Seiring perkembangan waktu, sebagian besar negara di dunia menyadari akan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk mengendalikan gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global dan perubahan iklim dari aktivitas manusia, Perjanjian Paris pada 2015 mengamanatkan negara anggota UNFCCC (Badan PBB tentang Perubahan Iklim), termasuk Indonesia untuk melaksanakan Nationally Determined Contribution (NDC) yang berisi rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia melihat bahwa pelaksanaan NDC akan menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus dapat menjaga hutan, melindungi lingkungan, mengembangkan energi terbarukan, meningkatkan transportasi berkelanjutan, pertanian rendah emisi, meningkatkan ketahanan pangan, industri yang ramah lingkungan serta pengelolaan limbah terpadu. Selanjutnya tanpa disadari akan memperoleh nilai tambah (added value) termasuk pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan berkelanjutan dan yang paling penting perbaikan tata kelola pemerintahan bidang lingkungan dan perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia melalui KLHK pada tahun 2019 sudah menyusun dokumen Peta Jalan Implementasi NDC untuk Mitigasi. Tujuan penyusunan dokumen peta jalan NDC untuk Mitigasi adalah sebagai pedoman bagi para pemangku kepentingan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha maupun masyarakat dalam upaya pencapaian target NDC melalui penyediaan informasi tentang perencanaan, tata waktu dan penetapan target penurunan emisi GRK secara rinci per subsektor serta identifikasi seluruh aspek yang mendukung pencapaian target.
BACA JUGA: Para Pihak Perbarui Target Komitmen Iklim NDC Menuju Emisi Nol Bersih
Ada lima sektor yang diberi amanah oleh pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi sesuai target NDC (29% pada 2030 dengan kemampuan sendiri) yaitu sektor energi, limbah, perindustrian, pertanian dan kehutanan. Dari kelima sektor ini, berdasarkan skenario pertama sektor kehutanan diberi tanggung jawab menurunkan emisi 17,2% dari total 29%. Ini berarti sektor kehutanan diberi kehormatan penting untuk menurunkan emisi nasional sebesar 59,31% atau 60%.
Sebagai aktor penting dalam pencapaian NDC Indonesia, sudah semestinya pemerintah pusat menyiapkan berbagai perangkat regulasi. Selain regulasi untuk setiap sektor, pemerintah pusat juga perlu menyiapkan petunjuk terkini dari setiap aktivitas yang diharapkan untuk mencapai NDC. Untuk sektor kehutanan, pemerintah pusat sudah menyiapkan berbagai peraturan, pedoman dan juga perangkat lunak seperti pedoman MRV, sistem registrasi nasional (SRN), sistem informasi safeguards (SIS) REDD+ dan juga berbagai peraturan di tingkat direktur jenderal.
Namun menurut Madani Berkelanjutan, ternyata masih banyak hal yang perlu disiapkan Indonesia untuk mencapai NDC dalam perspektif teknis. Masih ada persoalan MRV di tingkat nasional yang belum tersedia kelembagaannya. Bagaimana mungkin suatu wilayah subnasional dapat melaksanakan upaya penurunan emisi jika Lembaga MRV yang akan melakukan pengukuran, pelaporan dan verifikasi belum tersedia. Begitu pula dokumen SIS REDD+ untuk tingkat provinsi juga masih belum tersedia apalagi di tingkat kabupaten dan tingkat pengelola kegiatan di lapangan. Selain itu dalam hal pengelola atau pemegang izin, juga belum tersedia metodologi atau panduan teknis untuk melakukan upaya penurunan emisi. Untuk itu hal – hal teknis seperti ini perlu segera disiapkan (diselesaikan) agar target NDC bisa tercapai sesuai dengan rencana.
Laporan sintesis tentang NDC yang diterbitkan Sekretariat PBB untuk perubahan iklim, 26 Februari 2021 menekankan bahwa Para Pihak (negara anggota) harus mengejar langkah-langkah mitigasi domestik dengan tujuan mencapai tujuan NDC mereka. Hampir semua Pihak menguraikan langkah-langkah tersebut dalam NDC mereka di bidang prioritas khusus yang penting secara nasional, yang seringkali merupakan bagian dari satu atau lebih sektor IPCC, termasuk pasokan energi, transportasi, bangunan, industri, pertanian, LULUCF dan limbah. Sebagian besar Pihak mengidentifikasi langkah-langkah di masing-masing bidang prioritas ini, tetapi hanya beberapa yang menunjukkannya dalam industri.
Beberapa Pihak negara berkembang menyebut pengurangan deforestasi sebagai prioritas dengan potensi mitigasi yang tinggi, termasuk dengan melaksanakan kegiatan REDD+. Banyak dari Pihak tersebut menyoroti pentingnya manfaat sosial ekonomi dan lingkungan non-karbon yang dihasilkan dari kegiatan mitigasi ini, termasuk untuk adaptasi.
Selanjutnya sebagai prasyarat untuk implementasi NDC, banyak Pihak mengidentifikasi pentingnya pengembangan kapasitas. Beberapa memberikan bagian khusus yang berisi informasi tentang kebutuhan pengembangan kapasitas. Kebutuhan pengembangan kapasitas untuk merumuskan kebijakan, mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi ke dalam proses perencanaan sektoral, mengakses keuangan dan menyediakan informasi yang diperlukan untuk kejelasan, transparansi dan pemahaman tentang NDC telah diidentifikasi.
BACA JUGA: Jelang COP26, Rencana Bebas Karbon Indonesia Masih Belum Jelas
Selain itu kebutuhan pengembangan kapasitas di bidang tematik terkait lintas sektor, peningkatan kapasitas untuk adaptasi dan mitigasi. Juga, kebutuhan peningkatan kapasitas untuk menangani kerugian dan kerusakan. Beberapa Pihak mengidentifikasi kebutuhan terkait dengan peningkatan kapasitas sektoral, multisektoral, kebutuhan yang berkaitan dengan bangunan dan infrastruktur, kehutanan dan energi. (Dari berbagai Sumber)