Melalui konferensi video berdurasi enam (6) jam, sebanyak 27 pemimpin Uni Eropa pada Kamis malam (26/3/2020) sepakat bahwa rencana pemulihan ekonomi dari wabah pandemi coronavirus disease 2019 atau Covid-19 harus bertujuan untuk memerangi perubahan iklim dunia. Meski rincian dari rencana ini belum dicantumkan, akan tetapi sebuah pernyataan mengatakan bahwa telah lahir kesepakatan untuk melakukan gerakan yang disebut dengan “transisi hijau”.

Kepala investasi berkelanjutan Newton Investment Management, Andrew Parry juga mengatakan bahwa pandemi Covid-19 adalah ujian agar pemerintah dapat bertindak sebagai respons terhadap krisis. Andrew menambahkan walaupun reaksi para pemangku kepentingan yang membatasi kejatuhan sosial dari krisis saat ini adalah benar, namun, tetap saja harus ada kesempatan untuk mengamankan masa depan yang lebih sehat dan lebih tangguh bagi lingkungan.

Kepercayaan bahwa untuk menjamin masa depan yang lebih baik adalah dengan tidak melupakan segudang persoalan lingkungan khususnya terkait dengan krisis, maka sudah sewajarnya lah pandemi Covid-19 menjadi momentum titik balik untuk memerangi krisis lingkungan khususnya iklim dunia yang semakin mengkhawatirkan.

Namun, beda benua, beda negara, beda pula jurus untuk menghadapi Covid-19. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo punya jurus andalan, yakni jurus berdamai dengan pandemi Covid-19.

BACA JUGA: MADANITORIAL: 2020 Titik Balik Iklim Dunia

Pemerintah Indonesia, di bawah pimpinan Presiden Jokowi, merancang skenario normal baru (new normal) sebagai langkah bangkit dari pandemi di berbagai sektor. Jurus ini pun disebut sebagai jawaban dari ketidakpastian yang menggerogoti kesehatan juga perekonomian akibat pandemi.

Bak seorang pendekar, apabila terpukul dan jatuh, sekuat apapun lawan yang dihadapi, maka pantang baginya untuk menyerah. Seorang pendekar harus bangkit dan melawan. Begitulah kiranya Indonesia saat ini. Meskipun perekonomian terpuruk bahkan jumlah orang terinfeksi virus yang belum melandai, tapi mau tidak mau ekonomi harus kembali digerakkan agar sendi-sendi lainnya dapat menopang satu sama lain.

Salah satu jurus berdamai dengan Covid-19 yang paling populer adalah skenario yang dirancang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dimulai tepatnya pada 1 Juni 2020. Dalam hal ini, pemerintah akan menjalankan skenario new normal pemulihan roda perekonomian dengan pembukaan kegiatan bisnis dan industri pasca-penyebaran pandemi Covid-19 dalam 5 tahapan.

Dilansir dari Kontan, Selasa (26/5/2020), 5 tahapan pemulihan ekonomi tersebut yakni; Tahap pertama yang dimulai pada 1 Juni dengan target Industri dan jasa dapat beroperasi dengan protokol kesehatan Covid-19. Sedangkan, pusat perbelanjaan seperti mall belum boleh beroperasi, kecuali toko penjual masker dan fasilitas kesehatan.

Kemudian, tahapan kedua yang dimulai sejak 8 Juni menargetkan toko, pasar, dan mall diperbolehkan beroperasi. Namun, pengoperasian tersebut harus tetap menerapkan protokol kesehatan. Tahapan ketiga yang dimulai sejak 15 Juni, menargetkan evaluasi terhadap mall yang sudah buka sejak tahapan kedua khususnya evaluasi pada pembukaan salon, spa, dan lainnya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Sekolah pun sudah mulai dibuka pada tahapan ini namun, dengan menerapkan sistem shift.

