel 2. Penurunan emisi dari illegal logging di 3 lokasi PS.

Dari Tabel 2 di atas terlihat jelas bahwa dengan adanya PS dan berkurangnya kegiatan illegal logging berkontribusi pada penurunan emisi dari 3 lokasi PS yaitu total 483.941 tCO2/tahun yang setara dengan penurunan degradasi hutan dan lahan seluas 3.866 hektare atau kontribusinya sebesar 0,05% terhadap penurunan degradasi di sektor hutan dan lahan dalam NDC.
Kontribusi PS dalam Menurunkan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
- Potensi penurunan emisi dari deforestasi dari kegiatan di ketiga PS bisa mencapai 235.254 tCO2 atau setara dengan pencegahan deforestasi seluas 338,3 ha. Artinya apabila program di tiga PS berhasil mencapai ini, maka besar kontribusi dalam pencapaian target nasional mencapai sekitar 0,025%.
- Target nasional untuk penurunan degradasi pada tahun 2030 (NDC CM1) adalah sebesar 7,649 Juta ha, sedangkan potensi penurunan emisi dari degradasi ketiga PS di KPH Bukit Barisan mencapai 483.914 tCO2 atau setara dengan 3.866 hektare, sehingga besarnya kontribusi program tiga PS ini terhadap pencapaian target nasional sekitar 0,05%.
- Potensi kawasan yang bisa direvegetasi di ketiga PS di KPH Bukit Barisan pada 2018-2030 ada seluas 444,9 hektare. Apabila pada target NDC tahun 2030 (NDC CM1) menargetkan revegetasi tanpa rotasi sebesar 1,869 hektare, maka kontribusi ketiga PS tersebut adalah sebesar 0,024% dari target NDC.
Bagaimana dengan kontribusi PS yang ada di seluruh Indonesia? Jadi kalau kita lihat kembali PIAPS (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial), bahwasanya ada sekitar 6,1 juta hektare lahan yang masih memiliki tutupan hutan dan sekitar 21,5% atau seluas 1,37 juta hektare memiliki risiko deforestasi sedang-tinggi. Apabila ada upaya percepatan implementasi PS pada wilayah yang memiliki risiko sedang-tinggi teresebut dan juga mencegah deforestasi wilayah yang berisiko tinggi, maka dapat diperkirakan program PS nasional berpotensi untuk berkontribusi sebesar 34,6% dari target NDC CM1 (kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi 2018-2030, hutan yang masih bisa dikonversi adalah sebesar 3,9 juta ha).