Target INDC (Intended Nationally Determined Contribution) Indonesia
Pada 2015, Pemerintah Indonesia sudah menyerahkan dokumen INDC kepada UNFCCC, tepat sebelum COP21. Dalam dokumen INDC – yang sifatnya diniatkan, Indonesia telah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) tanpa syarat sebesar 29% (2,881 MtCO2e) pada 2030 dan juga menawarkan target 41% dengan syarat adanya bantuan internasional.
Dokumen ini mungkin tidak cukup populer di kalangan masyarakat, karena kurang memadainya proses sosialisasi dan tidak adanya keterlibatan masyarakat sipil pada masa penyusunannya dan sehingga mengakibatkan dukungan terhadap dokumen ini tidak begitu kuat. Ditambah, di tengah masa itu adanya pembubaran Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang seharusnya dapat membantu mengurusi isu perubahan iklim nasional. Dokumen INDC di dalamnya sudah memuat proyeksi baseline penurunan emisi GRK dari data historis 2000-2010, namun belum memasukkan bentuk kebijakan mitigasinya.
Selain itu, INDC juga belum memuat secara rinci jumlah dan bentuk bantuan luar negeri yang dibutuhkan. Dalam Damassa, et al. (2015) juga mencatat bahwa INDC belum menjelaskan elemen kunci yang digunakan dalam metodologi perhitungannya dan tidak memberikan detail mengenai asumsi pendekatan, misalnya untuk sektor lahan apakah berdasarkan aktivitas atau jenis lahan dan asumsi metode perhitungan (net-net, forward looking baseline, atau gross-net).

Gambar1. Proyeksi Emisi GRK Indonesia dalam Damassa, et al. (2015)
Dari proyeksi emisi GRK pada Gambar 1, dapat disimpulkan bahwa:
● INDC mencakup proyeksi emisi baseline untuk 2030 adalah sebesar 2,881 MtCO2e.
● Target penurunan emisi GRK tanpa syarat adalah sebesar 2,046 MtCO2e (pengurangan 29% dari BAU) dan target bersyarat sebesar 1,700 MtCO2e (pengurangan sebesar 41%), dengan asumsi bahwa baseline Indonesia bersifat statis dan tidak akan direvisi ke depannya.
Target NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia
Setelah Kesepakatan Paris pada 2016, INDC berubah menjadi NDC, yang mana sudah ada memasukkan rencana aksi iklim dalam jangka panjang yang harus di-update setiap 5 tahun mulai 2020. Menurut Climate Action Tracker (2018), komitmen iklim Indonesia yang tertuang dalam dokumen NDC belum cukup memadai atau termasuk pada peringkat highly insufficient hingga November 2018 dan sebelumnya Indonesia masuk dalam 11 negara insufficient pada tahun 2017 (dapat dilihat pada Gamba 2). Penurunan peringkat tersebut disebabkan oleh peningkatan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi.