Tahapan keempat yang dimulai pada 6 Juli, menargetkan pembukaan kegiatan ekonomi dengan tambahan evaluasi untuk pembukaan secara bertahap seperti restoran, cafe, bar, dan lainnya dengan protokol kebersihan yang ketat. Kegiatan ibadah juga sudah diperbolehkan namun, dengan jumlah jamaah yang dibatasi.

Sedangkan tahapan kelima yang dimulai pada 20-27 Juli, menargetkan evaluasi untuk 4 tahapan sebelumnya dan pembukaan tempat-tempat atau kegiatan ekonomi serta kegiatan sosial berskala besar. Pada akhir Juli atau awal Agustus 2020 nantinya, pemerintah pun mengharapkan seluruh kegiatan ekonomi sudah dibuka.

BACA JUGA: Perempuan dan Perubahan Iklim

Sebagai masyarakat, skenario yang agaknya sedikit menakutkan tersebut tentu wajib untuk diikuti walaupun penuh dengan keraguan. Wajar jika masyarakat punya keraguan, lihat saja, dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan anjuran bekerja dari rumah, jumlah penderita Covid-19 meningkat signifikan. Sederhananya, penerapan skenario normal baru harus berpatokan kepada tren penurunan jumlah pasien terinfeksi atau juga jumlah pasien yang tidak lagi bertambah, bukan karena jenuh dengan PSBB yang selama ini menekan perekonomian.

Tidak habis dengan jurus berdamai ala normal baru, pemerintah dan para pemangku kepentingan juga gencar mendorong pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang nyatanya tidak berpihak kepada kepentingan lingkungan.

Madani Berkelanjutan memproyeksi 5 kemungkinan besar yang terjadi terhadap hutan alam dan komitmen iklim Indonesia akibat dari implementasi RUU Cipta Kerja nantinya. Pertama, lima provinsi di Indonesia yakni Riau (2032), Sumatera Selatan dan Jambi (2038), Bangka Belitung (2054), dan Jawa Tengah (2056). Kedua, Tujuh Provinsi yakni Kalimantan Selatan dan Jambi (2020), Sumatera Barat (2030), Kalimantan Barat (2032), Aceh dan Nusa Tenggara Barat (2038), dan Kalimantan Tengah (2056), terancam kehilangan hutan alam di luar area Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB).

Ketiga, target Nationally Determined Contribution (NDC) terancam tidak tercapai. Jika nilai rata-rata laju deforestasi sebesar 688.844,52 hektar/tahun terjadi secara linear hingga 2030, maka target NDC dari pengurangan deforestasi akan gagal tercapai dengan kuota deforestasi sebesar 3.250.000 ha pada 2020-2030 terlampaui pada 2025.

Keempat, kesempatan untuk menyelamatkan hutan alam seluas 3,4 juta hektare yang saat ini terlanjur berada dalam izin perkebunan sawit dalam momentum moratorium sawit akan hilang. Kelima, tutupan hutan alam di 45 DAS terbesar di Papua Barat pada 2058 terancam turun hingga 0-20 persen jika Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dan PIPPIB gagal dilindungi.

Dengan kondisi yang begitu mengancam, sudah seharusnyalah pandemi yang begitu mengancam bukan hanya dihadapi dengan jurus-jurus kepentingan ekonomi, akan tetapi juga dengan jurus ampuh untuk menyelamatkan lingkungan. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mendorong mekanisme, grand design, dan road map pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan.

Sudah saatnya, pemerintah menatap jauh kedepan dengan penuh optimis, dan penuh tanggung jawab. Pasalnya, di masa yang akan datang ancaman yang lebih besar bisa saja menghampiri, krisis iklim dan segudang permasalahan yang begitu kompleks sudah menunggu di depan mata. Bukankah Covid-19 yang saat ini sedang menggerogoti dunia terdorong dan semakin menjadi-jadi salah satunya diakibatkan oleh krisis iklim yang tidak terelakkan lagi?