Fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi ini kian nyata adanya. Berbagai dampak perubahan iklim pun makin terasa di kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi telah mengubah sistem iklim sehingga berpengaruh terhadap perubahan alam dan kehidupan manusia. Berbagai bencana alam dengan frekuensi dan intensitas yang lebih tinggi semakin tak terelakkan, seperti kenaikan permukaan air laut, banjir, longsor, berbagai penyakit, angin puting beliung. Kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, hingga ekosistem wilayah pesisir juga menurun.
Negara-negara di belahan dunia pun telah menyadari akan fenomena perubahan iklim dan dampaknya yang kian memprihatinkan. Tak terkecuali Pemerintah Indonesia yang telah menggalakkan berbagai upaya mencegah dan mengatasi perubahan iklim dengan menggandeng berbagai pihak. Yang tak kalah penting mendukung program pencegahan perubahan iklim adalah pembiayaan atau pendanaan.
Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, mengakui perubahan iklim menjadi tantangan bagi masyarakat terutama generasi muda. Dampak dari perubahan iklim hampir tidak terbatas atau lebih parah dibandingkan dengan dampak pandemi. Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen melalui kemampuan sendiri hingga 41 persen melalui dukungan internasional pada 2030. Untuk memenuhi target penurunan emisi GRK sebesar 29 persen, Sri Mulyani mengatakan Indonesia membutuhkan dana sebesar 365 miliar dolar AS. Sedangkan untuk mencapai target penurunan emisi GRK sebesar 41 persen, Indonesia membutuhkan dana sebesar 479 miliar dolar AS. (https://republika.co.id/; 19 Oktober 2021).
BACA JUGA: KLIMATOGRAFIK: Mulai dari Emisi Nol Bersih, Ya
Untuk memenuhi target pendanaan dalam upaya menanggulangi perubahan iklim, beberapa hal yang perlu ditempuh oleh Pemerintah Indonesia antara lain:
- Melibatkan sektor swasta baik dalam pendanaan atau investasi penanganan perubahan iklim
- Membentuk berbagai kebijakan dan memberikan akses teknologi untuk mewujudkan berbagai inovasi seperti penerbitan obligasi berwawasan lingkungan atau green bond.
- Membentuk platform filantropi sebagai bentuk penyediaan akses bagi sektor swasta dan lembaga multilateral untuk berkontribusi pada pencapaian target pendanaan iklim Indonesia dengan bentuk blended finance.
Selain meningkatkan peran berbagai sektor dalam upaya pemenuhan target pendanaan iklim Indonesia, Indonesia perlu mulai mengubah kegiatan ekonomi baik dari sektor investasi maupun konsumsi yang lebih mengedepankan upaya perlindungan lingkungan. Suatu tantangan yang pelik, namun bukan tidak mungkin dilakukan -karena membutuhkan desain kebijakan yang komprehensif. Untuk itu, penting bagi Pemerintah Indonesia untuk mengkombinasikan strategi keuangan dan adaptasi teknologi dalam memformulasikan suatu kebijakan guna mengeluarkan Indonesia dan dunia dari ancaman katastropik akibat perubahan iklim.
Tak hanya itu, Sri Mulyani memastikan Indonesia sangat bekerja erat dengan forum G20 serta The Coalition of Finance Ministers for Climate Action untuk menentukan arah kebijakan dalam mengatasi perubahan iklim ke depan.
Komitmen Indonesia dengan Dukungan Internasional
Presiden Jokowi dalam pidatonya di forum KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya, 1 November 2021 juga menyampaikan bahwa perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerjasama, kolaborasi global, merupakan kunci. Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Salah satunya dengan keberhasilan Indonesia menurunkan laju deforestasinya dengan signifikan yang tercatat sebagai deforestasiterendah dalam 20 tahun terakhir. Selain itu, Indonesia juga berhasilkan menurunkan kebakaran hutan hingga 82 persen di tahun 2020. Indonesia juga telah berhasil merehabilitasi 3 juta hektar lahan kritis antara tahun 2010 hingga 2019. (https://nasional.tempo.co; 2 November 2021).
BACA JUGA: 4 Langkah Penting Agar Upaya Hutan Bebas Emisi Pada 2030 Tak Cuma Sekadar Target
Selain keberhasilan-keberhasilan tersebut, Indonesia memiliki target untuk merehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektar hingga 2024 – target ini terluas di dunia. Komitmen Indonesia yang patut untuk diapresiasi lainnya adalah aspirasi Indonesia untuk mencapai carbon net sink di sektor hutan dan lahan selambatnya pada 2030.
Di sektor energi, Indonesia juga terus melangkah maju. Dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis clean energy termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia, di Kalimantan Utara.
