JAKARTA, 7 April 2022, Koran Jakarta – Pemerintah harus mengurangi energi fosil secara drastis. Serta yang tak kalah penting dalam waktu bersamaan menjaga dan memulihkan ekosistem alam tersisa yang berperan besar dalam menyerap emisi gas rumah kaca dari atmosfer.
“Termasuk melindungi seluruh bentang hutan alam tersisa, tidak lagi membuka dan mengeringkan gambut, dan menjaga dan memulihkan mangrove secara masif. Ini sangat penting agar generasi mendatang Indonesia memiliki peluang untuk selamat,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis (7/4).
Menurut Nadia, laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB tentang mitigasi yangkeluar pada 4 April 2022 dengan tegas menyatakan semua harus beraksi sekarang untuk mengurangi emisi global hingga setengahnya pada 2030. Sehingga dapat menahan laju pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat.
“Komitmen iklim (NDC) negara-negara saat ini akan membawa kita ke pemanasan global 2,8 derajat pada 2100, jauh di atas batas aman 1,5 derajat. Laporan ini dengan tegas juga menyatakan pengurangan emisi di sektor pertanian, kehutanan, dan lahan dapat membantu mengurangi emisi global dalam skala besar, tapi tidak dapat mengkompensasi penundaan pengurangan emisi di sektor lain,” katanya.
Saat ini, lanjut Nadia, kajian spasial Madani menemukan sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia dan 2,9 juta hektare ekosistem gambut yang berada di luar izin atau konsesi dan wilayah yang dialokasikan untuk perhutanan sosial masih belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru.
Hutan-hutan alam ini perlu segera dilindungi oleh berbagai instrumen kebijakan. Selain itu, ada hutan-hutan alam di dalam izin atau konsesi seluas 27,2 juta hektare yang juga perlu dipikirkan strategi menjaganya.
“Pemerintah Indonesia telah menetapkan target Indonesia FOLU Net Sink 2030 (frest and other land uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) yang berambisi agar sektor hutan dan lahan Indonesia tidak lagi menjadi pengemisi melainkan menjadi penyerap karbon pada 2030,” ujarnya.
Salah satu sasaran kerjanya, kata Nadia,adalah pengurangan deforestasi dan degradasi. Sementara itu, Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan ambisi ini layak diapresiasi dan didukung implementasinya. Namun, ambisi ini perlu tercermin dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang sedianya akan diperbarui pada 2022.
“Pemerintah telah menetapkan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mencapai target NDC Indonesia dan mengendalikan emisi dalam pembangunan. Mengingat urgensi untuk mengurangi emisi dan adanya target 2030, NEK harus diprioritaskan untuk aksi yang betul-betul mengurangi emisi dari atmosfer – termasuk yang dijalankan masyarakat adat dan masyarakat lokal selaku penjaga hutan – dan tidak bisa bertumpu pada offset yang tanpa aturan yang ketat dan transparansi justru dapat mengurangi ambisi iklim,” tutur Yosi.
Yosi menambahkan, dalam IPCC Report juga disebutkan bahwa untuk memaksimalkan potensi mitigasi sector pertanian, kehutanan, dan lahan atau AFOLU, diperlukan kebijakan yang secara langsung menangani emisi dan mendorong penerapan opsi mitigasi berbasis lahan. Salah satunya melalui penetapan dan penghormatan hak tenurial dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
“Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu diapresiasi mengingat dokumen Updated NDC Indonesia telah menekankan penghormatan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal melalui pemberdayaan dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam pembangunan. Sejalan dengan ini, Pemerintah juga telah membuka peluang pemberian hak pengelolaan hutan melalui Perhutanan Sosial,” katanya.
Akan tetapi, kata Yosi, sampai saat ini, pemberian izin pengelolaan perhutanan sosial bagi masyarakat pengelola hutan masih jauh dari target yang dicanangkan pemerintah. Sementara itu, dalam target Indonesia FOLU Net Sink 2030, program perhutanan sosial menjadi salah satu strategi kunci untuk pencapaiannya. Agar target ini dapat selaras, Pemerintah perlu mempercepat pemberian izin Perhutanan Sosial bagi masyarakat adat dan lokal serta memperkuat pendampingan dalam implementasinya.
Sementara itu, M. Arief Virgy, Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan menambahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dapat menjadi peluang strategis Indonesia untuk mendorong transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan. Termasuk bahan bakar nabati sebagai energi transisi.
“Namun, agar kebijakan bahan bakar nabati nasional selaras dengan pencapaian komitmen iklim Indonesia serta emisi nol bersih, RUU EBT perlu memasukkan pengaturan pemenuhan prinsip keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam pengembangan BBN baik aspek hulu hingga hilir serta mengedepankan diversifikasi komoditas bahan baku dengan menekankan pada pemanfaatan teknologi BBN generasi 2 atau limbah,” katanya.
Berita ini telah dirilis di Koran Jakarta