Gambar 2. Peringkat Upaya Mitigasi Indonesia Menurut Climate Action Tracker (2018)
Menjadi catatan juga di sini, bahwa dalam pemeringkatan oleh Climate Action Tracker sebenarnya belum memperhitungkan emisi Indonesia dari sektor hutan dan lahan. Karena menurutnya, emisi dari sektor kehutanan Indonesia sudah mencapai puncak dengan kebakaran di lahan gambut yang lebih terkendali. Di sisi lain, Climate Action Tracker juga berpendapat, bahwa Indonesia terlampau menekankan pencapaian penurunan emisi GRK melalui pemanfaatan lahan, maka sektor lainnya, terutama energi, dibiarkan membuat emisi berlebih atau menjadi ‘black horse’.
Bagaimana Meningkatkan Target NDC Indonesia?
Menurut Wijaya, et al. (2017) dalam publikasinya yang berjudul How Can Indonesia Achieve its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions Reductions from Energy and Land-Use Policies (Wijaya, et al., 2017), menyatakan bahwa komitmen iklim Indonesia dapat tercapai apabila ada penguatan kebijakan Indonesia yang sudah ada dan implementasinya (lihat Gambar 3), di antaranya:
● Moratorium hutan dan gambut.
Menurut Busch et al. (2015), diperkirakan kebijakan moratorium mampu mengurangi emisi hingga 545 MtCO2e antara tahun 2000 hingga 2010. Moratorium yang sekarang dilaksanakan diperkirakan dapat mengurangi emisi hingga 188 MtCO2e setiap tahun hingga tahun 2030. Namun, moratorium hutan saat ini masih sebatas diberlakukan pada hutan primer dan belum memasukkan hutan sekunder. Padahal hutan sekunder dengan luas 33,1 juta hektare yang ada saat ini dapat menyimpan cadangan karbon yang jumlahnya setara dengan 30 GtCO2e. Wijaya et al. (2017) memperkirakan bahwa penguatan moratorium ini dapat mengurangi emisi hingga 437 MtCO2e per tahun hingga tahun 2030.
● Restorasi gambut.
BRG memperkirakan bahwa total luas lahan gambut terdegradasi akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2015 di tujuh provinsi prioritas adalah seluas 6,7 juta hektare. Namun, sesuai dengan Mandat Presiden Joko Widodo, restorasi gambut yang ditargetkan sampai 2020 adalah sekitar 2,1 juta hektare. Dengan menggunakan asumsi dari IPCC yaitu 1 hektare lahan gambut dapat menyumbang emisi 11 tCO2e setiap tahun, maka restorasi gambut dapat menurunkan emisi sekitar 22 MtCO2e per tahun pada tahun 2030. Apabila pemulihan juga dilakukan pada 4,6 juta hektare yang tersisa selama 2020–2030, maka penurunan emisi dapat mencapai hingga 73 MtCO2e per tahun pada tahun 2030 (Wijaya, et al. 2017).
● Rehabilitasi hutan dan lahan.
Pemerintah Indonesia menargetkan untuk merehabilitasi sekitar 5,5 juta hektare lahan terdegradasi pada. Dengan mengasumsikan bahwa hutan yang dipulihkan bisa menyerap sekitar 9 tCO2e per hektare per tahun, maka pemulihan 5,5 juta hektare lahan terdegradasi ke hutan dapat menurunkan emisi hingga 51 MtCO2e per tahun pada tahun 2030.
● Perhutanan Sosial.
Luas areal Perhutanan Sosial yang terdapat pada Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial yang diterbitkan pada 2015 ada sekitar 12,7 juta hektare kawasan hutan yang diberikan akses kelolanya pada masyarakat. Seluas 2,2 juta hektare di antaranya adalah lahan terdegradasi yang berpotensi untuk dipulihkan. Dengan asumsi pemulihan ini dimulai pada 2016 dan selesai pada 2030 dan estimasi penyerapan karbon yang konservatif, yaitu sebesar 9 tCO2e/ha/tahun, maka lahan kritis yang dikelola dalam skema Perhutanan Sosial dapat menyumbang penurunan emisi sampai 20 MtCO2 pada tahun 2030.

Gambar 3. Kebijakan yang Berdampak pada Emisi Indonesia Menurut Wijaya et al. (2017)
Berdasarkan Wijaya et al. (2017) apabila seluruh kebijakan di sektor lahan digabungkan, keberhasilan pelaksanaan moratorium hutan, restorasi gambut, rehabilitasi lahan hutan, dan kebijakan kehutanan sosial akan menghasilkan pengurangan emisi pada 2030 sebesar 281 MtCO2e pada Skenario Eksisting, dan 581 MtCO2e pada Skenario Penguatan. Hasil ini mengasumsikan bahwa tidak ada tumpang tindih dalam pengurangan emisi yang dihasilkan dari setiap kebijakan (Gambar 4). Komitmen iklim Indonesia dengan kondisi eksisting belum bisa tercapai pada 2030, namun apabila ada skenario penguatan tentunya dapat tercapai sebelum 2030.

Gambar 4. Skenario Eksisting Versus Skenario Penguatan Sektor Lahan dalam Wijaya et al. (2017)
Bagaimana dengan Peran Swasta terhadap Komitmen Iklim Indonesia?
Pencapaian komitmen iklim Indonesia tidak hanya di bawah perannya pemerintah pusat dan daerah, namun juga pihak swasta. Aksi-aksi penurunan emisi GRK oleh pihak swasta dapat dilakukan dalam pendekatan Abatement Cost atau adanya biaya pengurangan emisi yang berprinsip pada pemilihan aksi mitigasi dengan biaya rendah namun berpotensi pada penurunan emisi yang besar. Pada tahun 2010 dan 2014, DNPI pernah melakukan perhitungan Abatement Cost Curve sebagai pemandu kontribusi swasta dalam penanganan perubahan iklim. Berbagai perusahaan yang progresif menyebutkan bahwa dokumen Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve (DNPI, 2010) dan Updating Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve (DNPI dan JICA, 2014) lebih jelas dalam menunjukkan keterlibatan pihak swasta dalam penanganan perubahan iklim. Sementara itu, dokumen NDC belum memuat analisis biaya manfaat yang dibutuhkan pihak swasta sebagai rujukan.