“Tetapi hal itu tak cukup. Kami terutama negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan berpotensi dihijaukan, serta negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon, membutuhkan dukungan dan kontribusi dari internasional, dari negara-negara maju. Indonesia akan terus memobilisasi pembiayaan iklim dan pembiayaan inovatif serta pembiayaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau,” tegas Presiden Jokowi.
Komitmen Negara Maju
Sementara itu, di akhir KTT G20 di Roma pada Minggu (31/10), Perdana Menteri Italia, Mario Draghi mengatakan Italia akan meningkatkan komitmennya pada pembiayaan iklim bagi negara-negara berkembanghingga tiga kali lipat, atau hingga 1,4 miliar dolar per tahun, dalam lima tahun ke depan.
Uang itu merupakan kontribusi Italia untuk anggaran pembiayaan iklim bernilai 100 miliar dolar per tahun yang dijanjikan negara-negara maju secara kolektif untuk membantu negara-negara berkembang yang rentan dalam menghadapi perubahan iklim dalam melakukan transisi ke sumber energi rendah karbon, dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Meski demikian, komitmen negara-negara majutersebut hingga saat ini belum juga direalisasikan.
Menurut komunikasi terakhir dari pertemuan di Roma itu, negara-negara G20 menegaskan kembali komitmen masa lalu mereka untuk memobilisasi 100 miliar dolar setiap tahun guna membantu negara-negara berkembang mengatasi perubahan iklim, dan berkomitmen untuk meningkatkan pembiayaan guna membantu mereka beradaptasi (https://www.voaindonesia.com; 1 November 2021).
Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) juga menyediakan pembiayaan iklim senilai US$ 100 miliar bagi negara berkembang hingga tahun 2030. Jumlah ini meningkat 25 persen atau 20 miliar dolar AS dari alokasi semula pada tahun 2018, yang sebesar 80 miliar dolar AS. Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengatakan, hal ini seiring dengan semakin memburuknya krisis iklim, sehingga semakin banyak permintaan agar pembiayaan iklim bisa ditingkatkan.
“Untuk menjawab permintaan ini, kami menjawabnya dengan meningkatkan ambisi kami menjadi 100 miliar dolar AS dalam pembiayaan iklim kumulatif yang berasal dari sumber daya kami sendiri sampai dengan 2030,” ujarnya (https://newssetup.kontan.co.id; 14 Oktober 2021).
Ia kemudian menambahkan, adanya pembiayaan ini diharapkan mampu mendukung agenda iklim di lima bidang utama. Pertama, 66 miliar dolar AS untuk langkah mitigasi iklim. Termasuk penyimpanan energi, efisiensi energi, dan transportasi rendah karbon. Kedua, 34 miliar dolar AS untuk pembiayaan peningkatan skala bagi proyek-proyek adaptasi yang transformatif. Berbagai proyek di sektor yang sensitif terhadap iklim, seperti perkotaan, pertanian, dan air, akan dirancang dengan tujuan utama adaptasi iklim yang efektif meningkatkan ketahanan.
BACA JUGA: COP26, Momentum Indonesia Selamatkan Iklim Dunia
Ketiga, peningkatan pembiayaan iklim dalam operasi sektor swasta ADB. Hal ini termasuk dengan menambah jumlah proyek yang lebih layak secara komersial, baik bagi ADB maupun investor swasta. Penambahan ini akan ditopang oleh peningkatan dalam efisiensi operasional, pemulihan pasca-pandemi dalam hal permintaan pasar akan pembiayaan, teknologi dan inovasi baru dalam pembiayaan iklim, serta bidang-bidang usaha baru bagi operasi iklim di sektor swasta. ADB bertekad untuk mendukung berbagai prakarsa ini dengan 12 miliar dolar AS dari sumber dayanya sendiri untuk pembiayaan iklim sektor swasta secara kumulatif, dan menargetkan adanya tambahan 18 miliar hingga 30 miliar dolar AS dari sumber-sumber dana lainnya.
Keempat, dukungan bagi pemulihan hijau, tangguh, dan inklusif dari Covid-19, termasuk melalui platform pembiayaan yang inovatif, seperti ASEAN Catalytic Green Finance Facility and Green Recovery Platform. Kelima, dukungan untuk mengedepankan reformasi di negara-negara berkembang anggotanya lewat pinjaman berbasis kebijakan, guna mendukung kebijakan dan lembaga yang dapat meningkatkan ketangguhan iklim dan mitigasi iklim.
Berbagai upaya pemerintah dan para pihak dari penjuru dunia dalam mengatasi perubahan iklim akan berhasil dengan kerjasama dan dukungan masyarakat juga. Reformasi kebijakan yang cepat dan tepat sasaran pun akan makin menguatkan tercapainya penanganan perubahan iklim.(*)
Sumber:
https://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/r182sl370/sri-mulyani-ungkap-pendanaan-atasi-perubahan-iklim